-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

31 July 2007

DPRD Janji Ubah Raperda Tibum

Pos Kota
31 Juli 2007


JAKARTA (Pos Kota) – Usulan Pemda DKI seputar revisi Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum (Tibum) yang isinya antara lain bakal memberikan sanksi terhadap pedagang Kaki-5 dan pembelinya tanpa menyentuh si oknum aparat tukang pungli dinilai DPRD tidak adil. Karena itu, dewan berjanji bakal mengubah usulan tersebut.

“Kita akan memasukkan aturan agar si tukang pungli juga dikenakan sanksi berat. Jangan hanya Kaki-5 dan pembelinya saja yang dihukum, si oknum aparat tukang pungli juga harus dijerat diberikan sanksi berat,” tegas Firmansyah, Ketua Fraksi Demokrat DPRD DKI, kemarin.

Sebelumnya Gubernur Sutiyoso mengaku pihaknya telah menyerahkan satu Rancangan Perda (Raperda) untuk merevisi Perda tentang Ketertiban Umum. Dalam draft yang diajukan itu, isinya banyak mengekang ruang gerak Kaki-5 mengais rezeki. Bukan itu saja, baik Kaki-5 dan konsumennya atau pembelinya bakal dikenakan sanksi denda maksmal Rp 50 juta atau kurungan badan paling lama enam bulan bila berjualan dan membeli barang di sembarangan tempat.

BAKAL DIHADANG
Firman memaklui bila pengajuan revisi Perda tentang Ketertiban Umum tersebut. “Tetapi isinya jangan diarahkan ke Kaki-5 saja, si oknum aparat tukang pungli harus dihukum juga dong?” sambungnya.

Pendapat serupa juga diutarakan Nakum AR, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI. Ia berjanji bakal menghadang revisi Perda tentang Ketertiban Umum bila isinya tidak adil. “Jangan lindungi oknum aparat yang tukang pungli,” tandasnya.

Penelusuran Nakum di lapangan, sejauh ini Kaki-5 berani berjualan di trotoar dan badan jalan biasanya lantaran di belakangnya ada oknum aparat yang mengutif uang untuk menebalkan kantongnya. “Tidak mungkin Kaki-5 berani berjualan di sembarang tempat kalau dari awal dilarang,” ucapnya.

(sutiyono)

Read More...

Cheap loans planned for migrant workers

The Jakarta Post
31 July 2007

Jakarta -- Indonesian migrant workers, a significant yet often marginalized contributor to the economy, are to receive more government support in the form of cheap loans and improved worker protection schemes during their employment.

The planned loans, which are expected to help unskilled workers finance their job searches abroad, will carry annual interest rates of 6 percent or less, Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno said.

The government will also help provide the collateral commonly required for commercial bank loans, whose average interest rates are at present above 10 percent.

"We want to support migrant workers," Erman told reporters Monday after a meeting with Coordinating Minister for the Economy Boediono.

"With the loan scheme, they won't have to sell their paddy fields or other property (to pay the expenses to go abroad)."

Erman said the amount of loans to be disbursed would depend on the banks involved. State lenders Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) and Bank Rakyat Indonesia (BRI) are among the banks that have expressed interest in the program.

The loans will be guaranteed against a "worker's insurance fund", which is still being discussed as part of deliberations of Indonesia's new labor law.

"Further guarantees will come from the workers' permits being issued by related ministries and regional authorities," Erman said.

There are currently about 2.7 million unskilled migrant workers, most working as housemaids or construction workers. They contribute to the economy through the remittances or income they send back home.

Last year, remittances by migrant workers amounted to some US$3.4 billion in foreign exchange. This was 1 percent of Indonesia's gross domestic product or 6 percent of forex reserves.

Erman previously talked about funds of up to Rp 80 trillion to help finance the sending abroad of four million migrant workers by 2009. Bank Mandiri last year disbursed Rp 200 billion in total lendings for migrant workers, each receiving between Rp 15 and 20 million at commercial interest rates.

Many migrant workers fall prey to illegal lenders charging up to 100 percent interest, or have to sell off their belongings to raise at least the Rp 10 million needed to cover expenses for passports, exit tax and airplane ticket.

The situation is made worse because many workers are exploited by corrupt job placement agencies, customs officials and employers.

The latest case was that of Ceriyati, a housemaid who was abused and not paid her wages by her Singaporean employers.

Erman said the government would continue improving the skills and protection for migrant workers.

This includes working on legal protection agreements with countries that are the main destinations for Indonesian migrant workers, such as Saudi Arabia, Malaysia, Brunei and Singapore.

"Pending problems on this issue are mainly in the different laws with these countries, particularly laws relating to domestic household matters," he said. "We also have to work on providing legal counselors for migrant workers abroad."

Urip Hudiono

Read More...

30 July 2007

Fazi Bowo – Pijanto Dukung Warga Meruya Selatan

Pos Kota
30 Juli 2007

JAKARTA (Pos Kota) - Cagub DKI H.Fauzi Bowo dan Cawagub Priyanto, mendukung warga Kelurahan Meruya Selatan melakukan perlawanan hukum atas lahan tanah dan bangunannya yang terancam eksekusi PT Portanigra.”Kami bersama Priyanto dan dukungan 19 partai sudah berkomitmen ikut terus memperjuangkan nasib warga Meruya Selatan,”pekik Fauzi Bowo disambut meriah dengan yel-yel hidup Fauzi Bowo hidup Priyanto dan 19 partai pendukungnya.

Dukungan Fauzi Bowo ini disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya ketika kampanye terbuka di lapangan bola Mercu Buana Kelurahan Meruya Selatan, Minggu (29/7) siang. Dukungan ini sebagai upaya agar warga dapat mempertahankan haknya dari pihak lain yang akan merampas hak warga tersebut.

Rencana eksekusi terhadap 78 Ha lahan, meliputi 10 dari 11 RW di Kelurahan Meruya Selatan 21.000 jiwa (5.000 bangunan) yang sudah memiliki sertifikat, IMB, membayar PBB dan menguasai fisik, cagub paham betul akan kondisi ini bahkan saat aktif menjadi Wagub, Fauzi Bowo mendampingi Gubernur Sutiyoso yang siap pasang badan untuk melakukan perlawanan hukum, ketika bertemu warga Meruya Selatan, di Universitas Mercu Buana, beberapa waktu lalu.

Kasus Meruya Selatan awal Mei 2007 sempat menjadi perhatian dunia internasional karena Forum Masyarakat Kelurahan Meruya Selatan (FMKMS) melihat putusan Mahkamah Agung No 2683/PDT/G/1999 banyak kejanggalan. Ada 79 dari putusan 147 yang salah, penandatangannan yang berbeda. Maka atas putusanm yang dinilai mendzolimi warga, FMKMS melapor ke tujuh (7) negara.

Dari respon 7 negara ini sudah menyampaikan langsung ke Presiden SBY dan SBY sudah membentuk tim investigasi. ”Penasehat Hukum Pak SBY, bapak Adnan Buyung Nasution sudah beberapa kali bertemu forum,” kata Fransisca Ramona, kuasa hukum warga.Pak Adnan sudah mempelajari masalah ini dan menilai putusan pengadilan Non Unexetable (tidak dapat dieksekusi) dasarnya tanah yang akan dieksekusi tidak jelas batas-batasnya, ada aset negara dan sudah dimiliki warga (pihak ketiga).

TAK HANYA SEBATAS KOMITMEN
Menanggapi pernyataan cagub dan cawagub, Fransisca berharap tidak hanya sebatas komitmen, tapi harus dilakukan terbosan melalui aspek hukum dan ekonomi. Karena sampai sekarang pemerintah daerah (Pemda DKI) maupun pemerintrah pusat belum memberikan secara kongkrit.

“Kami berharap Pak Fauzi dan Pak Priyanto, jika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta benar-benar mewujudkan janjinya.Apalagi program pemda sebagai memberdayakan masyarakat, seperti pemberdayaan masyarakat melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) yang disalurkan melalui Dewan Kelurahan.”tambahnya.

AKBAR TANJUNG
Kampanye Cagub/cawagub Fauzi Bowo - Priyanto, selain dihadiri 19 tokoh partai pendukungnya, juga dihadiri Akbar Tanjung dan berorasi, Sabam Sirait, Achmad Suaidy, Ernawati Sugondo.

Kampanye juga disemarakan Orkes Dangdut Soneta Grup, dari 5 lagu yang dilantunkan Rhoma Irama, satu lagu khusus mengajak warga memilih Fauzi Bowo, demikian juga Elvi Sukaesih dan Mandra.
(herman)

Read More...

TKW Malang Dihajar Majikan

Surya
Monday, 30 July 2007

Malang - Pupus sudah harapan tenaga kerja wanita (TKW) asal Desa Dilem, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Diah AS, 20, pulang dari Hongkong membawa dolar. Belum sempat menerima gajinya sebagai pembantu rumah tangga (PRT), dia keburu dipulangkan ke Indonesia minggu lalu.

Bungsu dari pasangan Imam M, 67, dengan Sri D, 57, ini pulang dari Hongkong dengan tangan hampa karena menjadi korban penganiayaan majikannya. Bahkan, ia sempat dituduh mencuri handphone (HP) milik majikannya sehingga menerima siksaan.

Selain dipukul, ia juga sempat merasakan panasnya setrika.
Penyiksaan itu sampai kini belum hilang dari ingatannya. Setiap kali melihat paha dan tangan kanan serta punggungnya, ia kembali teringkat penganiayaan yang menimpa dirinya sebab bekas luka itu masih membekas jelas.

"Yang kejam itu juragan wanita. Saya bekerja di rumahnya seperti tidak ada benarnya. Kadang tanpa ada masalah, dia marah-marah dan langsung memukul," tutur Diah beberapa saat setelah tiba di rumahnya, sambil menunjukkan luka hitam di pahanya.

Didampingi bapaknya, Imam, Diah menceritakan penderitaannya selama sebulan di negeri orang. Ia berangkat ke Hongkong melalui sebuah PJTKI di Kecamatan Singosari pada akhir Mei 2007 lalu. Ia bekerja sebagai PRT di Hongkong.

Sebelum sampai di rumah juragannya, dia diberi tahu oleh PJTKI kalau gajinya nanti 1.800 dolar Hongkong per bulan.

Namun di luar dugaannya, dia dituduh mencuri HP juragannya sehingga dilaporkan agen Hongkong. Beberapa jam kemudian, ia dijemput petugas agen. Sebelum dipulangkan, ia sempat menginap seminggu di kantor agen. "Saat itu saya sempat telepon ke rumah dan menceritakan penderitaan saya. Saya katakan pada bapak, saya nggak kuat karena
sering dipukul," tuturnya.

Akhirnya, Imam mendatangi PJTKI dan menceritakan tentang penderitaan anaknya itu. Namun tak ada respon dari PJTKI dengan alasan belum menerima laporan dari Hongkong. Malah yang membuat sakit hati bapak Diah, PJTKI itu minta uang ganti rugi sebesar Rp 7 juta, sebagai biaya keberangkatan anaknya.

Karuan saja, orangtua Diah makin pusing karena tidak mempunyai uang sebesar itu. "Saat itu saya sanggup saja, meski tidak punya uang. Yang penting anak saya bisa pulang dengan selamat," tutur Imam, Minggu (29/7), menceritakan pengalamannya.

Disaat Imam mencari uang pinjaman itu, Diah sudah tiba di rumahnya. Ia dijemput petugas PJTKI di Bandara Juanda, Surabaya. Setelah tiba di Kecamatan Singosari sekitar pukul 22.00, ia disuruh langsung pulang ke Kepanjen dengan menumpang mobil Bison.

Kadisnaker Pemkab Malang Razali, Minggu (29/7), mengaku belum menerima laporan tersebut. Ia menyarankan agar Diah melapor ke kantor Disnaker agar masalah ini bisa diselesaikan.st12

Read More...

29 July 2007

Kaki-5 Jadi Sapi Perahan

Pos Kota
29 Juli 2007

JAKARTA (Pos Kota) – Pungutan liar (pungli) terhadap pedagang Kaki-5 bagai karatan. Keberadaan Kaki-5 di lima wilayah kota menyuburkan kawanan preman dan oknum aparat terkait. Parahnya, isi draft revisi Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum justru lebih banyak mengekang Kaki-5 dan konsumennya alias tidak menyentuh si tukang pungli. Baik pedagang sektor informalnya yang berjualan di sembarang tempat dan pembelinya bisa dikenakan sanksi denda Rp 50 juta atau kurungan badan 6 bulan.

Karuan saja, sebagian besar Kaki-5 kala dimintai komentarnya seputar revisi Perda Ketertiban Umum kontan mencibirnya. “Sudahlah, mau direvisi atau tidak ujung-ujungnya yang disalahin kami-kami juga,” tutur Agus RM, satu Kaki-5 di kawasan Tanah Abang.

