-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

26 June 2004

Dinas Tenaga Kerja NTB Cabut Izin Tiga PJTKI

TEMPO Interaktif
Senin, 26 Juli 2004 | 15:21 WIB

Nusa Tenggara Barat — Mataram: Dinas Tenaga Kerja Provinsi Nusa Tenggara Barat mencabut izin sedikitnya tiga Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Pencabutan ini sesuai dengan rekomendasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, karena perusahaan tersebut dianggap kerap melanggar aturan ketenagakerjaan.

Perusahaan-perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT L Karim Makmur Sentosa dan PT Ivan Margatama, yang resmi dicabut April lalu dan PT Karya Antar Bangsa Sejati, yang
rekomendasi pencabutannya turun pada bulan Juli ini. Semuanya membuka kantor cabang di NTB. "Dua perusahaan resmi pencabutannya. Satu lagi, menyusul," tegas Lalu Burhanuddin, Kepala Sub Dinas Penempatan TKI, Dinas Tenaga Kerja NTB, di kantornya, di Mataram, Senin (26/7) siang.

Pencabutan izin PJTKI itu, melengkapi tindakan Dinas
Tenaga Kerja NTB, yang pada 2003, juga menindak 15 PJTKI yang dianggap kerap melanggar aturan ketenagakerjaan.

Pelanggaran yang dimaksud antara lain, memanipulasi umur calon TKI/TKW, mengirimkan calon di bawah umur, memalsukan dokumen seperti surat-surat syarat kesehatan hingga visa kerja. "Yang lebih mencolok, ada manipulasi laporan jumlah pengiriman tenaga kerja. Misalnya dilaporkan calon yang berangkat 50 orang, tapi ternyata ada 75 orang yang dikirim. Ini sudah keterlaluan," tegas Burhanudin.

Terkait dengan kasus pengiriman calon TKW di bawah
umur seperti yang terjadi di Kabupaten Sumbawa dua
pekan lalu, Burhanudin, mengaku dirinya telah
mendapatkan data tersebut. Tapi untuk menindaknya
perlu ada bukti-bukti yang akurat, seperti bukti-bukti
dokumen dan kasus-kasus PJTKI yang ditangani polisi.

Kepala Dinas Tenaga Kerja NTB Sirojul Munir mengatakan, sekarang ini jumlah PJTKI di NTB 97 perusahaan, lima diantaranya berkantor pusat di NTB. Instansinya telah melakukan pengetatan izin membuka cabang di NTB dengan alasan jumlahnya PJTKI sudah terlalu banyak. "Terutama perusahaan yang punya kerja pengiriman ke Timur Tengah. Karena banyak kasus dan kita kesulitan mengawasi mereka," tegasnya saat ditemui di kantor DPRD NTB, Senin, siang.

Kasus-kasus yang berkaitan dengan perlindungan
TKW/TKI kini menjadi pembahasan para aktivis LSM buruh migran. Agendanya diantaranya mendorong Pemerintah Provinsi NTB menyetujui Peraturan Daerah untuk perlindungan TKI/TKW.

Kendati usulan itu mendapat lampu hijau dari Komisi E DPRD NTB, tapi Gubernur NTB Lalu Serinata, menolaknya. Alasan gubernur menolak Perda tersebut adalah, karena UU tentang Perlindungan Buruh Migran belum disetujui pemerintah pusat. Gubernur mengkuatirkan terjadi tumpang tindih jika NTB menyetujui Perda tentang Perlindungan Buruh Migran.

Sujatmiko - Tempo News Room

Read More...

18 June 2004

Coping with change

Philippine Daily Inquirer
May 21, 2004

TF! Editorial Comment: The growing phenomenon of international migration has brought both benefits and costs. In the Philippines, remittances from overseas contract workers (OCWs)play a major role in the economy. But as an increasing percentage of OCWs are women, issues of worker protection and the impacts on children left behind will become more urgent. The article below surveys the terrain of this social phenomenon that shows no signs of slowing down.

The terrain of the overseas labor market has changed, from gender to skills. Women are increasingly dominating the sector, and the demand for professional and technical workers is growing.

