The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 09/09/2004
Sari P. Setiogi and Fabiola Desy Unidjaja, The Jakarta Post, Jakarta
Indonesian representative offices in several foreign countries are sheltering 1,138 migrant workers with a variety of problems, many of which have not been addressed.
Foreign minister Hassan Wirajuda said on Wednesday 11 representative offices were now housing migrant workers in Malaysia, Singapore, Kuwait, Saudi Arabia, the United Arab Emirates and Jordan, adding that there were a great burden on the embassies' budget.
""In Kuwait alone, we spent no less than US$125,000 in extra budget last year to accommodate the problematic migrant workers,"" Hassan said in his keynote speech during a national dialog on protection of migrant workers' human rights here.
There were 998,228 registered Indonesian migrant workers spread around several countries as of December 2003.
Hassan said his ministry shared the blame for the lack of protection for Indonesian migrant workers, as many diplomats had not provided adequate treatment for the migrant workers.
""A change in the corporate culture is needed to create a friendly representative for Indonesian citizens abroad,"" he said.
The minister also said the ministry did not have the budget to provide local attorneys and sufficient accommodation for the troubled migrant workers.
Hassan emphasized that there needed to be revisions of domestic policies because the power to regulate and recruit migrant workers was totally controlled by just one institution.
He was likely referring to the manpower ministry, which not only draws up regulations regarding the export of workers, but is allowed to recruit them and prepare them for their placement overseas.
""In the Philippines, exporting and sending migrant workers home are conducted under one roof but, outside the labor ministry,"" said Hassan.
In a bid to protect more migrant workers, the government will sign the United Nations Convention on the Protection of Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families during the annual UN general assembly in New York at the end of this month.
""It will be part of our efforts to strengthen our legal infrastructure,"" said Hassan, who will represent Indonesia at the UN meeting.
Meanwhile, President Megawati Soekarnoputri is slated to meet Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi to discuss the Indonesian illegal migrants issue, on the sidelines of their visit to Bandar Seri Begawan to attend the Brunei Crown Prince Muhtadee Billah Bolkiah wedding reception.
""On our side we would like to express appreciation for Malaysia's understanding and their agreement to delay the mass deportation until next year,"" said Hassan.
The two leaders will also discuss common measures in the mass deportation process, including a sort of sensitivity course for the Malaysian volunteers who are involved in the deportation process.
""The volunteers are expected to visit Indonesia before the deportation, so they can see how we would handle such a problem,"" Hassan said.
The discussion would substitute the annual consultation meeting between the leaders of the two countries. Indonesia should have hosted the meeting this year, but it was canceled due to elections.
09 September 2004
Embassies sheltering 1,100 workers
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, September 09, 2004
Label: Deplu, illegal, KBRI, Kuala Lumpur, masalah BMI, Singapore
08 September 2004
HM Idris Laena, CEO Laenaco Group: Berobsesi Kirim TKI Formal Sebanyak-banyaknya
Suara Pembaruan
9 Agustus 2004
ilustrasi: gandjar dewa
JAKARTA – Penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) informal ke luar negeri, dari tahun ke tahun, jumlahnya terus meningkat.Tahun 2003 saja, misalnya, periode Januari–September, total TKI informal yang berhasil ditempatkan mencapai 129.041 orang, dan 117.273 orang TKI di antaranya perempuan. Sebagian besar dari TKI informal ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh perkebunan.
Menurut catatan Depnakertrans, dari 129.041 yang dikirim bekerja di luar negeri, terbanyak ditempatkan di Saudi Arabia mencapai 94.009 TKI wanita dan 9.931 TKI laki-laki. Negara terbesar kedua sebagai penerima TKI yakni Malaysia, selama periode Januari–September 2003, mencapai 6.662 TKI wanita dan 1.615 TKI pria. Ini TKI yang dikirim secara resmi. Di luar ini, ada ribuan TKI yang bekerja di luar negeri secara ilegal.
Adanya TKI ilegal yang dari tahun ke tahun terus menjadi berita besar di berbagai media cetak maupun elektronik inilah yang membuat Idris Laena prihatin. Pasalnya, yang menjadi tudingan kesalahan adanya TKI ilegal, yakni Perusahaan Jasa TKI (PJTKI). Guna membenahi penempatan TKI di luar negeri yang makin ruwet diperlukan kebijakan politik (political will) dari pemerintah. “Jika pembenahan penempatan TKI ke luar negeri, hanya dilakukan secara parsial, seperti selama ini, maka kasus – kasus TKI akan tetap muncul,” ungkap CEO Laena Group HM Idris Laena dalam perbincangan dengan SH, baru-baru ini.
Secara umum, lulusan fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti 1994 ini menilai, kebijakan pembenahan penempatan TKI ke luar negeri belum seperti diharapkan. Penempatan TKI ke luar negeri ke depan, tambahnya, harus TKI yang memiliki skill di sektor formal.