Penjual pakaian ini, balik mempertanyakan sanksi apa terhadap si tukang pungli. “Bikin aturan selalu tidak berpihak kepada rakyat kecil seperti kami ini. Sepertinya Jakarta bukan untuk rakyat kecil,” ucapnya.

PUNGLI KAKI-5
Sejauh ini, pungli terhadap Kaki-5 masih marak. Di sepanjang Jl Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk hampir setiap mengais rezeki mereka jadi sapi perahan oknum aparat.

Di sepanjang ruas jalan tersebut, tercatat 40 lapak pedagang VCD/DVD bajakan, dan sekitar 70 lapak pedagang penjual obat. Ratusan Kaki-5 itu biasa membuka usahanya di pinggiran jalan pada Pk. 17.00 sampai menjelang pagi.

“Perlu obat kuat om… atau film-film terbaru ?” tanya seorang pedagang. Setelah tawar menawar, lelaki itu melaju dengan mobilnya setelah membeli viagra seharga Rp 40 ribu perbutir dan sebuah VCD film semi porno seharga Rp 40 per keping.

Aktivitas sepanjang malam itu diwarnai kesibukan para pembeli VCD dan obat-obatan yang umumnya pengendara mobil pribadi, ada juga pengendara sepeda motor. Menjelang tengah malam, sekitar Pk. 22:00 mulai terlihat oknum-oknum yang menarik ‘pajak’ kepada para pedagang.

Namun rata-rata pedagang VCD yang jadi sasaran pemalakan. Sebuah sepeda motor berhenti di di dekat lapak, pedagangnya buru-buru menghampiri sambil menggenggam uang yang kemudian diberikan kepada oknum itu.

Selang beberapa puluh menit kemudian, sebuah mobil patroli polisi juga ‘mampir’. Tak ketinggalan, sebuah Kjang tua berplat dinas tentara juga ‘mampir’ sebentar, setelah itu berlalu dan menghempari pedagang lainnya yang membuka lapak lainnya. Oknum yang diduga satpol PP juga tak ketinggalan.

Ibarat ‘sapi perahan’ para pedagang ini rutin setiap malam memberi upeti kepada oknum-oknum tersebut. Kalau dihitung-hitung, dalam semalam tak kurang Rp 1,2 juta uang pungutan liar berputar di lokasi tersebut.

Para pedagang mengaku, supaya aman dalam mengais rezeki mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 30 ribu sampi Rp 40 ribu.

“Bagiamana mau dapat untung, kadang-kadang gedean “pengeluarannya” dibanding pendapatan,” keluh salah seorang pedagang. Dengan dalih untuk keamanan dan kelancaran para pedagang yang kebanyakan berasal dari Brebes dan Sumatra Utara ini terpaksa memberikan uang pelicin tersebut.

Salah seorang pedagang mengungkapkan pengalamannya, dalam satu malam ia pernah keluar uang sampai Rp 50 ribu. “Ada yang mintanya Rp 10 ribu, tapi ada juga yang terima diberi Rp 5 ribu, bahkan juga Rp 3 ribu,” tutur Tj. Pungutan ditarik bukan hanya oleh oknum yang sedang melaksanakan tugas, namun juga dilakukan oleh petugas yang telah lepas dinas.

Sepenggal kisah tak menyenangkan pernah dialami Sur, 37, lelaki tiga orang anak asal Subang, Jawa Barat yang nekat membangkang. Ia pernah menolak memberikan ’jatah’ lantaran beralasan baru saja menggelar lapaknya dan belum laku.

”Saya langsung ditarik masuk ke dalam mobil patroli. Waktu itu mereka ngancam mau menjebloskan saya ke penjara karena melanggar pasal tentang hak cipta dengan menjual VCD dan DVD bajakan,” tutur Sur yang mengaku membeli dagangannya dari kawasan Glodok.

Nyali Sur menjadi ciut, yang ada dalam benak lelaki itu hanya keluarganya di kampung. ”Kalau di penjara, nasib istri dan anak-anak saya gimana,” pikirnya saat itu.

Dirinya langsung berinisiatif untuk melakukan negoisasi dengan kedua oknum petugas yang menyeretnya ke dalam mobil patroli berlabel Polda Metro Jaya tersebut. HP seharga Rp 1,6 juta melayang berpindah tangan ke aparat keamanan. ”Mau gimana lagi, daripada makin rumit urusan,” keluhnya.

Yang makin membuat mereka kesal walaupun telah membayar upeti kepada polisi namun saat digelarnya razia tetap saja para pengusaha kecil ini terjaring. “Jangankan untuk dilepaskan, informasi mau ada razia saja kita nggak dikasih tau,” timpal Sn, pedagang lainnya.

PILIH NGUMPET
Untuk mengatasi “pemalakan” ada suatu cara unik yang dilakukan pedagang. Para pedagang berdiri jauh beberapa meter dari lapak yang digelarnya karena oknum-oknum itu biasaya tidak berhenti jika melihat pedagangnya tidak ada.

Walaupun puluhan pedagang VCD/DVD bajakan menyadari usaha yang dilakukan melanggar aturan, namun bagai “sapi perahan” mereka dipelihara oleh beberapa anggota oknum petugas keamanan dengan tujuan setiap saat dapat diperas susuya.

Nasib yang sedikit lebih baik dirasakan oleh para pedagang obat. Dalam semalam satu pedagang hanya mengeluarkan kocek sebesar Rp 2 ribu . Uang tersebut diperuntukkan untuk menyewa lahan parkir yang digunakan untuk usaha dagangnya.

Namun demikian para pedagang obat semi ilegal ini ditarik pungutan uang sebesar Rp 100 ribu. Dengan rincian Rp 20 ribu untuk bayar tempat menggelar lapak, Rp 30 ribu untuk pembayaran listrik, dan Rp 50 ribu untuk disetorkan kepada Koramil yang tempatnya digunakan untuk menitip gerobak.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Ketut Yoga yang dikonfirmasi soal pengaduan pedagang yang menjual VCD bajakan tersebut menjelaskan pihaknya belm mendapat informasi soal itu. Tapi, jika ada oknum polisi manapun yang meresahkan pedagang, silahkan dilaporkan ke Propam Polda Metro.
(C7/irda/sutiyono)

Read More...

Ditertibkan, Jasa Pengiriman Uang dari Luar Negeri

SUARA PEMBARUAN DAILY
29/7/07

[JAKARTA] Bank Indonesia (BI) mengusulkan untuk segera menertibkan jasa pengiriman uang dari luar negeri. Terutama perusahaan-perusahaan ilegal yang menyediakan jasa transfer dana para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Perlunya penertiban ini, karena maraknya biro-biro jasa nonformal yang sulit diminta pertanggungjawabannya jika terjadi wanprestasi (gagal bayar).

Deputi Gubernur BI bidang akuntansi dan system pembayaran, S Budi Rochadi kepada SP di Jakarta, Senin (30/7) mengatakan, sebagai langkah awal menertibkan pengiriman uang, pihaknya bersama-sama Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Luar Negeri akan membahas draf rancangan undang-undang (RUU) transfer dana.

"Kami dalam proses pembahasan bersama tim lintas sektoral. Diharapkan, awal tahun depan drafnya sudah selesai disampaikan ke DPR," kata Budi.

Dia mengatakan, BI perlu mengatur pengiriman uang ini, karena sudah diamanatkan dalam UU BI di mana setiap lembaga yang menyelenggarakan jasa system pembayaran wajib memperoleh izin dan memberikan laporan penyelenggaraannya kepada bank sentral.

Selain itu, banyak kegiatan money remittance oleh para TKI dilakukan melalui sektor informal dan belum ada pengaturannya. Dalam UU akan diatur, setiap lembaga bukan bank yang menyelenggarakan transfer dana wajib memperoleh izin dari BI.

Hal-hal yang perlu diatur dalam ketentuan tersebut seperti penyeragaman batasan pengertian money remittance, sehingga pencatatan aliran dana dari devisa TKI di luar negeri pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencerminkan data yang sesungguhnya.

Akurasi data ini bermanfaat bagi bank sentral terutama dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter. Di sisi lain juga bermanfaat bagi pemerintah untuk mendukung pengelolaan kas seperti optimalisasi investasi untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Data dari BI menunjukkan, jumlah remittance yang masuk ke Indonesia pada 2006 mencapai US$ 5,56 miliar atau sekitar Rp 5 triliun.

Aksi di Hong Kong

Dari hasil penelusuran SP di Hong Kong, di sepanjang kawasan Causeway Bay terdapat sejumlah lembaga-lembaga pengiriman uang ilegal yang hanya bermodal telepon untuk mengirim data si pengirim dana yang selanjutnya meminta rekannya atau keluarganya yang berada di Indonesia untuk mengirim ke rekening tujuan di Indonesia.

Pengiriman dana ilegal itu dibenarkan pemimpin cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Hong Kong Bramono Dwiedjanto yang menyatakan, pengiriman dana oleh TKI di Hong Kong lebih banyak melalui jasa pengiriman ilegal ketimbang melalui jasa pengiriman lembaga keuangan formal seperti bank.

Kecenderungan para TKI ini mengirim lewat jasa ilegal, karena biaya yang mereka pungut relatif lebih murah, karena tinggal mengirim pesan singkat ke rekannya di Indonesia untuk mengirim dana sejumlah yang dikirim sang TKI.

"Jadi sifatnya menggunakan dana talangan dan rekannya di Indonesia memiliki sejumlah rekening bank, sehingga sifatnya hanya transfer interbank," kata Bramono.

Yanti, salah seorang TKI Indonesia asal Madiun mengatakan sebenarnya sudah banyak dana para TKI yang dikirim melalui jasa ilegal tidak sampai, tetapi mereka tidak berani menuntut. "Banyak yang tidak sampai, tetapi mereka takut berurusan dengan aparat keamanan, karena TKI-nya pun bisa dikenakan denda yang sangat mahal," kata Yanti.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom mengatakan, untuk menjawab kebutuhan dan tantangan penyelenggaraan sistem pembayaran, bank sentral menetapkan beberapa kebijakan ke depan yang diarahkan pada minimalisasi risiko, optimalisasi efisiensi, kesetaraan akses bagi pelaku sistem pembayaran dan prinsip perlindungan konsumen. [B-15]


Read More...

28 July 2007

[Kalim Andriani, 27] Sakit Perut, TKW Dagangan [Madiun] Meninggal - [Brunei]

Memo
28 Juli 2007

Madiun, Memo

Satu lagi nasib tragis dialami Buruh Migran Indonesia (BMI) atau biasa disebut Tenaga Kerja Indonesia (TKW). Kemarin (27/7) kabut duka menyelimuti kediaman Kalim Andriani (27) seorang TKW asal warga Dusun Pandansari Desa Jetis Kec Dagangan Kab Madiun.

Pahlawan devisa ini pulang di kampung halaman bukannya membawa limpahan rupiah namun meninggalkan cucuran air mata bagi keluarga yang ditinggalkan. TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Brunai Darusalam itu meninggal dunia disebabkan penyakit dibagian perutnya.

Informasi Memo, korban meninggal dunia saat dalam perjalanan ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Korban menghembuskan nafas terakhir beberapa menit ketika KM Marisa Nusantara akan bersandar. Sesuai data yang ada, korban menumpang di kapal tersebut dari dermaga Pontianak Kalimantan Barat dengan karcis kelas ekonomi.

Kapolsek Dagangan AKP Sumarji mengatakan, sebelum dimakamkan, petugas masih sempat melihat kondisi korban untuk terakhir kali. Hasilnya, di dalam tubuh korban dipastikan tidak ada tanda-tanda penganiayaan. "Korban bersih artinya memang sama sekali tidak ditemukan tanda mencurigakan seperti penganiyaan," jelas Kapolsek kepada Memo, Jumat (27/7).

Ditambahkan, untuk memperkuat keterangan, pihak medis KM juga membubuhkan tanda tangan di surat pernyataan jika korban murni meninggal lantaran sebuah penyakit dan bukan sebab lainya. Hal itu juga diperkuat pernyataan kakak kandung korban jika pihak keluarga tidak akan menuntut pihak KM terkait meninggalnya korban.

Sedangkan paman korban mengatakan kalau selama ini korban tidak pernah pamitan kalau akan berangkat bekerja ke luar negeri. Begitupun soal jenis penyakit yang diderita, lelaki berumur sekitar 45 tahun ini mengaku kalau korban juga tidak pernah memberitahukannya. "Jangankan soal itu lha kiriman saja belum pernah," jelasnya ketika ditemui Memo, Jumat (27/7).