Data from the Philippine Overseas Employment Agency (POEA) show that, in 1992, newly hired females accounted for just 50 percent. By 2003, their share had gone up to 70 percent.

In the past 10 years, higher-paying jobs have overtaken labor-intensive work. Production workers, such as construction workers, factory laborers, plumbers, and welders used to account for 37 percent of the total number of deployed workers in 1992. A decade after, in 2002, their share shrunk to 24 percent.

Service workers, mainly domestic helpers, inched up from 32 to 34 percent in the same period. On the other hand, professional and technical workers, such as nurses, engineers, teachers, choreographers, and dancers improved from 28 to 35 percent. Production workers are predominantly male, while service, professional, and technical workers are mostly female.

Under President Arroyo, the policy is to maintain and expand existing markets, and at the same time look for new markets.

The OFWs’ dollar remittances are a major driver of the local economy. In the first quarter of 2004, the amount reached US$1.92 billion, up 4.35 percent from $1.84 billion in the same period last year. Last year, remittances reached an all-time high of $7.6 billion, a 5.5 percent increase over the $7.2 billion realized in 2002. These figures represent just the funds coursed through banks and other legitimate channels.

Economists attribute gross domestic product (GDP) growth in 2002 and 2003 to buoyant consumer spending fueled by money sent home by OFWs. Remittances account for 10 percent of the GDP. These are considered the biggest single source of foreign capital and are credited for restraining the decline of the peso’s value against the dollar.

The number of departing OFWs is staggering. In 2003, 868,000 fresh or re-hired OFWs left the country. This means about 2,400 OFWs leave daily. In 1984, deployments reached only 350,000, but over the next two decades, the number grew by an average of 30 percent every five years.

Today, the country has around 7.5 million OFWs. The figure does not include undocumented workers and those who have stayed on after their contracts expire. Filipino workers are scattered in some 190 countries.

Saudi Arabia remains the top employer although its share has diminished in the past two decades. It used to have 58 percent of OFWs in 1985. The 169,000 OFWs working there now account for only 28 percent.

Domestic helpers who have gone to Hong Kong and the increasing number of entertainers going to Japan have eclipsed the number of laborers going to Saudi Arabia. When SARS broke out in Hong Kong and other parts of Asia last year, domestic helpers and nurses trooped to Saudi Arabia, the United Arab Emirates, Qatar, and Kuwait. Last year, more than 100,000 OFWs went to Middle East countries.

Matured markets are being mined for other job opportunities. The US, which has become stringent with employing Filipino nurses, may need teachers soon, a POEA official told NEWSBREAK. Singapore will need more nurses late this year to early next year.

Other markets are being considered. The POEA official said opportunities for health workers are being checked with governments or companies in Slovenia, Australia, and New Zealand. Hotel and tourism services may soon be in demand in Croatia, the United Kingdom, Ireland, and Macau. Kazakhstan, Taiwan, Papua New Guinea, Qatar, UAE and Saudi Arabia need manpower for the oil, energy, and construction sectors.

Other prospects, like health care for the aged in Japan, are unpromising for lack of market access.

A POEA memo says job prospects for caregivers in Canada, the most favored destination, are not as bright as before. It accounts for only 2.2 percent of the 7,782 currently approved job orders. Almost 60 percent of the job orders come from Taiwan, Israel, and the United Kingdom.

Other developing countries, such as Indonesia, India, Bangladesh, Vietnam, and Mexico are actively supplying labor to the same markets served by the Philippines. Their advantage is that they are willing to receive less pay. It cannot be determined yet if they are eating into our market. Anecdotal evidence, however, shows a preference for Filipinos because of their proficiency in English and good work ethic.

But such preference may not last long. The competitors are said to be honing their communication and other skills.

The Philippines has to find ways to keep its competitiveness. One is to improve OFW quality. English proficiency is eroding. Proof: declining results in English achievement rates in the national assessment tests for elementary (47.7 percent in 2003 from 49.1 in 1997) and high school (47 from 51 percent) graduates. Another proof: only half of the candidates pass the board exams for nurses.
Richard Cruz, a professor at the Asian Institute of Management, said the quality of education must be upgraded.

