Sinar Harapan, Selasa, 16 Desember 2003
JAKARTA - Nasib buruh migran ada di tangan mereka sendiri. Penderitaan yang dihadapi seharusnya sudah cukup membuat mereka sadar sudah saatnya untuk tidak bergantung pada orang lain, baik itu LSM maupun pada negara.
Inilah kesimpulan umum yang dapat ditarik dari Konferensi Internasional tentang Buruh Migran Indonesia, yang diselenggarakan oleh Asian Migrant Center (AMC) dan Indonesian Committee for Reintegration (ICORE) pada hari pertama di Hotel Indonesia, Senin (15/12).
Direktur AMC Rex Perona yang berbasis di Hong Kong menggambarkan bahwa selama 15 tahun terakhir di Asia ada sekitar 250 LSM yang bergerak membela nasib buruh migran. Mereka berasal dari Thailand, Indonesia, Filipina, Malaysia, Korea, Jepang, India, dan Taiwan, namun tidak lebih dari 10 organisasi buruh migran yang terbentuk dan kuat membela nasib anggotanya.
Tampaknya, berbagai lini perjuangan buruh migran Indonesia memang masih lemah. Salah satunya adalah soal nasib mereka sepulang ke Indonesia.
Beberapa LSM dan organisasi buruh migran Indonesia di luar negeri seperti Indonesia Migrant Wokers Union (IMWU) baik di luar negeri maupun di dalam negeri mulai merintis koalisi luas bernama Indonesian Committee for Reintegration (ICORE).
Koalisi ini bertugas untuk menyiapkan ”front belakang” perjuangan ekonomi bagi buruh migran. Tujuannya adalah agar setiap buruh migran yang pulang kampung sudah memiliki investasi dari uang yang didapatnya selama bekerja di luar negeri.
Buruh migran di Hong Kong dan Taiwan, lewat organisasinya, yaitu IMWU, berhasil menabung. Setiap buruh migran bergabung dalam kelompok menabung atau membangun kelompok baru.
Di Hong Kong, ada 48 orang yang sudah menabung semenjak tahun 1997. Masing-masing menabung 500 dolar Hong Kong per bulan. Di Taiwan, ada 12 orang dengan masing-masing menabung 500 dolar Taiwan semenjak bulan Mei lalu.
Atas nama grup dibukakan rekening bank. Apabila ada kesulitan membuka rekening bank seperti di Taiwan, aka LSM yang mendampingi membantu membukanya.
Masing-masing orang mendapatkan buku tabungan dari kelompok. ”Kita juga mengubah pola dari kebiasaan menabung sisa uang setelah dipotong kebutuhan, menjadi menabung dahulu sebelum dipotong kebutuhan. Ini mengubah orientasi mereka yang foya-foya menjadi irit dan memiliki program masa depan, ” jelas Nurul Qoiriah dari AMC.
Investasi
Kelompok buruh migran itu sendiri yang memutuskan jenis usaha yang akan dijalankan di Indonesia, dari penggilingan padi, atau ternak sapi dan lele. Kelompok Hong Kong memutuskan menginvestasikan uang mereka dalam bentuk ternak sapi dan usaha pupuk organik.
Hasil tabungan dari tahun 1997 dengan total 200 juta sudah ditanam dari bulan Mei 2003 dan akan panen Januari 2004. Ternak sapi yang dijalankan di Purwokerto itu dikerjakan oleh bekas buruh migran dan keluarga buruh migran dibantu beberapa tenaga ahli.
Sapi akan dijual untuk lebaran haji, dan pupuk organik selama ini dijual ke petani. Departemen Pertanian setempat juga sudah memesan untuk membeli pupuk organik yang dihasilkan. Kelompok di Taiwan akan memulai investasi tahun depan.
Berbeda dengan AMC dan IMWU, Dompet Dua’fa juga sudah mulai mengaktifkan bantuan pada buruh migran dengan mengucurkan program dana bantuan proyek ekonomi ke Sahabat Pekerja Migran (SPM). ”Ini merupakan solidaritas dan kepedulian umat pada buruh migran,” jelas Kepala Riset dan Pengembangan Dompet Dua’fa, Ir. Nana Mintarti.
Pada saat ini, buruh migran sangat membutuhkan uluran tangan dan harus ditangani secara profesional. ”Semoga langkah yang dirintis oleh kelompok-kelompok solidaritas buruh migran ini segera mendapatkan dukungan,” tegas Direktur Sahabat Pekerja Migran (SPM), Ahmad Juani.
Organisasi Kuat
Wahyu Susilo, pemimpin Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), menanggapi bahwa program ini punya tujuan bagus, tapi harus didukung oleh kekuatan nyata buruh migran dalam organisasi-organisasinya. Kalau parsial akan sulit berkembang.
Untuk itu, segera harus ada jejaring antarorganisasi dan LSM baik di luar maupun di dalam negeri.
Jika tidak, program ini akan terjebak dalam pola communitty development yang pernah dilakukan LSM tahun 1970 dan 80-an yang hancur karena project oriented.
Namun, ia optimis, kalau program ini berhasil, ini akan melepas ketergantungan pada PJTKI dan pemerintah. Program ini harus bisa memperkuat daya tahan dan memiliki daya tawar ekonomi dan politik.
Dengan mengambil contoh seperti di Filipina, gerakan sosial yang berwatak ekonomi politik mengintegrasikan gerakan ekonomi mereka sehingga justru sinergis dan menjadi kekuatan di hadapan penguasa.
”Persoalan buruh migran adalah persoalan politik ekonomi. Satu orang buruh migran Filipina jika menghadapi ketidakadilan, tidak akan dibiarkan oleh negaranya. Pemerintah dan LSM bisa bekerja sama,” jelas Wahyu Susilo.
Sudah waktunya kaum buruh migran mengarahkan potensi ekonomi dirinya untuk investasi mereka sendiri di masa depan bukan hanya habis diperas oleh negara dan PJTKI. ”Pemerintah harus diajak kerja sama. Memang butuh waktu untuk membuka mata pemerintah. Kita tidak punya pilihan, kalau tidak, percuma ada negara,” tegas Nurul Qoiriah.
Anggota Streering Committee ICORE, Bian Mollina, Jr. menjelaskan bahwa di Filipina proses migrasi sudah berlangsung 25 tahun, dan program reintegrasi baru dilakukan lima tahun terakhir. Indonesia harus segera memulainya sebelum separah Filipina.
”Untuk itu, kelompok LSM di Indonesia harus segera bekerja untuk membangun sebanyak mungkin organisasi massa buruh migran, agar buruh migran memiliki kekuatan atas nasibnya,” katanya.
(SH/web warouw)
16 December 2003
Nasib Buruh Migran di Tangan Mereka Sendiri
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, December 16, 2003
Label: Buruh migran, Kebijakan, LSM
Subscribe to:
Posts (Atom)