Dikatakan, dari pihak keluarga kematian korban sudah diikhlaskan. Artinya, lantaran tidak ada tanda penganiayaan, pihak keluarga juga tidak mempermasalahkan. Bahkan, dari pihak KM ternyata sempat memberi uang duka sebesar Rp 500 ribu. "Kita ihklas saja karena keponakan saya memang meninggal secara wajar," urainya.

Korban, lanjutnya memang tidak berangkat melalui pengerah jasa tenaga kerja di Kab Madiun. hanya saja untuk pembuatan paspor, korban pernah minta tolong lewat jasa sebuah PJTKI di kawasan Kec Geger Kab Madiun. "Karena menunggu lama, akhirnya ponakan saya memilih PJTKI di Surabaya untuk berangkat," tambah paman korban.

Secara terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kab Madiun, Ir Edy Sugiharto dikonfirmasi soal kematian TKW tersebut mengaku belum mengetahui. Kendati demikian, pihaknya tetap akan memberikan santunan bagi keluarga korban. "Kita belum tahu, ya disebabkan tidak ada laporan masuk. Namun kita tetap akan memberi santunan," kata Edy kepada Memo. (hwi)

Read More...

Perda Ketertiban Umum DKI Direvisi Jajan Sembarangan Denda Rp 50 Juta

Pos Kota
28 Juli 2007

JAKARTA (Pos Kota) – Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (Tibum) merupakan perda paling dibenci tukang becak dan pedagang Kaki-5 di Jakarta. Kini perda tersebut direvisi. Kedepan tidak hanya pedagang yang akan ditindak, tapi pembeli juga akan dijerat 6 bulan kurungan dan denda maksimal Rp 50 juta bila tertangkap bertransaksi dengan pedagang di lokasi terlarang. Artinya jajan sembarangan bakal didenda atau masuk bui.

Revisi perda tersebut disampaikan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada siding paripurna DPRD, Jumat (27/7). Menurut Sutiyodo, Perda Nomor 11 tahun 1988 tersebut tidak layak lagi. Hal yang direvisi meliputi sanksi kepada pelanggar, perubahan objek pelanggar, dan penambahan pengaturan ketertiban.

"Perda ini sudah usang, perlu disempurnakan. Tahun 1988 itu kan belum ada busway, belum ada three in one dan lain-lain, jadi semua dirancang supaya lebih efektif, lebih memberikan kepastian kepada masyarakat apa yang boleh dan apa yang dilarang," katanya.

Dalam perda lama, pembeli tidak mendapat sanksi apapaun karena bertransaksi di empat terlarang seperti srana umum. Yang ditetibkan selama ini hanya pedagang saja. "Kalau dulu kan hanya pedagangnya saja yang ditindak, tapi sekarang termasuk pembelinya juga dikenakan sanksi,” kata Sutiyoso.

MENYANGKUT 10 TERTIB
Sanksi yang akan dijatuhkan kepada pelanggar tetap mengacu kepada undang-undang yakni kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.

Rancangan perda baru menyangkut 10 tertib meliputi, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib tempat usaha dan usaha tertentu; tertib bangunan; tertib sosial; dan tertib kesehatan, tertib tempat hiburan dan keramaian; serta tertib peranserta masyarakat.

Pada sisi lain, dalam pasal-pasal ditambahkan pula aturan-aturan baru seperti pengaturan three in one, joki, pengatur lalu lintas amatir (pak ogah), pengaturan pengunjuk rasa, pengaturan pemotongan dan peredaran hewan ternak, pengaturan tentang lembaga penyalur tenaga kerja, pengaturan tentang penggunaan lahan untuk penampungan barang bekas, tertib penggunaan tempat usaha dan hiburan serta bab tentang pembinaan dan pengendalian, perubahan dalam ketentuan pidana.
(john)

Read More...

Jangan Sampai Terjadi Lagi!

Read More...

27 July 2007

Rita Setiani, 18, TKI asal Karawang Meninggal di Arab Saudi akibat Sakit Paru-paru

SIARAN PERS BERSAMA
Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant Institute For Migrant Workers (LBH-BM IWORK), Dewan Buruh Migran Pantura (DBMP), DPP Serikat Tani Nasional (STN)
27 Juli 2007

BERIKAN PERLINDUNGAN DAN HAK-HAK BURUH MIGRAN !
PENUHI HAK-HAK RITA SETIANI DAN KELUARGANYA !

Satu lagi buruh migran perempuan Indonesia meninggal dunia di Luar Negeri. Kali ini menimpa Rita Setiani binti Kosim, buruh migran Perempuan asal Dusun Kosambi Lempeng Tengah RT 03 / 04 Desa Sukatani Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang Jawa Barat.

Berdasarkan laporan dari Konsulat Jenderal R.I di Jeddah Saudi Rita Setiani bin Kosim meninggal dunia akibat penyakit paru-paru dan TBC, pada tanggal 1 Mei 2007. Terjadi kesimpangsiuran berita mengenai almarhumah, yang berkaitan dengan kapan meningganya dan sebab-sebab kematiannya, pada tanggal 30 April keluarga mendapat kabar dari majikan bahwa pada tanggal 1 Mei 2007 Rita akan dipulangkan karena sakit akibat jatuh dari lantai II rumah majikannya.

Pihak keluarga bahkan telah melakukan penjemputan diterminal III bandara Soekarno-Hatta, akan tetapi setelah 2 hari menunggu sampai menginap, Rita tak kunjung dating. Pada tanggal 16 Mei 2007 keluarga justru mendapat surat pemberitahuan dari kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi bahwa Rita Setiani telah meninggal dunia pada tanggal 1 Mei 2007 dengan lampiran visum dari Rumah Sakit King Fadh Bin Abdul Aziz yang menyebutkan bahwa penyebab kematiannya adalah Penyakit Paru-paru dan TBC.

Rita Setiani bin Kosim di berangkatkan oleh PT Fauzi Putra Hidayat, sampai di Arab Saudi pada 12 Oktober 2005. Berdasarkan dokumen keberangkatan yang dibuat PPTKIS PT Fauzi Putra Hidayat Usia Rita Setiani saat ini adalah 24 tahun, tapi berdasarkan konfirmasi tim bantuan hokum Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant Institute for Migrant Workers (IWORK) dan Dewan Buruh Migran Pantura dengan keluarga almarhumah yang kebetulan anggota Serikat Tani Nasional (STN) Karawang, Rita Setiani sebenarnya berumur 18 tahun, yang artinya ketika berangkat menjadi Buruh Migrant Perempuan ke Arab Saudi masih berumur 16 tahun. Itu artinya ada upaya pemalsuan document yang berkaitan dengan usia Almarhumah, yang artinya mengindikasikan terjadinya trafiking.

Kasus yang menimpa Rita Setiani binti Kosim hanyalah contoh kasus dari sekian banyak kasus kematian Buruh Migrant Indonesia di Luar Negeri, ini juga bukan satu-satunya kasus lambannya proses pemulangan Jenazah kembali ketanah air. Birokrasi yang berbelit menyebabkan proses pemulangan Jenazah terkesan lambat, ditambah tarik ulur dari pihak PPTKIS antara tawaran pemakaman jenazah di Arab Saudi atau Dipulangkan ketanah air.

Bahkan PT Fauzi Putra Hidayat terkesan menutup-nutupi proses pemulangan Jenazah agar tidak terekspose oleh media atas kelambanannya memproses pemulangan Jenazah dan pemenuhan Hak-hak Almarhumah sebagai buruh migrant kepada keluarga. Sedangkan tuntutan keluarga sendiri adalah Pemulangan Jenazah dan pemenuhan Hak-hak almarhumah sebagai Buruh Migrant.

Padahal di dalam Undang-undang 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri pasal 73 menyebutkan kewajiban PPTKIS untuk memulangkan Jenazah Ketempat asal dengan layak, menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan agama buruh Migrant yang bersangkutan, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota Keluarganya dan mengurus pemenuhan semua hak-hak Buruh Migrant yang harusnya diterima.

Pemalsuan document yang dilakukan PPTKIS yang bekerjasama dengan oknum aparat pemerintah Desa dan Kecamatan merupakan pilihan pahit yang harus diambil oleh Keluarga, karena tak ada pilihan lain demi meningkatkan perekonomian keluarga segala carapun diambil. Alih-alih mendapatkan penghasilan yang lebih baik, almarhumah Rita Setiani merupakan anak satu-satunya pasangan Suami Istri Kosim (42 th) dan Narsih (35) yang bekerja sebagai buruh tani, berangkat dalam keadaan segar bugar bahkan tidak memiliki riwayat menderita penyakit paru-paru atau TBC, tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia akibat penyakit TBC.

Selama 20 bulan masa kerjanya Almarhumah belum pernah sama sekali mengirimkan hasil kerjanya kepada keluarga. Sesuai dengan keterangan keluarga yang pernah beberapa kali menghubungi almarhumah bahwa Majikan selalu menunda-nunda pembayaran gaji yang merupakan hak dari Almarhumah sebagai Buruh Migrant. Setelah menunggu hamper 3 bulan akhirnya Jenazah almarhumah sendiri telah tiba di Tanah Air kemarin Sore menggunakan pesawat Qatar Airways Nomor penerbangan QR-767 ETDJeddah-Doha dan QR-612 ETD Doha-Jakarta, tiba dibandara Soekarno Hatta jam 16.25 WIB. Dan hari ini jam 09.00 WIB telah dimakamkan di Daerah asal Almarhumah.

Kasus-kasus serupa yang seperti yang dialami oleh Almarhumah sudah tak terhitung banyaknya, tapi masih terus berulang. Ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap Buruh Migrant dan Pelaksanaan Berbagai peraturan yang berkaitan dengan Buruh Migrant seperti Undang-undang 39 Tahun 2004, Undang-undang tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan Orang, Peraturan tentang hak Asuransi Bagi TKI dan lain-lain.
Untuk itu, Lembaga Bantuan Hukum Buruh Migrant IWORK (LBH-BM IWORK), Dewan Buruh Migran Pantura dan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional Menuntut :

  1. Berikan Hak-hak Rita Setiani binti Kosim Sebagai Buruh Migrant kepada Keluarganya Yaitu Santunan yang telah di Berikan Majikan kepada PPTKIS, Gaji yang belum terbayar dan Asuransi.
  2. Perjelas Hubungan Industrial antara Buruh Migrant dengan PPTKIS/PJTKI, PJTKA dan Majikan.
  3. Penghormatan dan Perlindungan menyeluruh dan simultan terhadap Buruh Migrant oleh Negara.
  4. Berantas Oknum Pejabat Pemerintah Pelaku Trafiking
  5. Implementasikan Undang-undang Pemberantasan tindak pidana perdagangan Orang.

Jakarta, 27 July 2007

Yuni Asriyanti
Program Coordinator

Donny Pradana
KPP Serikat Tani Nasional

Ibnu Khoiry
Dewan Buruh Migran Pantura



---------------------------------------------------------
Institute for Migrant Worker (Iwork)

Sekretariat Nasional:
Jl. Pangkur No.19, Ganjuran-Manukan, Condong Catur,
Depok, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 55281.
Phone.: +62-274-889611 Fax.: +62-274-889612

Liaison Unit Jakarta:
Jl. Pustaka Jaya II No. 3, Rawamangun,
Jakarta Timur, Indonesia 13220.
Phone/Fax: +62-21-4757281.

Email: iworkindo@yahoo.com, unimigrant@iwork-id.org
Legal Aid: helpline@iwork- id.org
Homepage: http://www.iwork- id.org

Read More...

Activist network calls for friendlier cities, new government attitudes

The Jakarta Post
City News - July 26, 2007

Jakarta - A network of social activists, urban planners and concerned citizens Wednesday called for a national action plan to create more livable cities.

The National Network for Pro-Public Cities had devised a proposal outlining actions aimed at change on the national, provincial and civil society level following a two-day workshop organized by the Jakarta-based non-governmental organization the Institute for Ecosoc Rights.

The institute's director Sri Palupi said government officials had to change the way they viewed urban poverty.

"The government has always viewed poverty as a personal or individual household issue when it is actually a communal problem which needs to be addressed inclusively," Sri said.

"If you look at Jakarta and study its vision and mission, all you'll find are abstracts -- normative terms that become difficult to put into action because nobody knows where to start."

The poor and marginalized are often left out of government policies despite being the very objects of poverty alleviation programs, she added.

"The government needs to start viewing poverty as a community issue and the urban poor as subjects to be empowered, like in the case of Bangkok," Sri said, referring to Thailand's urban community development program which succeeded in organizing street vendors and providing housing for the poor in the city and other regions in Thailand.

Seven percent of Jakarta's total population, or more than 675,000 people, are living below the poverty line, according to a 2006 census by the Central Statistics Agency (BPS). Nearly 18 percent of Indonesia's total population of 221 million is categorized as living in poverty according to another BPS study published in early July this year.