Untuk merealisasikan keinginannya, Laena mendirikan Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia (LPTKI), sebuah lembaga untuk mendirikan calon TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri. “Di lembaga ini, kami bukan saja mendidik calon TKI yang akan diberangkatkan Laenaco Group, tapi juga PJTKI lain. Tiap bulan, kami mendidikan sekitar 1000 calon TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri,” paparnya.
Perlu Dana Besar
Khususnya untuk mendidik TKI formal yang akan dikirim ke luar negeri, menurut Idris Laena, diperlukan dana tidak kecil. Untuk itu, tambahnya, pemerintah harus memberikan kepastian usaha di sektor ini lewat kebijakannya. Langkah ini perlu, agar perbankan mau membantu PJTKI yang memiliki komitmen di bidang ini. Satu contoh, pada awal tahun 2003 lalu, ada kebijakan pemerintah yang memukul usaha jasa TKI, dengan ditutupnya penempatan TKI ke Timur Tengah dan ke Asia Pasifik. Ketika itu dunia perbankan sempat tidak percaya dengan PJTKI, karena usaha ini dinilai labil dan tidak pasti.
Khususnya penempatan TKI ke Malaysia, Wakil Ketua Umum DPP Apjati ini mendukung penuh upaya pemerintah yang telah menandatangani MoU. Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, tambahnya, akan mengikat kedua Negara, sehingga masing-masing negara tidak bisa melakukan tindakan sepihak, seperti memulangkan TKI dengan alasan ilegal.
“Ditandatanganinya Mou antara Malaysia dan Indonesia merupakan solusi terbaik untuk menata kembali penempatan TKI ke Malaysia,” tandasnya.
Menurut Idris, ada satu poin dari MoU Malaysia dan Indonesia beberapa waktu lalu, yakni soal pentingnya pelatihan bagi TKI. Untuk merealisasikannya, pemerintah Malaysia telah menunjuk Majlis Latihan Vokational Kebangsaan (MLVK) Malaysia, yang diberi wewenang menetapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan Malaysia melakukan training dan sertifikasi terhadap calon TKI.
Salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan yang ditunjuk pemerintah Malaysia untuk melakukan pelatihan dan sertifikasi yakni Infomaya Group Malaysia. Agar TKI yang akan ditempatkan di Malaysia sesuai standar yang dipersyaratkan, Apjati sebagai salah satu induk PJTKI di Indonesia, melakukan kerja sama dengan lembaga tersebut, untuk secara bersama-sama melakukan pelatihan dengan melibatkan BLK yang menjadi anggota Apjati.
Penandatanganan MoU telah dilakukan di Kuala Lumpur, 9 Juli 2004 lalu antara Zed Arifin mewakili Badan Otonom (BO) Serumpun Apjati dengan Dr Fauzi mewakili Infomaya Group. “Dengan adanya program ini, kami berharap kualitas calon TKI yang akan ditempatkan di Malaysia bisa meningkat dan sesuai dengan standar yang mereka tetapkan dan bisa memperkecil dampak penempatan TKI ke Negara tersebut,” katanya.
Tidak Sulit
Idris Laena menambahkan, sebenarnya kalau pemerintah berniat membenahi penempatan TKI ke Malaysia tidaklah sulit. Salah satu solusinya, pemerintah harus merubah kebijakan, terutama berkaitan dengan paspor bagi TKI. Ia mengusulkan, untuk menekan angka TKI ilegal di Malaysia dan Negara lain, pemerintah harusnya meniru system pengiriman Haji. Untuk pengiriman Haji, pemerintah membuat kebijakan, yakni dengan memberikan paspor khusus.
“Pengiriman Haji yang per tahunnya hanya berjumlah 250.000 bisa dikeluarkan kebijakan dengan memberikan paspor khusus. Sedangkan penempatan TKI yang jumlahnya jauh lebih banyak, yakni per tahunnya mencapai lebih 700.000 paspornya disamakan dengan paspor biasa. Kenapa pemerintah tidak memberikan paspor khusus bagi TKI, biar mudah diawasai,” paparnya.
Dalam penempatan TKI ke luar negeri, Idris Laena memang sudah banyak pengalaman. PT Megah Buana Citra Masindo, salah satu anak perusahaan Laenaco Group, yang bergerak di bidang penempatan TKI ke luar negeri, kini termasuk salah satu PJTKI terbesar dan professional. Sebab, Megah Buana tidak mau menempatkan TKI sebelum calon TKI tersebut memiliki keterampilan memadai. Setelah calon TKI direkrut dari berbagai daerah, calon TKI dididik lebih dulu di Yayasan Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia (YPTKI) miliknya yang memiliki gedung megah dan fasilitas lengkap.
Jika calon TKI dididik di YPTKI, menurut Idris, dipastikan siap pakai. Dengan langkah yang ditempuhnya ini, katanya, TKI yang dikirimnya kecil yang mengalami masalah ketika bekerja di luar negeri.