Businessman Antonio Herbosa said the government should identify long-term global demands so that we can easily respond to a host country’s requirements.
Touted as heroes, overseas Filipino workers will no doubt continue to hold a special place in government officials’ rhetoric. But keeping them in demand and competitive should be a special concern of these officials.

By Lala Rimando

Read More...

17 June 2004

Studi Perlindungan TKI Ditinjau dari Aspek Pembiayaan

Depnakertrans/Tempo Interaktif
Kamis, 17 Juni 2004 | 06:03 WIB

RESUME Studi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Ditinjau dari Aspek Pembiayaan Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri

Latar belakang studi adalah penempatan TKI ke luar negeri, selain menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah pengangguran juga menambah penerimaan devisa bagi negara. Peluang untuk bekerja di luar negeri cukup besar ditambah dengan rangsangan akan penghasilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan di dalam negeri merupakan daya tarik bagi tenaga kerja Indonesia.

Dalam kerangka memberikan perlindungan kepada TKI dan calon TKI, pemerintah telah melakukan upaya pembinaan dengan mengeluarkan ketentuan dan peraturan khususnya yang mengenai pembiayaan penempatan. Kebijakan pembinaan ini diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : 104.A/Men/2002, yang diikuti dengan ketentun operasionalnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Nomor : Kep. 312.A/O.P2TKLN/2002.

Pembiayaan penempatan tersebut di atas, baik mengenai jenis komponen biaya ataupun besar biaya penempatan dalam pelaksanaannya masih sering terjadi penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh kurang jelas dan tegasnya serta tertibnya penegakan peraturan perundangan yang ada, atau kurang atau lemahnya peran pengawasan terhadap pelaksanaan aturan-aturan yang ada, di samping berbagai faktor-faktor lain. Pada akhirnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sangat merugikan para calon TKI dan memberi kesan umum tidak adanya perlindungan bagi calon TKI.

Tujuan umum studi adalah identifikasi aspek pembiayaan yang berlangsung selama ini dalam proses penempatan tenaga kerja Indonesia keluar negeri dalam kaitannya dengan perlindungan yang perlu dilakukan. Tujuan khusus adalah (1) Mengkaji ragam dan pola penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan ketentuan pembiayaan penempatan TKI. (2) Mengkaji besar biaya penempatan yang layak, baik total maupun per komponen. (3) Mengkaji jenis komponen biaya yang layak dibebankan kepada calon TKI dan (4) Merumuskan rekomendasi kebijakan pembiayaan penempatan bagi pengembangan dan penyempurnaan ketentuan peraturan dalam rangka perlindungan TKI.

Kesimpulan-kesimpulan dari hasil studi adalah sebagai berikut :
- Biaya penempatan TKI sangat beragam antar perusahaan dengan pola yang sangat tidak beraturan. Keberagaman biaya penempatan menunjukkan bahwa biaya penempatan sangat bebas ditentukan oleh perusahaan pengerah/PJTKI. Kebebasan tersebut meliputi penetapan jenis-jenis komponen biaya, penetapan besar rupiah masing-masing komponen, penetapan pihak yang menanggung biaya penempatan, dan penetapan angsuran biaya yang seharusnya dibayar calon TKI.
- Kebebasan menentukan jenis komponen biaya dan besar biaya penempatan tidak dapat dikatakan sebagai penyimpangan terhadap peraturan yang ada, akan tetapi merupakan akibat dari ketidakjelasan, ketidaktegasan, dan ketidaklengkapan aturan yang ditetapkan untuk mengatur pembiayaan penempatan.
- Adanya kebutuhan calon TKI untuk memperoleh pekerjaan di suatu pihak dan adanya kebebasan PJTKI untuk menentukan biaya penempatan di lain pihak, menjadikan calon TKI sebagai sumber pemerasan berbagai pihak pengelola penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.