Among the seven suggestions made for implementation at the national level, the forum urged the government to decree the implementation of legislation on regional autonomy, regional government and spatial planning.

The National Network also urged the government to abandon its emphasis on economic growth as an indicator of urban development and adopt people-friendly measures based on the safety of residents, social productivity and environmental sustainability.

The event was also attended by Bangkok municipal representative Somsook Boonyabancha and Thammasat University lecturer Pthomrerk Ketudhat, who were invited to share their success stories in civic democracy and community development.(09)

Read More...

Bambang, 24, TKI meninggal akibat kecelakaan kerja

Lagi, TKI di Malaysia Pulang Tak Bernyawa
27 Juli 2007
okezone.com

SRAGEN - Satu lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Sragen tewas di Malaysia. Bambang (24), warga Ngasem, RT 10 RW 04, Desa Plosokerep, Kecamatan Karangmalang, Sragen ini, tewas di negeri Jiran ini pada Selasa, 24 Juli.

"Dari keterangan yang kami peroleh, Bambang tiba-tiba jatuh saat bekerja dan kemudian meninggal," kata kakak ipar Bambang, Ngatimin (35), di Sragen, Jawa Tengah, Jumat (27/7/2007).

Penyebab kematian pria yang bekerja sebagai sopir di salah satu perkebunan sawit ini, disebutkan karena terserang penyakit jantung. Jumat (27/7/2007), jenazah Bambang sampai di rumah duka pukul 09.30 WIB dan langsung dimakamkan di pemakaman umum desa setempat.

Menurut Ngatimin, kematian Bambang termasuk tiba-tiba. Pada malam sebelum kematiannya, Bambang masih sempat kontak dengan keluarga di Sragen melalui telepon selular. Namun, pada pagi harinya Bambang dikabarkan sudah tewas di tempatnya bekerja karena menderita sakit jantung.

Mendengar khabar tersebut, situasi di rumah sempat kalang kabut. Sementara, Sainah (60), ibu korban langsung shock mendengar berita ini dan seolah tak percaya kalau anaknya tewas di Malaysia. Sebab, pada malam sebelumnya Bambang memberikan kabar jika kondisinya sehat-sehat saja. Apalagi, pada dua bulan sebelumnya Bambang sempat mengirim uang sebesar Rp3 juta untuk keperluan ibunya di rumah.

Setelah kabar ini diterima, lanjut Ngatiman, pihak Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang menyalurkan Bambang ke Malaysia memberikan informasi jika jenazahnya akan sampai di Indonesia pada Jumat pagi. Selanjutnya, pihak keluarga dan para tetangga bergegas untuk mempersiapkan upacara pemakamannya. Jenazah Bambang tiba di rumah duka Jumat pagi sekitar pukul 09.30 WIB.

Sebelumnya, jenazah Bambang dan rombongan PJTKI yang mengurusi kepulangannya sampai di Jakarta sekitar pukul 06.00 WIB dan sampai di Bandara Adi Sumarmo Solo sekitar pukul 07.30 WIB. Ketika sampai di rumah duka, kurang dari satu jam jenazah korban langsung dimakamkan.

Sementara itu, dari penjelasan pihak PJTKI yang diwakili Fahmi, mengatakan kepada keluarga korban bahwa Bambang meninggal karena murni sakit jantung ketika bekerja di lapangan. Hal itu ditunjukkan dengan bukti visum dari kepolisian di Malaysia. Selanjutnya, pihak PJTKI juga menyampaikan uang duka kepada keluarga.

Selain uang duka dari PJTKI, pihak keluarga korban juga mendapat uang duka dari Pemkab Sragen. "Ini sekadar uang duka sebagai bentuk belasungkawa," ujar Sunindar, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja (Depnaker) Pemkab Sragen.(ary wahyu wibowo/sindo/ism)

Read More...

Lagi, [Bambang, 24,]TKI [asal Sragen] di Malaysia Pulang Tak Bernyawa [serangan jantung?]

okezone
Jum'at, 27/07/2007 18:28 WIB
Lagi, TKI di Malaysia Pulang Tak Bernyawa

SRAGEN - Satu lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Sragen tewas di Malaysia. Bambang (24), warga Ngasem, RT 10 RW 04, Desa Plosokerep, Kecamatan Karangmalang, Sragen ini, tewas di negeri Jiran ini pada Selasa, 24 Juli.

"Dari keterangan yang kami peroleh, Bambang tiba-tiba jatuh saat bekerja dan kemudian meninggal," kata kakak ipar Bambang, Ngatimin (35), di Sragen, Jawa Tengah, Jumat (27/7/2007).

Penyebab kematian pria yang bekerja sebagai sopir di salah satu perkebunan sawit ini, disebutkan karena terserang penyakit jantung. Jumat (27/7/2007), jenazah Bambang sampai di rumah duka pukul 09.30 WIB dan langsung dimakamkan di pemakaman umum desa setempat.

Menurut Ngatimin, kematian Bambang termasuk tiba-tiba. Pada malam sebelum kematiannya, Bambang masih sempat kontak dengan keluarga di Sragen melalui telepon selular. Namun, pada pagi harinya Bambang dikabarkan sudah tewas di tempatnya bekerja karena menderita sakit jantung.

Mendengar khabar tersebut, situasi di rumah sempat kalang kabut. Sementara, Sainah (60), ibu korban langsung shock mendengar berita ini dan seolah tak percaya kalau anaknya tewas di Malaysia. Sebab, pada malam sebelumnya Bambang memberikan kabar jika kondisinya sehat-sehat saja. Apalagi, pada dua bulan sebelumnya Bambang sempat mengirim uang sebesar Rp3 juta untuk keperluan ibunya di rumah.

Setelah kabar ini diterima, lanjut Ngatiman, pihak Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang menyalurkan Bambang ke Malaysia memberikan informasi jika jenazahnya akan sampai di Indonesia pada Jumat pagi. Selanjutnya, pihak keluarga dan para tetangga bergegas untuk mempersiapkan upacara pemakamannya. Jenazah Bambang tiba di rumah duka Jumat pagi sekitar pukul 09.30 WIB.

Sebelumnya, jenazah Bambang dan rombongan PJTKI yang mengurusi kepulangannya sampai di Jakarta sekitar pukul 06.00 WIB dan sampai di Bandara Adi Sumarmo Solo sekitar pukul 07.30 WIB. Ketika sampai di rumah duka, kurang dari satu jam jenazah korban langsung dimakamkan.

Sementara itu, dari penjelasan pihak PJTKI yang diwakili Fahmi, mengatakan kepada keluarga korban bahwa Bambang meninggal karena murni sakit jantung ketika bekerja di lapangan. Hal itu ditunjukkan dengan bukti visum dari kepolisian di Malaysia. Selanjutnya, pihak PJTKI juga menyampaikan uang duka kepada keluarga.

Selain uang duka dari PJTKI, pihak keluarga korban juga mendapat uang duka dari Pemkab Sragen. "Ini sekadar uang duka sebagai bentuk belasungkawa," ujar Sunindar, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja (Depnaker) Pemkab Sragen.(ary wahyu wibowo/sindo/ism)

Read More...

Maids in a living hell

Al-Jazeera
FRIDAY, JULY 27, 2007
9:52 MECCA TIME, 6:52 GMT

Thousands of Asian women leave their homes each year to seek better jobs abroad as domestic workers.

Many of them are treated well, but some – subjected to physical and mental abuse – endure a living hell.

Most who venture abroad as domestic workers come from Indonesia and the Philippines, with Indonesia alone recording 2.5m workers, some of them as young as 12.

These women earn a wage of $100 a month, but the combined worth of their remittances adds up to an estimated $5.4bn a year.

The jobs take the workers to other Asian countries and to the Middle East, where they often find themselves unprotected by local labour laws, leaving the women open to exploitation.

At a school for maids near the Indonesian capital, Jakarta, women take the first step to escape from unemployment and poverty by enrolling on courses in housework.



Maid school

They are among an estimated 700,000 Indonesians, 80 per cent of them women, who embark on a journey abroad each year leaving behind partners and children.

But their journey ends in Terminal 3 – specially designated for returning migrant workers – at Jakarta's international airport.

Indonesian officials say an increasing number of domestic workers are returning home without having been paid, or much worse.

One case is that of a 20-year-old woman, her name withdrawn to protect her identity, who worked as a maid in Kuwait.

She claimed the father and son of the household had raped her.

She said her hands were black from exposure to chlorine used to clean toilets without gloves.

The worst cases of maid abuse can be found at Jakarta's police hospital, such as a woman with scars she claims were inflicted by her female employer in Kuwait because she worked too slowly.

"My arm and my buttock were ironed. Then my head was hit with a metal bar, my hair was cut, and my eyes were poked," she told Al Jazeera.

The Migrant Care organisation in Jakarta says such reports are becoming all too familiar, and are quickly filling up their database of abuse claims.


Desperation


Anis Hidayah, the executive director of Migrant Care, said a domestic worker in Indonesia and most other countries is not protected by labour laws as they are not considered to be formal workers.

In some cases, the women can work up to 22 hours a day, seven days a week, are sometimes starved and not paid, and are confined in homes indefinitely.

Recently an Indonesian maid in Malaysia tied sheets together and climbed down the ledge of a high-rise apartment in an attempt to escape an abusive employer.

Last year, 20 maids killed their employers, a figure that could rise this year.


Caption: An increasing number of abuses are being reported
Caption: Women train to do housework at a maid school
Caption: Indonesia 'exports' about 2.5m maids to a number of countries in Asia and the Middle East



Read More...

26 July 2007

‘Jangan Gusur Pedagang Kaki-5’

Pos Kota
26 Juli 2007

Kampanye calon gubernur dan wakil gubernur (cagub dan cawagub) Jakarta setiap saat ini sangat meriah. Warga sangat mengharapkan apa yang menjadi janji-janji para calon saat kampanye ini menjadi kenyataan setelah mereka terpilih. Sebab warga saat ini hanya bosen diberikan janji-janji waktu kampanye saja namun setelah terpilih lupa dengan janji tersebut.

Saat ini warga semakin kritis dan pandai menilai apa yang menjadi program maupun visi misi para kadidat gubernur yang maju dalam pilkada Jakarta 2007 ini. Jika nantinya para calon menjanjikan program yang memihak pada rakyat namun kenyataannya biasanya setelah terpilih ingkar janji dengan apa yang mereka utarakan sewaktu kampanye.

Dengan adanya pemilihan gubernur secara langsung dan baru pertama kalinya di Jakarta ini. Masyarakat sangat berharap agar apa yang menjadi program dari para calon untuk direalisasikan. Apalagi saat ini tokoh-tokoh yang maju dalam pilkada ini orang-orang yang telah berpengalaman di masing-masing profesinya.

PUNYA PENGALAMAN
Adang Daradjatun yang mendapat nomor urut satu mempunyai pengalaman di Kepolisian sedangkan Fauzi Bowo berpengalaman di pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Kedua calon sangat berpeluang menajadi orang nomer satu di Jakarta untuk melanjutkan segala pembangunan maupun peningkatan program-program di ibu kota yang masih menyimpan berbagai persoalan.

“Berikan kenyamanan kami dalam berdagang agar jangan main gusur saja terhadap pedagang Kaki-5,”cetus Jahro, pedagang cincou. Sebab saat ini masih jarang pedagang kaki lima yang tidak menempatkan tempat dalam berdagangnya sehingga sering menggunakan trotoar jalan untuk mangkalnya.

Ia juga meminta kepada gubernur mendatang untuk bisa membina pedagang kaki-5 yang belum tertapung ini. Agar kesejahteraan masyarakat bisa sama rata dan tenang untuk berdagangnya.”Binalah kami agar mendapat tempat yang layak untuk berdagang,”pinta warga Kramat Jakpus ini.

Lain lagi dengan Feri, salah satu penjual es batu, jika saat ini sering mendapatkan bantuan modal untuk usahanya. Untuk itu gubernur mendatang untuk bisa mengucurkan kridit tanpa bunga pada pedagang kecil.”Belum pernah kami mendapatkan bantuan modal usaha dari pemerintah,”keluh Feri.

Para pedagang kecil, kata lelaki yang sudah tiga tahun menjadi penjual es ini sangat membutuhkan suntikan dana untuk menambahkan modal usahanya. Namun saat ini mau minta suntikan dana ke bank tidak mempunyai jaminan yang disyaratkan.
(C1)

Read More...

Amah hidang air kencing dipenjara enam hari

Reuters
26 Juli 2007

HONG KONG: Seorang pembantu rumah Indonesia dipenjarakan selama enam hari di Hong Kong kerana menghidangkan secawan minuman mengandungi air kencing, lapor akhbar semalam.