Sukses mengelola bisnis penempatan TKI, Laena Group terus mengembangkan bisnis di sector lain. Salah satu bisnisnya yang juga maju pesat yakni di bidang jasa ticketing, tour, umroh dan haji. Bahkan, kini Laenaco juga mulai ikut terjun dalam bisnis properti, dengan mendirikan PT Laenaco Properti. “Untuk bisnis properti kami mulai dari kecil, yakni membangun Ruko. Tapi, karena Ruko yang dibangunnya lokasinya selalu di tempat strategis, maka semua Ruko yang dibangun selalu cepat laku,” kata Ketua Pokja Ketenagakerjaan DPP Partai Golkar ini.
Kini, Laenaco Group yang dibangunnya sudah cukup besar, dengan cabang di hampir seluruh daerah dan sejumlah Negara. Pengusaha yang juga aktif sebagai Bendahara KTI Pusat ini mengaku, dalam mengembangkan usahanya banyak mengalami berbagai kendala. Tapi, berkat kegigihannya, semua kendala bisa dilewati, dan Laenaco mampu eksis dan mengembangkan sayapnya ke seluruh pelosok Indonesia dan sejumlah Negara.
Dalam menjalankan bisnisnya di bawah bendera Laenaco Group, ia seorang diri. Meski begitu, selain sibuk menjalankan bisnisnya, ia juga memimpin berbagai organisasi asosiasi, politick dan olah raga. Sebagaimana pernah dituliskan dalam Tokoh Indonesia, Idris Laena mengaku menganut falsafah kuda. Menurut Idris, hewan kuda termasuk binatang yang suka bekerja keras, kuat dan tangguh. “Tenaga kuda itu symbol kekuatan. Di tengah terik matahari sekalipun kuda tetap kuat menarik sado,” paparnya.
Meski sibuk dalam bisnis dan organisasi, tapi Idris yang kini mempekerjakan karyawan lebih dari 250 orang ini, tetap berpenampilan sederhana dan memperhatikan keluarganya. Kuncinya, menurut Idris, sebagai pucuk pimpinan, ia hanya melakukan lobi, sedangkan untuk menjalankan usahanya dipercayakan kepada professional.
Menggeluti bisnis jasa penempatan TKI ke luar negeri, menurut bapak tiga anak ini, banyak suka dan dukanya. Peluang bisnis ini cukup besar, sehingga banyak orang tertarik ingin terjun ke bisnis ini. Dari lebih 400 PJTKI yang ada saat ini, menurut penilaian Idris, ada yang memang professional dan memiliki komitmen, tapi ada juga yang nakal dan tidak professional. Oleh karenanya, sebagai orang yang sudah lama menekuni bisnis jasa penempatan TKI secara professional, ia tidak terima kalau dikatakan sebagian PJTKI itu nakal. “Ada PJTKI nakal, tapi fakta ada juga PJTKI yang professional. Tapi, media massa lebih banyak memberitakan PJTKI nakal dibandingkan yang professional,” kata Idris lagi.
Ketua Himpunan Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja Indonesia ini menambahkan, bisnis jasa penempatan TKI ke luar negeri itu bukan hanya memberikan keuntungan bagi PJTKI bersangkutan, tapi juga memberikan manfaat ganda bagi perekonomian di Indonesia. Selain mampu menekan angka pengangguran di Indonesia,, bisnis sector ini juga bisa menggerakkan perekonomian rakyat terutama di daerah asal TKI. Bukan hanya itu, bisnis ini juga mampu menggerakkan sector transportasi, baik darat maupun udara.
Bagi Negara, tambahnya, sektor jasa penempatan tenaga kerja mampu mendatangkan devisa tidak kecil. Tahun 2001, misalnya, sector jasa TKI mampu menyumbang devisa sebesar Rp 3 triliun dan tahun 2002, sumbangan sector ini meningkat lagi menjadi Rp 9 triliun. “Jadi, kalau bisnis jasa penempatan TKI ini dikelola dengan professional dengan didukung kebijakan yang jelas, sumbangan devisa dari sector ini bisa ditingkatkan lagi,” kata Idris lagi.
Tentang bisnis jasa Umroh dan Haji yang beberapa waktu lalu juga mendapat sorotan negative dari media massa, baik cetak maupun elektronik, menurut Idris Laena, sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi, asalkan pemerintah transparan berkaitan dengan kuota. Ia mencontohkan, Indonesia mendapat kuota haji sebanyak 250.000. Tapi, dari kuota sebanyak itu, hanya 20.000 yang diserahkan kepada swasta. “Jika bisnis ini tetap ditangani pemerintah sendiri, yang kondisinya tetap akan seperti tahun-tahun sebelumnya. Agar program Haji ini berjalan seperti diharapkan banyak kalangan, dilakukan swastanisasi saja dan tidak lagi dimonopoli pemerintah seperti selama ini,” tegasnya.
(SH/ignatius gunarto)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Wednesday, September 08, 2004
Label: Buruh migran, PJTKI, Suara Pembaharuan Daily