Dari kondisi-kondisi penentuan jenis komponen biaya dan besaran biaya penempatan, biaya dan besaran biaya penempatan, dapat disimpulkan bahwa biaya penempatan yang berlaku saat ini tidak memberikan perlindungan kepada calon TKI, oleh karena itu biaya penempatan harus ditata-ulang dan pemerintah. Untuk itu perlu dimabil langkah untuk merumuskan kembali pasal-pasal dalam Kepmen no. 104A/2003 dan SK Dirjen P2TKLN no. 312A/2002. Langkah ini menjadi prioritas utama dalam penataan ulang pembiayaan penempatan TKI ke luar negeri.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas disarankan bahwa ketetapan jenis komponen biaya yang dicantumkan dalam Kepmen 104A/2002 Pasal 53 ayat (2) perlu dilengkapi dengan penambahan jenis komponen biaya yang meliputi jasa mitra luar negeri, dan jasa rekruter. Mengenai pembiayaan penempatan cukup komples sehingga mekanisme pembayaran angsuran biaya penempatan TKI tidak cukup diatur dengan satu pasal saja. Perlu dirumuskan pasal-pasal yang mengakomodasi perkembangan yang terjadi di lapangan. Selanjutnya mengenai besaran biaya penempatan, memang tidak dapat ditetapkan secara fixed, namun hasil studi ini perlu dipertimbangkan sebagai masukan dalam hal merumuskan cost structure penempatan TKI sebagai berikut :
- Struktur biaya (cost structure) penempatan TKI ke kawasan Timur Tengah, menurut jenis komponen biaya dan sektor penempatan (dalam ribu rupiah), diusulkan sebagai berikut:

Komponen Biaya Kendali Alokasi Non Kendali Alokasi
Pembuatan Paspor 200 200
Pelatihan 750 700
Uji Kesehatan 250 250
Visa 120 120
Transport Lokal 100 100
Akomodasi dan Konsumsi 300 300
Tiket Keberangkatan *) *)
Asuransi 400 400
Biaya Pembinaan TKI 127 127
Jasa Prusahaan 750 750
Jasa Mitra Luar Negeri 1500 1500
Jasa Rekruter 300 300
TOTAL 3620 3570

- Sedang struktur biaya penempatan TKI ke kawasan Asia Pasifik, menurut jenis komponen biaya dan sektor penempatan (dalam ribu rupiah), diusulkan sebagai berikut:

Komponen Biaya Kendali Alokasi Non Kendali Alokasi
Pembuatan Paspor 250 250
Pelatihan 750 0
Uji Kesehatan 250 250
Visa 100 100
Transport Lokal 150 150
Akomodasi dan Konsumsi 500 500
Tiket Keberangkatan *) *)
Asuransi 0 0
Biaya Pembinaan TKI 127 127
Jasa Prusahaan 1000 1000
Jasa Mitra Luar Negeri 900 900
Jasa Rekruter 1000 1000

- Kompleksnya permasalahan dalam pembiayaan penempatan TKI memerlukan pemikiran dan pemecahan masalah oleh semua stakeholder dalam penempatan TKI. Dengan demikian maka suatu forum tetap atas perwakilan para stakeholder menjadi perlu untuk dibentuk. Untuk itu Ditjen P2TKLN atau Badan Litbangfo perlu berperan sebagai inisiator.

Sumber: Depnakertrans

Read More...

25.000 Orang Meninggal Setiap Hari karena Kelaparan dan Kemiskinan

Kompas
Kamis, 17 Juni 2004

Sao Paulo, Selasa - Setiap hari 25.000 orang meninggal karena kemiskinan dan kelaparan. Setiap lima detik ada seorang bayi yang meninggal. Itulah buah dari kegagalan dunia memerangi kemiskinan. Demikian Sekjen PBB Kofi Annan pada pertemuan G77 yang diselenggarakan oleh UN Conference on Development and Trade (UNCTAD), Selasa (15/6), waktu Sao Paulo, Brasil.

Orang kepercayaan Annan mengatakan, warga kelas bawah dunia yang frustrasi bisa jadi akan memilih menjadi teroris sebagai pelarian terbaik. Annan mengatakan, negara-negara kaya telah gagal menggalang pendanaan untuk membasmi kemiskinan.