Wanita berusia 29 tahun itu mengaku tidak bersalah atas dakwaan menggunakan bahan beracun, membinasakan atau bahan berbahaya lain dengan niat mencederakan tetapi menegaskan dia menggunakan air kencing sebagai rawatan masalah kulit dan berkata ia tersilap memasukkan ke dalam cawan untuk majikannya.

Majikan wanita itu, Szeto Ching-han menghidu bau kencing apabila meminta secawan air tetapi kemudian meminta pembantu rumahnya meminumnya dan dipatuhi pembantu rumah terbabit.

Szeto bagaimanapun mengambil cecair terbabit untuk diuji di makmal,lapor The South China Morning Post.

Pihak pembela berbalah bahawa majikan pembantu rumah terbabit tidak meminum air kencing terbabit dan ia tidak beracun.

"Satu-satunya perkara yang mengaitkan majikan itu dengan apa yang disebut sebagai bahan beracun hanyalah bau," kata peguam wanita terbabit yang dipetik memberitahu mahkamah.

Majistret berkata, tiada bukti pembantu rumah terbabit mengalami sebarang kecederaan selepas meminum air cawan itu. – Reuters

Read More...

President to help migrant workers

The Jakarta Post
26 July 2007

Hendarsyah Tarmizi, Seoul

President Susilo Bambang Yudhoyono has vowed to overcome problems faced by Indonesian migrant workers by providing a better recruitment process and forging better cooperation with destination countries.


Addressing a meeting predominately attended by migrant workers at the Indonesian embassy in Seoul on Tuesday, the President defended his administration's policies regarding labor problems.

Yudhoyono said many problems still existed involving Indonesian workers overseas, but stressed that criticism against the government's handling of labor issues was often exaggerated.

"There are many problems during the recruitment and employment of migrant workers overseas. But only a few of them have been ill treated or abused," he said.

The President said that in addition to improving the recruitment process, his administration would continue to monitor the conditions of workers through Indonesian embassies. The administration also plans to take a government-to-government approach in dealing with migrant labor problems.

"During a recent meeting with Malaysian Prime Minister Abdullah Badawi, I expressed concern over the fact Indonesian workers in that country have often been treated as second class residents. He (Badawi) agreed, and promised to settle the problem," Yudhoyono said in response to a question raised by a young Indonesian worker.

The worker said a change in the recruitment process for Indonesian workers in South Korea had significantly improved working conditions.

"But in the absence of a recruitment company, workers no longer have a place to report their concerns, especially if there is a problem with their employer," he said.

Since the beginning of this year, the recruitment of Indonesian workers in South Korea has been handled by a recruitment agency under the Indonesian Labor Ministry as part of a bilateral agreement signed by Yudhoyono and South Korean President Roh Moo-hyun during the latter's visit to Jakarta last December.

The South Korean government also introduced early this year an employment permit scheme, which allows Indonesian migrant workers to work in the country for up to five years from a previous three years.

There are at least 30,000 Indonesian citizens currently living in South Korea, about 28,000 of whom are working for industrial companies.

Workers are paid an average of US$1,000 monthly, a much higher salary compared to that received by Indonesian migrant workers in other countries.

Read More...

Nirmala Bonat Sering Disiram Air Panas dan Disetrika

Antara News Agency
Nasional

26/07/07 17:15

Kuala Lumpur (ANTARA News) - Nirmala Bonat mengungkapkan kepada pengadilan Kuala Lumpur, Kamis, bahwa ia sering disiram air panas dan badannya diseterika oleh majikan perempuan Yim Pek Ha selama bekerja dari September 2003 hingga Mei 2004 di sebuah kondominium Villa Putra Kuala Lumpur.

Dengan muka tertunduk sambil mengusap air matanya beberapa kali Nirmala Bonat membeberkan semua peristiwa penyiksaan kepada pengadilan Kuala Lumpur yang dipimpin hakim Akthar bin Tahir.

"Saya disiram air panas ketika sedang membersihkan kamar mandi. Selain itu disiram air panas ketika sedang mencuci sepatu anak majikan, dan juga ketika di dapur. Kadang-kadang pagi dan petang. Saya tidak ingat tanggal kejadian, tuan yang arif," kata Nirmala kepada hakim. Ia menjelaskan hal itu ketika ditanya oleh Jagjit Singh, pengacara majikan perempuannya.

"Majikan saya bertanya apakah kamu mandi mencuci kepala. Saya jawab tidak karena kepala saya ada luka. Tak lama kemudian, majikan saya membawa air panas dari dapur kemudian menyiram air panas ke saya," kata Nirmala.

Nirmala juga mengaku beberapa kali badannya diseterika oleh majikan perempuan dengan setrika panas, tetapi ia tidak ingat tanggal dan hari kejadian. Ia hanya ingat peristiwa dan bagaimana kejadiannya.

Sidang kasus penyiksaan Nirmala hari ini rencananya akan mendengarkan permohonan pengacara Yim Pek Ha kepada hakim untuk membatalkan segala tuduhan terhadap kliennya ketika sidang sebelumnya Nirmala mengatakan kepada hakim bahwa laporan polisi yang dibuatnya pada waktu itu adalah tidak benar.

Tetapi hakim Akhtar bin Tahir kemudian meminta mereka untuk fokus pada pengujian laporan polisi, sementara para pengacara Yim mengatakan mereka sudah memfokuskan sidang hari ini untuk membacakan permohonan mereka. Hakim Akhtar tetap menolaknya dan meminta mereka untuk fokus menguji laporan polisi.

"Itu tergantung pada kalian mau ikut keputusan saya atau tidak. Saya akan skorsing sidang selama 15 menit," kata hakim.

Setelah sidang diskorsing, pengujian laporan Nirmala kepada polisi sektor Dang Wangi, Kuala Lumpur, 17 Mei 2004 kemudian dilanjutkan.

Seperti sidang-sidang sebelumnya, Nirmala menjawab pertanyaan-pertanyaan pengacara menunjukkan inkonsistensi dan membingungkan. Misalkan, ia mengatakan tidak pegang paspor dan bawa paspor ketika lapor kepada polisi. Ia juga mengatakan, tidak ingat berapa lama menunggu pemeriksaan polisi dan berapa lama diperiksa polisi.

Dengan nada tinggi, Jagjit Singh menanyakan, "Nirmala, kamu bicara yang betul. Jika kamu selalu jawab tidak ingat, mengapa dalam laporan polisi kamu menyebut nomor paspor kamu?"

"Pada waktu itu saya masih ingat nomor paspor saya sekarang lupa," kata Nirmala. Ia membuat laporan penyiksaan terhadap dirinya pada 17 Mei 2004 ke kantor polisi Dang Wangi, Kuala Lumpur.

Nirmala mengaku membuat laporan polisi dalam bahasa campuran, yakni Indonesia dan Malaysia, tetapi ketika ditanya Jagjit Singh, apakah kata-kakta "payudara, istri, dahi, majikan, setrika, menyiram, dan mengetuk" merupakan kata-kata Indonesia, dijawab bukan.

Nirmala adalah pembantu asal NTT yang disiksa dengan cara sering disiram air panas, disterika, dan dipukuli dengan tangan dan besi yang diduga dilakukan oleh majikan perempuannya Yim Pek Ha, 37 Thn. Ia bekerja dengan majikan sejak September 2003 hingga Mei 2004 di kondomonium Villa Putera, Kuala Lumpur.(*)


Read More...

Polisi Tangkap Tiga Tersangka Pengirim TKI Berkedok Magang

ANTARA News
26/07/07 15:49

Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia bekerjasama dengan Polisi Diraja Malaysia telah menangkap tiga tersangka kasus pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal ke Malaysia dengan berkedok program kerja magang.

Satu tersangka lain masih dalam pencarian, kata Kepala Biro Analis dan Pengkajian Strategis Kejahatan Transnasional, Badan Reserse Kriminal Polri, Brigjen Pol Mathius Salempang di Jakarta, Kamis.

Selempang mengatakan ketiga tersangka itu adalah Priyanto Esti Hartono (Direktur The Bandung Hotel School/TBHS), SN (Wakil Direktur TBHC) dan Siti Zubaidah alias Nurul (orang yang membantu penempatan di Malaysia).

Tersangka lain yang masih buron adalah Widy (orang yang bekerjasama dengan TBHS.

Polri kini bekerjasama dengan kepolisian negara-negara ASEAN untuk memburu Widy yang diperkirakan kabur ke salah satu negara di kawasan ini.

"Tiga tersangka saat ini masih dalam perjalanan ke Indonesia. Direncanakan sore ini, mereka akan tiba di Jakarta bersama dengan 45 korban dan tim Polri yang dikirim ke Malaysia," kata Salempang.

Kasus ini bermula ketika Widy dan Priyanto mengadakan kerja sama untuk merekrut mahasiswa TBHS untuk kerja magang di restoran dan hotel Malaysia.

Tiga bulan lalu mereka berhasil memberangkatkan 45 mahasiswa TBHS ke negeri jiran ini namun mereka tidak bekerja magang tetapi dipekerjakan sebagai karyawan hotel dan restoran.

Padahal, mereka tidak dibekali dengan dokumen sebagai TKI bahkan dokumen sebagai tenaga kerja magang pun juga tidak ada.

Untuk keberangkatan magang ini, para korban harus membayar Rp5 juta per orang.

Mereka dipekerjakan dengan gaji 350 ringgit per bulan dengan masa kerja delapan jam per hari. Gaji itu termasuk kecil di Malaysia.

Kasus ini terungkap ketika petugas Imigrasi Malaysia menangkap 14 korban karena menyalahi aturan keimigrasian di King Briyani Restaurant, Kuala Lumpur pada 27 Juni 2007.

Tanggal 6 Juli 2007, ditangkap lagi empat orang di Robert Harris Cafe.

Penangkapan 14 orang ini didengar kawan-kawannya sehingga mereka ramai-ramai lapor ke KBRI di Kualalumpur, 10 Juli 2007.

Imigrasi Malaysia kemudian menyerahkan 18 orang yang ditangkap itu ke KBRI setelah ditahan di camp Imigrasi Klia Sepang, Malaysia.

"Perwakilan Polri di KBRI, Kombes Pol Setyo Wasisto lalu koordinasi dengan Mabes Polri atas kasus ini sehingga Polri bekerjasama dengan Polisi Diraja Malaysia berusaha mengungkap kasus ini," kata Salempang.

Tim Polri yang dikirim ke Malaysia telah meminta keterangan beberapa saksi terkait dengan kasus ini terutama saksi dari warga negara Malaysia.

Polri telah menyita sejumlah barang bukti diantaranya paspor para korban, tiket dan dokumen lainnya.

Polri akan menjerat para tersangka dengan UU No 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang, UU No 39 tahun 2004 tentang penempatan TKI, UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU No 20 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan pasal 378 KUHP tentang penipuan.(*)

Read More...

PRT Indonesia Dituduh Cederai Kaki bayi Hingga Patah

Antara News Agency
26/07/07 15:49

Kuala Lumpur - Seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia kini meringkuk di penjara kantor polisi George Town, Penang, karena dituduh majikannya telah mencederai anak bayi mereka berusia enam bulan hingga tulangnya patah.

Harian Cosmo dan The Star, Kamis, di Kuala Lumpur, menurunkan berita, Lor Siew Bee (28), warga Penang, Malaysia, membuat laporan kepada polisi bahwa setelah mendapat keterangan dari dokter anak bayinya, Teoh Kyean, mengalami patah tulang sehingga terus menangis.

Ia menemukan bayinya terus menangis setelah pulang dari belanja pada Sabtu, 21 Juli 2007. Menurut keterangannya kepada polisi, ketika ditelepon ke rumah, ia mendengar bayinya sedang menangis tetapi tidak ada pikiran buruk.

Setelah pulang dari belanja, anaknya masih terus menangis kemudian dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Menurut pemeriksaan dokter, anaknya kedapatan mengalami patah tulang kaki kanan.

Setelah mendengar hal itu, Lor Siew Bee, kemudian membuat laporan kepada polisi sebelum mengembalikan pembantunya yang baru bekerja empat bulan kepada agensinya.

Harian Cosmo dan The Star juga memuat foto-foto Teoh Kyean kakinya digips di tempat tidur rumah sakit Burma Road, Penang.(*)

Read More...

Askeskin Lambat, Pelayanan RS Tak Optimal

Kompas
Kamis, 26 Juli 2007

Askeskin

Surabaya, Kompas - Akibat pencairan klaim asuransi kesehatan bagi warga miskin lambat, pelayanan rumah sakit umum daerah di Jawa Timur menjadi tidak optimal. Kelambatan pencairan klaim bahkan sudah menyebabkan pasokan obat-obatan ke RSUD terhenti.

