Type your summary here
Rabu, 21 April 2004, 03:00 WIB SARAPAN PAGI
Sarapan Pagi Bersama : Tina Suprihatin
Hari Kartini Masih Bisa Jadi Momentum Perubahan
Jakarta, KCM
Kirim Teman | Print Artikel
Meredupnya semangat Hari Kartini hanya sampai pada ritual perayaan keceriaan ternyata masih bisa dijadikan momentum perubahan yang berpihak kepada perempuan kata Koordinator Pelaksana Harian Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi) Tina Suprihatin.
"Sebetulnya, spirit perjuangan Kartini sama dari dulu. Kondisinya saja yang berbeda," kata Tina saat dihubungi KCM, Selasa (20/4).
Setidaknya hingga tahun ini, peringatan Hari Kartini 21 April dipenuhi dengan perayaan-perayaan keriaan. Di sekolah-sekolah, murid dan guru perempuan mengenakan pakaian tradisional. Di berbagai instansi, khususnya pemerintah, hal yang sama pun kerap dilakukan. Penuh gemerlap keceriaan.
Sementara itu, seperti dikatakan Tina, lima orang buruh migran perempuan terancam hukuman mati di Singapura. Kini, Sundari, Siti Aminah, Juminem dan dua rekan mereka tengah dalam proses investigasi dan peradilan.
Kenyataan inilah, yang menurut Tina mesti sungguh-sungguh disikapi untuk diubah. Langkah pertama, dijelaskan Tina, adalah bersikap optimistis terhadap spirit perjuangan Kartini. Walau, segala silau perayaan keceriaan tiap 21 April masih tetap mendominasi. "Kalau sudah begitu, perjuangan untuk perubahan yang berpihak kepada perempuan tetap bisa diperjuangkan," demikian Tina Suprihatin. (prim)
21 April 2004
Lima orang buruh migran perempuan terancam hukuman mati di Singapura
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, April 21, 2004
Label: ancaman mati, Buruh migran, LSM, Singapore
16 April 2004
[Nugroho-Semarang] — Jenasah TKI dari Taiwan Sampai di Semarang
TEMPO Interaktif
Sabtu, 16 April 2005 | 20:45 WIB
Jakarta: Jenazah Nugroho alias Ruswadi, 33 tahun, seorang TKI asal Dusun Kupang Kidul, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (17/4) petang tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang.
TKI yang bekerja selama dua tahun di Taiwan ini diketahui meninggal 17 Januari lalu dikabarkan bunuh diri, tetapi hingga kini pihak keluarganya tidak mengetahui secara pasti alasan Nugroho bunuh diri. "Sejak berangkat menjadi TKI dua tahun lalu, suami
saya belum pernah memberikan kabar,"kata Yuni Dwi Astuti, isteri TKI tersebut.
Yuni baru menerima kabar kematian suaminya, pada tanggal 19 Januari dari agen tenaga kerja di Taiwan. Pihak agen juga tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab kematian, bahkan meminta ijin agar dapat dimakamkan di negara tersebut.
Karena keberatan, Yuni kemudian meminta bantuan Migran Care, sebuah LSM yang menangani kasus-kasus TKI. "PT Khalid Berkat, PJTKI yang membawanya ke Taiwan ternyata sudah bangkrut dan tidak bertanggung jawab. Kami meminta pemerintah memulangkannya,"ujar Ali Muchsin dari Migrant Care.
PT Khalid Berkat yang beralamat di Jalan Kramat Pulo 15, Jakarta itu sudah tidak ada lagi. Pemiliknya dikabarkan sudah pindah ke Australia dan menjual perusahaan. Perusahaan baru itu, menurut Ali Muchsin tak mau bertanggung jawab. "Anehnya, paspor yang dimiliki Nugroho berubah nama menjadi Ruswandi. Pemerintah seharusnya segera menindak PJTKI semacam ini,"katanya.
Jenazah Nugroho tiba di Bandara Ahmad Yani dengan pesawat Garuda GA 152 setelah sebelumnya dari Taiwan dibawa ke Jakarta. Menurut Yuni Dwi Astuti, sejak suaminya bekerja di perusahaan patung yang bernama Yenping Taypai dengan majikan yang bernama Lu Manchu, suaminya sama sekali belum pernah mengirimkan gajinya.
Dia sendiri curiga, suaminya tewas bukan karena bunuh diri dengan terjun dari gedung lantai dua seperti yang dikatakan pihak agen. "Surat pengantar dari rumah sakit belum bisa kami baca, karena memakai Bahasa Mandarin, tetapi sekilas dari seorang teman disebutkan kalau Nugroho meninggal karena kekurangan oksigen,"kata Ali Muchsin.
Perjuangan Yuni memulangkan jenazah suaminya itu bukanlah perjuangan yang mudah. Dua hari setelah mendapatkan kabar kematiannya, dia mengontak LSM Migran Care untuk membantu mencarikan jalan pemulangan suaminya.
Menurut Ali Muchsin, selama hampir dua bulan dia berusaha melobi pihak Depnaker agar memulangkan warga Indonesia yang meninggal di negeri orang. "Sampai ada oknum Depnaker yang berusaha memeras keluarga dengan meminta uang sebesar Rp 7,5 juta,"
kata Ali Muchsin.
Imron Rosyid dan Sohirin
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Friday, April 16, 2004
Label: Bunuh diri, Buruh migran, Pasca BMI Meninggal, Semarang, Taiwan