Kegagalan menjangkau pendidikan, kesehatan, dan target-target antikelaparan pada tahun 2015 akan membawa generasi berikutnya di negara berkembang ke kehidupan yang malang. "Kita memerlukan tindakan, keadaan sangat mendesak untuk mengatasi derita manusia yang meluas," kata Annan.

Menurut informasi dari ActionAid, ada 25.000 orang yang meninggal setiap hari karena kemiskinan. Perbaikan sistem perdagangan internasional semata sudah tidak lagi bisa mengatasi persoalan itu.

Dua tahun lalu Annan meluncurkan program bertema Millennium Development Goals (MDG) untuk memberantas kemiskinan. Program MDG itu membutuhkan biaya 50 miliar dollar AS per tahun untuk bisa sukses.

"Dengan jumlah biaya yang ada sekarang, kita tidak akan bisa mencapai target MDG hingga tahun 2165," kata Mike O’Brien, Menteri Negara Inggris untuk Perdagangan dan Investasi.

"Angka itu sangat kecil dibandingkan dengan miliaran dollar AS yang dibelanjakan untuk perang yang tidak perlu atau untuk perdagangan senjata," kata Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang mengulangi lagi seruannya soal perang global menghadapi kelaparan.

Koordinator kampanye MDG Eveline Herfkens mengatakan, pengumpulan dana untuk program MDG adalah demi kepentingan Barat juga. Namun, hanya lima negara Eropa yang telah merealisasikannya. "Jika Anda membiarkan sebagian warga dunia hidup sengsara, dan tidak memberikan harapan dan kesempatan, pilihan terbaik mereka adalah bergabung dengan terorisme," kata Herfkens.

Annan mengatakan bantuan untuk mengatasi kemiskinan itu bukan lagi sekadar belas kasihan. Negara-negara kaya harus memikirkan usulan negara-negara miskin soal pendanaan program itu. "Dana itu adalah untuk investasi penting guna menciptakan keamanan dan kemakmuran dunia di masa depan," kata Annan di hadapan delegasi UNCTAD.

Inggris, Perancis, dan Brasil adalah di antara negara-negara yang sudah membuat proposal tentang bagaimana mengalokasikan 0,7 persen produksi domestik bruto (PDB) untuk membantu negara berkembang.

Usulan Inggris-yang didukung banyak negara berkembang-adalah penerbitan obligasi untuk pembiayaan. Lula mengusulkan pemajakan atas perdagangan senjata dan transaksi keuangan internasional untuk menghasilkan dana.

AS tak setuju dengan pengalihan 0,7 persen dana PDB, tetapi mengandalkan pertumbuhan ekonomi. "Anda tidak bisa membuang dana begitu saja," kata Wakil Asisten Menlu AS Terry Miller. "Berapa banyak dana itu akan tepat sasaran atau berakhir di bank Swiss, AS, atau tempat lain?" kata Miller. (AP/AFP/MON)

Read More...

DPRD Garut Kembalikan Sebagian Anggaran

Kompas
Kamis, 17 Juni 2004

Garut, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengembalikan sebagian dari anggaran DPRD Garut yang telah mereka salah gunakan selama tahun 2001-Maret 2003. Namun, tindakan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi proses penyidikan kasus ini.

Ihwal pengembalian sebagian anggaran ini disampaikan oleh DPRD Garut dalam surat bernomor 900/148-DPRD tertanggal 14 Juni 2004 yang ditujukan untuk Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut.

Dalam surat yang ditandatangani Ketua DPRD Garut Iyos Somantri dan tiga orang wakilnya, yaitu Dedi Suryadi, Encep Maulana, dan Mahyar, suara ini dinyatakan bahwa pada tanggal 14 Juni 2004 DPRD Garut telah mengembalikan uang dugaan kelebihan penggunaan APBD DPRD Garut dari tahun 2001-Maret 2003.

Jumlah uang yang dikembalikan adalah Rp 2,5 miliar atau 37,88 persen dari nilai seluruh anggaran yang diduga dikorupsi, yang besarnya mencapai Rp 6,6 miliar.

Dalam surat itu juga ditulis bahwa pengembalian uang ini merupakan bukti itikad baik DPRD Garut. Jumlah uang yang dikembalikan juga dikatakan masih bersifat sementara sambil menunggu perhitungan yang pasti.