Informasi yang diperoleh, Rabu (25/7), persediaan obat di rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jawa Timur (Jatim) dalam kondisi darurat. Sebab, PT Askes Kantor Regional VII Jatim belum juga mencairkan klaim yang diajukan RS.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya, misalnya, menurut Sekretaris RSJ Menur dr Hendro Riyanto SPKJ, sekarang tidak memiliki obat penenang yasepam. Harga obat itu untuk peserta asuransi kesehatan bagi warga miskin (askeskin) Rp 900 per butir, tetapi RSJ tidak bisa membelinya karena stok kosong. "Barang sejenis versi pabrik tersedia, tetapi harganya Rp 3.000. Kalau menggunakan obat itu, nanti tidak ada penggantian Askes," katanya.

Baru Rp 500 juta

Hendro menambahkan, dampak dari sangat lambatnya rumah sakit membayar obat-obatan yang telah digunakan peserta askeskin kepada distributor adalah distributor tidak mau memasok obat-obatan lagi. "Biasanya mereka mengatakan tidak ada barang. Mereka tidak mau menyatakan menghentikan pasokan secara tegas," katanya.

RSJ Menur sampai pertengahan Juli 2007 baru menerima sekitar Rp 500 juta dari PT Askes. Secara keseluruhan, klaim RSJ Menur kepada PT Askes Rp 1,5 miliar.

Hal serupa dialami Rumah Sakit Umum dr Soetomo Surabaya. Di RSU dr Soetomo, klaim askeskin sampai Juli 2007 mencapai Rp 33 miliar. Namun, pekan ini PT Askes baru mengucurkan Rp 7,1 miliar.

Berkaitan dengan masalah itu, Gubernur Jatim Imam Utomo kemarin mengatakan telah menyetujui pencairan dana Rp 12 miliar untuk membantu lima rumah sakit daerah yang dimiliki Provinsi Jatim. Kelima rumah sakit itu adalah RSU dr Soetomo Surabaya, RSJ Menur Surabaya, RS Syaiful Anwar Malang, RS Haji Sukolilo Surabaya, dan RSU dr Soedono Madiun. (INA)

Read More...

25 July 2007

Jawa Timur Desak Askeskin Ditiadakan

TEMPO Interaktif
Rabu, 25 Juli 2007 | 19:00 WIB

Surabaya: Dewan Perwakilan Daerah Jawa Timur mendesak pemerintah pusat segera mencairkan dana kesehatan untuk orang miskin. Program Asuransi Masyrakat Miskin, menurut Ketua Komisi E, bila perlu dibubarkan saja karena dianggap hanyalah sebagai program mencari popularitas.

Akibat klaim Askeskin senilai Rp 84 miliar kepada PT Askes terlambat, rumah sakit RSU dr Soetomo Surabaya, RSU Haji Surabaya, RSJ Menur Surabaya, RSU dr Syaiful Anwar Malang dan RSU dr Sudono Madiun kelabakan.

Untuk mengatasi masalah ini, Komisi E DPRD dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur sudah mengirimkan surat kepada Menteri Kesehatan, namun tidak mendapatkan tanggapan. “Kalau tidak cair, kami terpaksa akan menalangi dulu,” ujar Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, kepada Tempo, Rabu (25/7).

Dana talangan yang sudah disediakan, imbuh Imam, sebesar Rp 12 miliar diambilkan dari APBD 2007. Namun jumlahnya dianggap terlalu besar, sehingga meminta pemerintah pusat segera mencairkan tanggungannya.

Rohman Taufiq

Read More...

Maid jailed for serving up urine

Reuters
Wed Jul 25, 2007 8:59AM EDT

HONG KONG (Reuters) - An Indonesian maid has been jailed for six days in Hong Kong for serving her boss a cup of water containing urine, a newspaper reported Wednesday.

The 29-year-old pleaded guilty to a charge of "administering poison or other destructive or noxious substance with intent to injure," but insisted she had used the urine to treat a skin condition and its appearance in her employer's cup was a mistake.

Her boss, Szeto Ching-han, smelled the urine after asking for a cup of water, and then asked the maid to drink it -- which she did. Szeto, however, kept the liquid to have it tested in a lab, the South China Morning Post said.

The defense argued that the maid's employer had not drunk the urine and the substance was not poisonous.

"The only contact the former employer had with the so-called poisonous mixture was the smell," her lawyer was quoted as telling the court.

The magistrate who heard the case said there was no evidence that the maid had suffered any harm after drinking from the cup, but still gave the maid a six-day jail sentence, saying the court "must send a message to the public."

Maids from the Philippines, Indonesia and Sri Lanka are often the subject of court cases in richer neighbors such as Hong Kong and Singapore, but usually as the victims of rape or other abuse by their employers.

Read More...

Ceriyati, Mengapa Kamu (Di)pulang(kan)?

Suara Merdeka
25 Juli 2007

Oleh: Maria Bo Niok

Berita tentang Ceriyati, tenaga kerja wanita (TKW) yang meluncur
dari lantai 15, apartement Tamarind, Sentul, Malaysia menarik untuk
diulas, dicari inti permasalahannya dan diselesaikan secara hukum.

Kita semua tentu miris mendengar kelakuan tidak berperikemanusiaan
dari majikan yang menyiksa dia sampai begitu rupa sehingga Ceriyati
warga dusun Poncol, desa Kedung Bokor, Brebes, Jawa Tengah nekad
kabur dari penjara majikan dengan mengambil jalan yang berbahaya
bagi keselamatannya.

Saya yang pernah menjadi PRT (baca: pekerja rumah tangga) di negara javascript:void(0)
Publish Post
Hongkong dan negara Taiwan sangat-sangat merasakan penderitaan
Ceriyati. Sungguh majikan yang berulah seperti itu patut dihukum
sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Malaysia, bisa dikenakan
hukuman cambuk atau hukuman seumur hidup karena penderitaan tidak
dapat diganti dengan biaya ganti rugi sebesar apapun.
Dibalik Kepulangan

Saya bangga melihat aksi nekat Ceriyati. Keberanian itu perlu
dicontoh oleh teman-teman seprofesi yang bekerja di luar negeri.
Betapa dengan keberanian luar biasa dia menyambung pakaian untuk
dijadikan tali luncur selama satu bulan merajut tali itu.

Meskipun awalnya saya menganggap sikapnya itu bodoh tapi dengan
jujur saya akui itu sikap yang cerdik dan dia masih sehat secara
akal untuk tidak turun hingga lantai dasar.

Entah apa yang akan terjadi bila itu dia lakukan. Saya tidak berani
membayangkan andai tali kain itu terputus atau sobek mendadak.
Syukurlah Ceriyati bertindak cermat dalam situasi yang terdesak. Dia
sungguh-sungguh luar biasa.

Secara tidak sadar, langkahnya yang mempertaruhkan nyawa sendiri
itu, justru telah menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa tenaga
kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW) yang
bekerja di sektor informal (PRT) di luar negeri.

Tindakan tersebut adalah tindakan heroik dan dia pantas disebut
sebagai pejuang devisa sekaligus pahlawan devisa bagi para TKI
dimanapun berada. Bahkan yang sudah mantan tenaga kerja pun berani
mengakui kalau tindakannya sangat gagah berani.

Andai Ceriyati terjatuh dan meninggal saat itu, tentu tindakan tidak
berperikemanusiaan dari majikannya akan terkubur bersama jasadnya
bahkan bisa jadi kasusnya bisa langsung dipetieskan seperti kasus-
kasus serupa yang sering menimpa tenaga kerja Indonesia..

Kenapa? Karena pengadilan tidak mempunyai saksi hidup yang bisa
ditanyai tentang tindak kriminal majikan. Bagi para majikan tersebut
(baca: pemakai tenaga kerja Indonesia), satu PRT mati tidak masalah
karena mereka masih dapat mencari PRT lain yang bisa diperbabu dan
diperbudak.

Kembalikan ke negara asal, ganti rugi lalu kasus selesai secara
hukum `rimba'. Si majikan-majikan itu akan berusaha untuk menutupi
segala kelakuan yang menyebabkan sang PRT itu bunuh diri, loncat
dari jendela atau meluncur dari ketinggian seperti yang dilakukan
Ceriyati.

Saya salut dengan kecekatan Migrant Care yang langsung turun tangan
membantu keluarga korban dan berusaha mempertemukan keluarga
Ceriyati dengan Ceriyati di Malaysia. Itu langkah bagus dan tepat!
Meskipun langkah itu berusaha dijegal dengan berbagai dalih dari
pihak-pihak yang merasa terusik. Kita semua berharap banyak dengan
langkah Migrant Care agar persoalan itu diurus hingga tuntas dan
mencabut akar. Yang salah disalahkan dan yang benar dilindungi.

Betapa kita patut berterima kasih pada Ceriyati dengan kenekatannya
itu. Saya yakin masih banyak majikan-majikan yang tidak
berperikemanusiaan seperti majikan Ceriyati saat ini.

Namun dengan keberanian Ceriyati ini, majikan yang lain akan
berpikir ulang untuk mengunci PRT di rumahnya lagi tanpa pengawasan
yang super ketat.

Selain itu, juga akan berpikir ulang untuk menyiksa PRT. Tentu
mereka akan sedikit kuatir kalau-kalau kelakuannya akan diketahui
umum, seperti kasus Ceriyati. Ibaratnya Ceriyati telah mendonorkan
darahnya buat teman-teman seprofesi dan menyelamatkan nyawa mereka
dengan mengiris urat jantung sendiri.

Diskriminasi dan Intimidasi

Saya juga menyesalkan tanggapan orang-orang Malaysia yang pernah
dimuat media terkemuka di Negara Malaysia. Beberapa orang yang
menghina dan menyepelekan kasus ini bukanlah orang sembarangan
karena salah satunya adalah seorang tokoh di Malaysia.

Betapa seorang Presiden Persatuan Agency Pekerja Asing (PAPA), Datuk
Raja Zulkepley Dahalan mengatakan bahwa PRT dari Indonesia
berkualitas rendah dan dikategorikan sebagai kelas E.

Kalau orang-orang tersebut sudah tahu tenaga kerja Indonesia
berkualitas rendah, mengapa mereka masih saja mau menerima TKI
(khususnya PRT) dari Indonesia?

Setidaknya pemerintah Malaysia harus memberi penyadaran terhadap
pejabat-pejabat penting yang mengurus masalah ketenagakerjaan di
Malaysia. Jangan hanya menyalahkan bahkan menghina para pekerja dari
Indonesia seolah Negara Indonesia memasok sampah ke Negara Malaysia.

Penghinaan dari Datuk Raja Zulkepley adalah salah satu bentuk
penghinaan yang menyakitkan hati bangsa Indonesia, khususnya
perempuan-perempuan Indonesia. Selama ini Indonesia mengirim tenaga
kerjanya sudah sesuai ketentuan dan ketetapan hukum yang berlaku
antar kedua negara.

Selain itu perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi tenaga kerja
di luar negeri khususnya yang bekerja di Malaysia sungguh-sungguh
bekerja untuk memperoleh gaji yang layak bukan untuk 'jual diri'.

Semua masyarakat Indonesia juga tahu bahwa perhatian pemerintah
Malaysia terhadap TKI sangat kurang bahkan terkesan
menganaktirikan. Apalagi bila yang kena masalah adalah tenaga kerja
yang masuk secara ilegal. Dengan gagah dan lantang para RELA atas
nama pemerintah Malaysia langsung memburu dan menghakimi TKI dengan
hukum `rimba'.

Penyelesaian Bilateral

Alangkah baiknya bila Indonesia dan Malaysia membuat perjanjian
bilateral yang mengikat kedua negara dan mencantumkan ketentuan jam
kerja, libur, waktu istirahat, gaji, sanksi bagi majikan yang tidak
memenuhi hak pekerja dan hukuman bagi agency yang tidak
bertanggungjawab atas keselamatan pekerja di tempat majikan. Yakni,
dengan memorandum of understanding(MOU).

Kita semua berharap dengan adanya MOU tersebut tidak akan ada lagi
kasus-kasus serupa Ceriyati. Dan pejabat-pejabat Malaysia yang
berhubungan langsung dengan dunia ketenagakerjaan tidak lagi
sembarangan menghina tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Selain itu, kasus-kasus yang pernah menimpa tenaga kerja Indonesia
di Malaysia segera diselesaikan. Sebaiknya pihak pemerintah (dalam
hal ini KBRI di Malaysia) gencar dan proaktif menyelesaikan kasus-
kasus yang menimpa PRT.

Kasus yang menimpa Lilis, PRT asal Bandung, harus segera
diselesaikan. Termasuk kasus yang menimpa Nirmala Bonat, PRT asal
Kupang, Nusa Tenggara Timur (3 tahun lalu).

Jangan membodohi Nirmala Bonat, Sani, dan teman-teman PRT lainnya
dengan dalih tinggal di Malaysia untuk menyelesaikan kasus mereka
secara hukum, tapi justeru mempekerjakan mereka di KBRI Kuala
Lumpur sebagai pembantu, tukang masak atau cuci piring.
Lalu bagaimana dengan Ceriyati? Ceriyati telah dipulangkan ke
Indonesia tetapi kasusnya belum selesai secara hukum. (37)

-- Maria Bo Niok,
Penulis Novel "Ranting Sakura", pemerhati buruh migran,
dan bekas PRT di Hongkong dan Taiwan.

Read More...

24 July 2007

Eksekutif Kurang Perencanaan

SINDO
Selasa, 24/07/2007

PALEMBANG – Sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) APBD Sumsel tahun 2006 mencapai Rp337,9 miliar atau 18% dari total APBD Sumsel 2006 sebesar Rp1,9 triliun.

Besarnya Silpa ini mendapat kritikan dari anggota DPRD Sumsel. Fraksi PKS dalam pandangan akhirnya terhadap Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Gubernur Sumsel tahun 2006 yang dibacakan Muhammad Ikbal Romzi menilai, besarnya Silpa tersebut mencerminkan kinerja yang ada pada biro, badan, kantor dan dinas di lingkungan Pemprov Sumsel.

Sehinggga ke depan diperlukan adanya penyusunan rencana program atau kegiatan yang matang. Sementara itu Ketua Fraksi Partai Golkar Hj Fatimah Syamsul dalam berbagai rapat dengan dinas Pemprov Sumsel menilai, banyaknya dana yang tidak terpakai tersebut menunjukkan tidak adanya perencanaan yang matang dilakukan eksekutif dalam membuat program.

”Sayang sekali dananya sudah dianggarkan tidak terpakai dengan baik. Ini menunjukkan kurangnya kemampuan dinas-dinas dalam membuat perencanaan yang matang. Semestinya buatlah program yang diperkirakan akan mampu dilaksanakan baik dari segi biaya maupun waktu," tegas Fatimah Rais.

Fraksi PKS menilai besarnya Silpa 2006 ini selain dikarenakan berbagai program/kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan, juga kemungkinan lainnya
adalah pencapaian pendapatan yang melebihi target (over target).”

Namun di sisi lain, mencerminkan kinerja Pemprov Sumsel, sehingga di masa mendatang hendaknya dibuat perencanaan yang matang, komprehensif dan realistis.Baik dari segi perencanaan biaya maupun segi perencanaan waktu,” papar Ikbal Romzi.

Sementara itu, dalam rapat paripurna kemarin, anggota Komisi II Arudji Kartanita mengatakan, pada praktiknya banyak sekali temuan-temuan BPK atas audit APBD Sumsel yang kemudian tidak ditindaklanjuti, misalnya temua-temuan BPK yang terjadi pada 1998.

”Karena itu agar hal ini tidak menjadi beban setiap kepala daerah yang akan menjabat nantinya, sebaiknya seluruh temuan- temuan BPK ini ditindaklanjuti dan bukan dipetieskan,” tegas politikus Partai Demokrat ini. (alfrenzi panggarbesi)

Read More...

Sebanyak 10.000 Majikan Malaysia Sudah Ditindak Tegas

ANTARA News
24/07/07 17:10

Kuala Lumpur - Direktur Penegakan Hukum Imigrasi Malaysia Ishak Mohamed mengatakan, sebanyak 10.000 majikan Malaysia sudah ditindak tegas karena mempekerjakan pekerja ilegal.

"Sudah banyak majikan Malaysia yang ditindak tegas. Saat ini saya tidak bawa datanya, tetapi catatan terakhir yang saya ingat sudah ada 10.000 majikan yang ditindak tegas," kata Ishak Mohamed, yang akrab dipanggil Dato Ishak, dalam jumpa pers dengan Wakil Dubes RI AM Fachir, di KBRI, Kuala Lumpur, Selasa.

Ia mengungkapkan hal itu pada jumpa pers yang dilakukan KBRI atas keberhasilan KBRI bekerja sama dengan Imigrasi Malaysia dalam membongkar jaringan sindikat eksploitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia ke Malaysia dengan tameng on job training.

Indonesia dan Malaysia merasa perlu kerja sama dalam membongkar jaringan ini karena belakangan ini program magang ke luar negeri, khususnya Malaysia, telah disalahgunakan oleh suatu sindikat yang rapi.

Ketika jumpa pers, ada 51 pelajar dan mahasiswa Indonesia dari berbagai akademi dan sekolah kejuruan yang menjadi korban sindikat itu hadir. Sebanyak 18 di antaranya sempat mendekam di penjara imigrasi Malaysia, antara 6 hingga 14 hari.

Ishak juga mengemukakan bahwa penjara imigrasi penuh sesak dengan tahanan warga asing ilegal. Tetapi masyarakat tidak banyak tahu berapa banyak majikan Malaysia yang ditindak tegas karena mempekerjakan pekerja asing ilegal.

Apalagi ia menceritakan, sebagian pelajar itu ditahan setelah ada operasi penggrebekan di sebuah restoran Nasi Beriyani di Klang, tetapi tidak ada cerita bagaimana dengan majikannya yang mempekerjakan pekerja asing ilegal.

Tetapi ketua Migrant Care Malaysia Alex, yang hadir dalam jumpa pers itu, tidak yakin ada 10.000 majikan Malaysia yang ditindak tegas. Ia juga mempertanyakan tindakan terhadap agensi yang sering memalsukan izin kerja.(*)

Read More...

Nirmala Bonat Tolak Tuduhan Siksa Diri Sendiri

ANTARA News
24/07/07 16:30

Kuala Lumpur - Nirmala Bonat, pembantu asal NTT, menolak dituduh pengacara Jagjit Singh, sering memukul kepala sendiri dengan tangannya dan kadang-kadang dengan besi untuk menunjukkan penyesalan atas kesalahannya.

"Tidak betul," kata Nirmala dalam sidang lanjutan di pengadilan Kuala Lumpur yang dipimpin oleh hakim Akhtar bin Tahir, Selasa.

Ia menjawab dengan tegas pertanyaan pengacara bekas majikan perempuan Yim Pek Ha, (37) Jagjit Singh, apakah Nirmala sering memukul kepalanya dengan tangan sendiri, dan kadang-kadang dengan besi.

Sebelumnya Nirmala mengaku pernah berbuat kesalahan ketika menyetrika baju hingga baju majikannya terbakar dan memecahkan peralatan dapur ketika bekerja. Ia juga mengaku ketika masih bekerja sering mengeluh sakit kepala.

Pengacara Jagjit menunjukkan sebuah boneka yang di selangkangannya bolong.

"Apakah kamu ingat boneka itu Nirmala?" tanya Jagjit Singh.

"Iya saya ingat. Itu boneka pemberian dari majikan," jawab Nirmala.

"Apakah kamu ingat lubang di tengah itu. Tempat kamu menyimpan cincin dan gelang majikan yang kamu curi," tuduh Jagjit.

"Tidak betul tuan hakim," bantah Nirmala.

Mantan majikan Nirmala merupakan orang kaya dan tokoh berpengaruh di MCA (Malaysia Chinesse Association) yang mampu membayar pengacara mahal sekaliber Jagjit Singh yang mampu memainkan pertanyaan dan intonasi pertanyaan sehingga membuat bingung Nirmala Bonat dan memberikan jawaban yang membingungkan dan kontradiktif di pengadilan.

Nirmala sempat membantah laporan polisi yang dibuat sendiri dan dikatakan tidak benar semua. Tetapi tidak lama kemudian, diakui beberapa laporan polisi yang menjadi barang bukti di pengadilan.

Sebagai orang kampung, Nirmala tampak gugup dan ragu dalam menjawab pertanyaan pengacara majikan, yang tidak begitu menguasai bahasa Melayu, dan sering berkata-kata dalam bahasa Inggris.

Pada sidang sebelumnya, Nirmala Bonat juga membantah minum air kencing sendiri bila berbuat kesalahan kerja sebagai bentuk penyesalan.

Ia juga membantah tuduhan majikannya, melalui pengacaranya, pernah tidur di ruang tamu tanpa mengenakan pakaian atau telanjang pada November 2003.

Kasus Nirmala Bonat mulai berjalan kembali setelah beberapa kali ditunda oleh pengadilan Kuala Lumpur. Persidangan kasus penyiksaan ini sudah berjalan tiga tahun lebih dan masyarakat menilai sudah terlalu lama sejak awal persidangannya pada Juli 2004.(*)

Read More...

President Yudhoyono meets RI community in Seoul

ANTARA News
07/24/07 14:25


Seoul - Visiting President Susilo Bambang Yudhoyono met members of the Indonesian community in South Korea in a gathering at the Indonesian embassy building here on Tuesday as part of his program during a three-day state visit in this North Asian country.

At the gathering, a number of Indonesian migrant workers complained to the President about problems they were facing in South Korea.

Bambang Sutrisno, one of the workers from Ngawi district in Central Java, told Yudhoyono that although not all workers had problems in South Korea, they needed an institution or representative from the government to accommodate and help solve their problems.

"Ever since private manpower recruitment agencies (PJTKIs) were replaced by a government-to-government system , there has been no organization to which workers can turn for help to solve their problems because of the language barrier and their inability to understand South Korean labor laws," Bambang said, adding that such an organization was urgently needed.

Bambang said the Indonesian Embassy in Seoul once planned to establish an institution to protect the country`s migrant workers in South Korea but the plan had yet to be realized to date.

Therefore, he urged the Head of State to help realize such an institution.

Besides Bambang, Saeful Hadi, another Indonesian worker in Taejon suggested that the Indonesian embassy post manpower officers in Busan, Taejon and other South Korean cities where many Indonesians were working.

Commenting on their complaints, President Yudhoyono said the government continued to help solve the problems of Indonesian workers abroad and never did it consider them second-class citizens.

"Never have the impression that the government pays no attention to workers overseas. It is absolutely untrue, the government never considers them as second-class citizens," Yudhoyono said.

The president said the government continued to help and defend the case of its workers abroad and tried to improve the process of dispatching the workers to other countries.

At least 30,000 Indonesians are at present working in South Korea, including some 7,000 in the Pusan industrial area. (*)

Read More...

Government has not done enough to stop child domestic labor

The Jakarta Post/Opinion
24 Juli 2007

Pandji Putranto, Jakarta

Imagine a 15-year-old girl from a village who has never been to a big city. She has never even been separated from her parents, family and community, and now has to work for a new family that she didn't know before. Anything could happen to her, ranging from severe abuse to exploitation.

Last March, Mayangsari, 17, died after being severely beaten by her employer in North Jakarta. Unfortunately, the case received less public attention compared to the media hype about Ceriyati, an Indonesian migrant worker who risked her life as she escaped from her abusive Malaysian employer using a cloth rope.

While Mayangsari's death is an extreme case, there are thousands of untold sad stories about child labor in Indonesia. Those problems have, however, failed to make the headlines or come under the media spotlight

A survey conducted by the International Labor Organization (ILO) and the University of Indonesia four years ago revealed that there were almost 700,000 children under 18 working as child domestic labor (CDL) in Indonesia. This figure, however, does not take into account those working in rural or remote areas.

The main problem of CDL is mainly the fact that the public in general considers CDL to be a solution rather than a problem. The argument is that child domestic employment is much better than the unemployment or underemployment that commonly occurs in rural areas. Many are even against using the terminology of "laborers" or "workers", and insist on calling them "domestic helpers".

During a recent public debate over CDL in Jakarta, a representative of an employers' group argued that domestic employment said the term "helper" was more appropriate for child workers as they were employed in households so that standards for the jobs they did were difficult to set.

Worse, the government institution that primarily responsible in the field of child labor, i.e., the Manpower and Transmigration Ministry, regards this type of employment as a non-priority sector.

The Association of Indonesian Domestic Worker Suppliers (APPSI) says it always faces difficulties in filing cases against individual employers as local manpower offices refuse to recognize the sector. Similarly, the police are reluctant to respond to complaints concerning child labor, saying the complainants should go to the local manpower office.

Employers in general do not feel guilty about employing minors. They instead feel proud that they are helping the children, whose poor parents are unable to send them to school or feed them. The employers often forget that making children work for more than 12 hours a day is not charity at all. Working behind closed doors is highly risky for children as not all employers are kind.

A study on CDL in South Jakarta found that 30 percent of the child workers surveyed said they had experienced "sexual violence" from male employers, ranging from light to severe harassment. No single case has ever been filed due to the absence of witnesses, except the victims, of course.

In mid-1999, the ILO launched a new convention, No. 182 on the elimination of the worst forms of child labor, to complement the existing ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment. Indonesia ratified Convention No. 182 in 2000, making it among the first of the Asia Pacific countries to do so.