Sebagai bukti pengembalian uang, surat itu juga dilengkapi dengan fotokopi kuitansi penerimaan uang yang ditandatangani Kepala Kantor Bendahara Umum Daerah Garut Wawan Herawan pada tanggal 14 Juni 2004.

Dihubungi terpisah, Kepala Sub-bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol pada Bagian Umum, Sekretariat Daerah Garut, Gania Karyana mengaku belum mengetahui kebenaran dari pengembalian uang itu. "Saya belum mengecek ke bagian keuangan. Saya hanya mendengar isunya. Namun, jumlahnya masih simpang siur. Ada yang bilang Rp 2 miliar, Rp 2,2 miliar, Rp 2,4 miliar, dan Rp 2,6 miliar," kata Gania.

Sementara itu, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Garut Masril juga hanya mengaku telah menerima surat pemberitahuan pengembalian uang dari DPRD Garut. "Tentang kebenaran isinya saya belum tahu karena belum bertanya ke kas daerah," ujar Masril.

"Semoga saja pengembalian uang itu memang benar adanya. Sebab, jika hanya pernyataan di atas kertas, para anggota DPRD Garut akan mendapat hukuman yang lebih berat," ujar Masril.

Ia juga berharap pengembalian uang itu segera ditindaklanjuti hingga semakin mendekati atau bahkan sama dengan jumlah semua uang yang diduga telah disalahgunakan DPRD, yaitu Rp 6,6 miliar.

Namun, lanjut Masril, pengembalian uang itu tidak akan banyak mempengaruhi proses penyidikan kasus ini. Sebab, penyalahgunaan keuangan itu telah terjadi. "Pengembalian uang ini paling hanya dapat mengurangi hukuman yang akan diterima," tutur Masril.

Dalam rangka pengusutan, lanjut dia, minggu ini Kejari Garut akan meminta keterangan dari 10 anggota DPRD Garut. Menurut hasil penyidikan sementara, kata Masril, penyalahgunaan anggaran keuangan ini antara lain muncul dalam bentuk adanya biaya perjalanan dinas pindah pada pos belanja pegawai DPRD tahun 2001 yang besarnya mencapai Rp 726.05 juta dan Rp 1,748 miliar pada tahun 2002.

"Keberadaan pos anggaran itu jelas pelanggaran karena tidak tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD," kata Masril.

"Kejanggalan lain juga terlihat pada anggaran biaya perjalanan dinas tahun 2003 yang mencapai Rp 3,4625 miliar atau hampir 18 kali lipat jika dibandingkan dengan biaya perjalanan dinas tahun 2002 yang hanya Rp 193,495 juta," ungkap Masril menambahkan.

Adapun Kepala Kejari Ciamis, Jawa Barat, Agus Sutoto berjanji akan melimpahkan berkas perkara penyalahgunaan keuangan DPRD Ciamis tahun 2001-2002 sebesar Rp 5,2 miliar ke pengadilan pada bulan Juli mendatang.

"Untuk sementara, kami masih menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Wakil Ketua DPRD Ciamis Dede Heru, mantan Wakil Ketua DPRD yang sekarang sudah menjadi Wakil Bupati Ciamis Dedi Sobandi, Wakil Sekretaris Panitia Anggaran DPRD Nasuha, dan sekretaris DPRD Djajuli," ucap Agus.

Bukti baru di Payakumbuh

Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star dan seluruh anggotanya yang ditangani Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat pada Rabu (16/6) kemarin ditemukan bukti-bukti baru.

Temuan terbaru yang diperoleh polda dan kemudian dilakukan pemeriksaan ulang terhadap Chin Star menunjukkan bahwa uang yang diduga dikorupsi Chin Star membengkak menjadi sekitar Rp 300 juta.

"Sebelumnya, Chin Star diduga korupsi APBD Kota Payakumbuh tahun 2003 Rp 167.774.500 berdasarkan temuan BPKP," kata Kepala Polda Sumatera Barat melalui Kadit Humas Polda Sumbar Ajun Komisaris Besar Langgo Simalango, Rabu (16/6). (nwo/nal)

Read More...