The convention requires state parties to take immediate action to eliminate the worst forms of child labor as a matter of urgency. Its ratification was followed by Presidential Decree No. 59 of 2002 on the National Plan of Action for the elimination of the worst forms child labor, which rates CDL as one of 13 priority sectors.

But a convention is just a piece of paper if concrete and tangible programs are not put in place on the ground. Nothing substantial has been done to combat CDL here so far. Indonesia found itself under the international spotlight after three UN rapporteurs questioned in 2006 Jakarta's commitment to fighting CDL abuses.

The government, through the State Ministry for Women's Empowerment, was quick to respond by issuing National Policy Guidelines on the Employment of CDL in Indonesia. These guidelines clearly ban the employment of CDL below the age of 15, while the employment of children between 15-18 should be regulated. Despite this, however, nothing has substantially changed, and there are as yet no significant programs to protect CDL.

What should be done?

It's time for the government to make CDL a priority sector for action. The number of child domestic workers is much higher compared to the number of children working in the other worst forms of employment in Indonesia. Child domestic workers are also easier to help than, for example, street children.

CDL should be incorporated into the nine-year free education program, targeting girls in rural areas in particular. This would support Indonesia's efforts to achieve the Millennium Development Goals (MDG).

Raising public awareness about the evils of child domestic labor is not sufficient. Those who violate the national policy guideline on the employment of CDL should be punished, socially and legally. Why should they employ children while there are so many jobless adults?

When marking National Children's Day, on July 23, we should keep in mind that there are millions of unfortunate children involved in child domestic labor. We should feel ashamed about it, so we should not celebrate Children's Day in a fancy way. The most important thing is that we stand behind the children, not forget about them.

The writer is a consultant who used to work for the International Labor Organization, specializing in child labor, for 14 years. He can be reached at pandji_putranto@yahoo.co.id.

Read More...

23 July 2007

Upaya Diplomatik Bisa Bantu Indah

RADAR LAMPUNG
Monday, 23 July 2007

Laporan Segan P.S./Kohar M.

BANDARLAMPUNG - Pemerintah Indonesia melalui KBRI harus proaktif meminta pengampunan terkait ancaman hukuman gantung yang dihadapi Indah Wijayanti (18), tenaga kerja wanita (TKW) asal Lampung. Upaya bantuan hukum yang bersifat meringankan tersebut merupakan salah satu langkah tepat dalam perspektif hukum internasional.

’’Bila KBRI cinta atau sayang dengan warga negaranya, maka sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Indonesia harus proaktif meminta kepada pemerintah setempat, minimal mengurangi hukuman Indah,” kata pengamat hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) Naek Siregar kemarin.

Diterangkan Naek, pengampunan itu bisa diberikan bila KBRI melalui penasihat hukum yang ditunjuk membela Indah menemukan bukti-bukti yang bersifat meringankan. ’’KBRI harus jeli memilih penasihat hukum untuk Indah, karena ini menyangkut nyawa warganya sendiri,” tegasnya.

Selain itu, masih kata Naek, Pemerintah Indonesia dapat mengupayakan jalan terakhir dengan memanfaatkan hubungan diplomatik kedua negara yang tergabung dalam ASEAN ini.

’’Biasanya, jalan ini dipilih bila ada kepentingan mendesak dan ada pertimbangan khusus. Contohnya, ada anggota Polri/TNI yang melakukan perbuatan kriminal karena demi tugas membela negara. Tapi, pemerintah harus mencoba upaya itu,” bebernya.

Dosen hukum internasional Unila ini mengatakan bahwa peristiwa ini adalah momentum otokritik kepada pemerintah yang tidak aktif melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Ia mengharapkan kepada pemerintah agar duduk bersama dengan kepala negara yang dituju TKI/TKW sebagai tempat bekerja untuk membahas peraturan, yang bersifat melindungi WNI. Undang-undang itu berguna melindungi WNI, baik sebagai pelaku maupun korban.

’’Kisah Indah ini merupakan kritik untuk pemerintahan kita betapa para pejabat di pemerintahan ini tidak pernah memikirkan untuk memayungi warganya yang bekerja di luar negeri dengan undang-undang. Jadi, sejauh ini warga Indonesia yang berada/bekerja di luar negeri belum dipayungi undang-undang,” sesalnya.

Sementara itu, dari Lampung Utara (Lampura), kasus Indah yang diancam gantung di Malaysia mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Mereka meminta pemkab setempat bisa melakukan upaya hukum membantu Indah dalam menjalani persidangan hingga bebas dari jeratan hukum.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Lampura Arnol Alam mendesak bupati Lampura untuk membantu Indah yang tersandung masalah di Malaysia. Menurutnya, upaya hukum yang harus dilakukan pemkab adalah membentuk tim advokasi. ’’Tim yang dibentuk harus orang-orang profesional, sehingga bisa menjalankan tugas dengan baik,” ujarnya.

Ditambahkan Arnol, dia berkeyakinan Indah tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan. Karena Indah merupakan anak desa yang semata-mata mencari uang untuk keluarga. ”Saya yakin, Indah hanya dijadikan kambing hitam untuk mengaburkan pelaku yang sebenarnya,” paparnya.

Selain itu, kata Arnol, untuk memastikan adanya dukungan dari pemkab, maka Komisi A dan Komisi D DPRD Lampura akan memanggil Dinas Sosial Tenaga Kerja dan kepala bagian hukum. Pemanggilan jadwalkan hari ini.

Dikatakan Arnol, setelah hearing dengan pemkab, Fraksi Partai Golkar akan mengunjungi kediaman Indah yang berada di Desa Sidomukti, Kecamatan Abung Timur. ’’Sebagai salah satu bentuk keprihatinan terhadap Indah, Fraksi Golkar akan bersilaturahmi ke rumah orang tuanya, sekaligus memberikan bantuan ala kadarnya,” katanya. (*)

Read More...

President told to examine labor exports

The Jakarta Post
National News - Monday, July 23, 2007

Ridwan Max Sijabat, Jakarta

Labor exporters and activists have called on President Susilo Bambang Yudhoyono to evaluate the implementation of a 2006 presidential instruction on rapid, cheap and safe labor exports following a rift between Manpower and Transmigration Minister Erman Suparno and chairman of the government-sponsored National Labor Placement and Protection Agency Jumhur Hidayat.

Migrant Care, a nongovernmental organization that provides advocacy for migrant workers overseas, said the mounting friction between the two officials had left migrant workers unprotected.

"We consider the rift to be one of authority and mainly due to conflicting interests. As evidence, both sides have never been involved in any fight for workers' interests," Migrant Care's policy coordinator Wahyu Susilo told The Jakarta Post on Sunday.

The rift started when the labor agency froze licenses recently awarded by Erman to an insurance consortium led by state-owned PT Jasindo and set up a private committee to implement the G-to-G agreement on the export of workers to South Korea.

Husein Alaydrus, chairman of the Indonesian Association of Labor Supplying Companies, called on the government to replace the insurance consortium with a trust fund whose duties would then carried out by an independent agency to ensure migrant workers' safety and welfare both at home and abroad.

The rift has also caused wide confusion and disagreement among labor exporters, who have called on the President to liquidate either the labor agency or the ministry for allegedly being corrupt and imposing red tape on migrant workers.

Migrant Care executive director Anis Hidayah expressed deep concern over the rift, saying both institutions had paid little attention to the thousands of troubled migrant workers, many facing death row, in Malaysia and Saudi Arabia.

"Conflicting interests have a lot to do with their efforts to raise funds for the 2009 general elections," she said.

The director of the Binawan Healthcare Institute, which supplies nurses and health workers overseas, Saleh Alwaini, called on the President to mediate the rift and give special attention to labor exports, as it was the only subsector able to help cope with unemployment problems and eradicate poverty.

"The government has to set up more labor training centers to improve the quality of job seekers and reform the corrupt bureaucracy to accelerate labor exports," he said.

Read More...

Book Review: Reminder of the perils that await migrant workers

The Jakarta Post
23 July 2007

Tony Smith, Contributor, Bathurst, Australia

Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia
Dewi Anggraeni
Equinox, Jakarta (2006)
pp. 250

In the 19th Century, Dutch colonists sent landlejavascript:void(0)ss East Indies peasants to Suriname and New Caledonia to labor in plantations.

In the late 1970s labor exported from Indonesia was predominantly female as women sought employment as domestic workers in countries across Asia including Saudi Arabia, Taiwan and the three countries studied by Dewi Anggraeni: Hong Kong, Singapore and Malaysia.

Dewi's research was supported by the International Labor Organization of the United Nations, and while empathy with the workers informs the research report, Dewi understood the importance of consulting all of the stakeholders around this pressing issue.

She calls her book "a labor of love"; few readers will disagree with this claim.

In examining the Indonesian women who have sought positions overseas, Dewi found a major motivating factor in the unavailability of work locally. It is not surprising, then, to find a poor attitude toward them among many overseas employers, who assume that the women lack skills, are poorly educated and are so desperate that they will work for little return.

Nor is it surprising that such perceptions lead to disappointment on both sides. However, in most cases the dangers to the women are far greater than the inconvenience to employers.

Many overseas domestic workers have suffered abuse of some kind. Unfortunately, the media cover only the extreme cases where, for example, workers have been duped into prostitution or severely assaulted.

Non-government organizations have taken up the cause and attempted to ensure that the workers are treated respectfully, and the situation has generally improved.

Too often, however, the Indonesian Embassy or a refuge such as Bethune House, has had to pick up the pieces after a woman's dream has been shattered.

Dewi discovered a "jigsaw" of information, personal stories "ringing with humanity" and vested interests trying to protect the status quo.

In a balanced approach, Dewi interviewed workers, employers, sponsors, employment agencies and representatives of governments and organizations such as the Women's Aid Organization.

Some of the interviews revealed heart-rending stories. "Sari", for example, was physically assaulted, verbally abused, strictly controlled and had her rightful salary withheld. Her employer cut her hair, claiming that she was unhygienic.

Others suffered sexual abuse. In many cases when the women complained to the recruitment agency confidentially, the employers were told and the abuses worsened.

Cycle of low esteem

Dewi notes that the women fared differently in each of their destination countries. Language was a greater difficulty and disadvantage in Hong Kong.

In Malaysia, they had some cultural affinity with other Muslims and Malays, but they also suffered from an attitude that Indonesia was an impoverished land.

Wisely, she avoids the construction of a league table of mistreatment and gives credit where it is due for attempts to improve the women's situations.

Standardization of contracts for example, has gone some way to formalizing and codifying the women's rights.

Dewi constructs some useful typologies of workers, employers and the agencies involved in the administration of overseas workers. She finds that the women vary in their motivations, skills and attitudes while employers differ in expectations, understanding and fairness.

The private sector recruitment and training agencies also vary widely, because they are poorly regulated, resourced and supported by government.

The Indonesian government has been "unjustifiably slow" in reacting to the problem, and unfortunately, it seems to be common knowledge that "irresponsible and unscrupulous elements" within government profit from the status quo.

An aid worker described "an inherent attitude" that women who seek work of this kind are "stupid, unskilled ... untrainable".

Yet, "when they are treated like normal adults they will behave accordingly". In all workplaces, managers and employers make decisions that facilitate the effectiveness of their workers. The problem is the difficulty of breaking into the cycle of low esteem.

Overseas readers will be interested to know whether this is a uniquely Indonesian problem. Dewi notes that despite social evolution since Independence and particularly growth of education, "collective, feudalistic mores" remain.

In the household, the order of importance runs from husband, to wife, then children and lastly domestic servants. Among the staff there is also a hierarchy from nanny to driver, gardener and cook through to maid and cleaner.

Maids are expected to be invisible and it is their role that forms the stereotype for overseas workers. There is sexism involved also.

As Solidaritas Perempuan (Women's Solidarity) argues, laws designed to protect other Indonesians employed overseas have not applied to domestic workers.

Dewi concludes with an examination of "the stakeholders as protagonists in hypothetical scenes of conflict". She uses a medical analogy, suggesting that the piecemeal approach to the problem has thus far treated isolated symptoms.

She recommends "an overhaul, remedial surgery". Dreamseekers provides a rational basis on which Indonesian decision-makers might base their decisions about the future welfare of these vulnerable women.

While Dewi avoids speculation and is thoroughly objective, Dreamseekers is a case study in a more general issue. It reminds us all of the problems that await workers of all kinds in the globalized economy.

While the rhetoric of globalization is of equality, equity and opportunity, the reality threatens to render us all outworkers in our own lands.

Dreamseekers is therefore a very timely document.

The reviewer is a political scientist who has taught at several Australian universities, most recently the University of Sydney.

Read More...