Rabu, 02 Juli 2003
SANGAT tidak mungkin! Begitu kata seorang pejabat di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang bisa tidaknya pengangguran di negeri ini dikikis habis oleh satu departemen. Pengangguran masih, kata dia, dan hanya bisa hilang kalau si penganggur berupaya keras melepas statusnya sebagai tuna karya dengan cara yang lebih kreatif. Jangan cuma menggantungkan harapan kepada pemerintah, khususnya Depnakertrans karena memang departemen ini tidak mampu.
HAL itu disebabkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) belum memiliki program yang tepat untuk menanggulangi pengangguran yang sudah mencapai 40 juta orang. Dari jumlah itu 9,1 juta benar-benar penganggur alias tak punya usaha maupun pekerjaan sama sekali.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri (Pendagri) Kirnadi mengatakan, sampai sekarang instansinya tidak memiliki peta sektor yang paling memungkinkan untuk menyerap tenaga kerja. Kebutuhan per sektor tidak ada. Dengan dalih sangat minim perusahaan yang melapor ke instansi ini, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 dan Keppres Nomor 4 Tahun 1980 tentang wajib lapor bagi perusahaan setiap ada lowongan kerja.
"Terus terang saja Depnakertrans tidak bisa menyebutkan secara rinci daya serap per sektor karena memang tidak ada data. Yang jelas pelatihan tenaga kerja diarahkan ke industri dan pertanian karena kedua sektor ini dinilai masih terbuka lebar," katanya.
Meskipun demikian, pelatihan tenaga kerja di balai latihan kerja (BLK) tetap berjalan sesuai permintaan daerah. Depnakertrans melatih tenaga kerja sesuai apa yang dibutuhkan pemerintah daerah. Jadi, meski sektor yang berpeluang bagi pekerja tidak jelas, instansi itu tetap melakukan pelatihan sesuai permintaan daerah. Pelatihan pun tidak mungkin dihentikan karena ada 153 unit BLK, yang enam di antaranya dikelola pusat. Padahal, juga tidak jelas berapa jumlah tenaga kerja yang sudah pernah menjalani latihan di BLK dan sudah bekerja. Tidak ada data akurat dan jika ditanya jawabannya klise, "tidak ada yang melapor ke Depnakertrans".
IRONIS memang, di kala angka pengangguran sudah berada pada titik 40 juta orang, program yang dilakukan untuk menekan pengangguran hanya mengandalkan sektor informal dan wira usaha mandiri serta transmigrasi. "Depnakertrans tidak bisa menyediakan lapangan kerja dan program untuk mengatasi pengangguran juga sulit ditetapkan karena tidak jelas sektor yang masih terbuka bagi pekerja," ujarnya.
Dengan segala keterbatasan, instansi ini terus berupaya mengurangi angka 40 juta orang. Pasalnya, setiap tahun ada tambahan 2,5 juta angkatan kerja baru. Padahal, dengan pertumbuhan ekonomi 3-4 persen setiap tahun, industri hanya mampu menyerap sekitar 1,2 juta orang.
Perluasan lapangan kerja tetap dilakukan meski tertatih-tatih. Misalnya, tahun 2002, Depnakertrans telah mengeluarkan anggaran sebesar 247 miliar dengan melatih 480.000 orang. Tahun 2003 dana yang dianggarkan untuk meningkatkan kualitas pencari kerja sebesar Rp 252 miliar, dengan target bisa melatih sekitar 650.000 calon tenaga kerja.
Bahkan untuk tahun 2004, instansi ini mengajukan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun untuk pengembangan program transmigrasi. Pembengkakan dana di sektor ini karena program transmigrasi diyakini sebagai salah satu langkah mengatasi pengangguran.
Menurut Mennakertrans Jacob Nuwa Wea, penggunaan dana tersebut 60 persen untuk penanganan permukiman transmigrasi lama, 20 persen untuk lokasi baru dalam skala besar. Sisanya membangun permukiman baru berskala kecil di daerah perbatasan. Sasaran program transmigrasi tahun 2004, kata Nuwa Wea, untuk menempatkan 35.000 Kepala Keluarga (KK) di 85 unit permukiman transmigrasi (UPT) baru serta pembinaan lanjutan bagi 77.000 KK, yang ditempatkan tahun sebelumnya di 450 UPT.
Guna menunjang program tersebut, Depnakertrans juga memperoleh dana dari sektor lain sebesar Rp 50 miliar. Dana itu digunakan untuk membiayai program peningkatan peran serta masyarakat, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan sarana serta prasarana.
Atas penjelasan Nuwa Wea, anggota Komisi VII Nurdiati Akma mengatakan, dana untuk program transmigrasi dinilai mubazir. Pasalnya, program ini tidak pernah bebas dari masalah. "Menurut saya dana sebesar itu sebaiknya dipakai untuk menciptakan lapangan kerja baru saja."
Apalagi saat ini pengangguran sudah kritis sehingga bukan saatnya lagi program transmigrasi diandalkan sebagai penciptaan lapangan kerja baru dengan membuka lokasi baru di berbagai daerah. "Lebih baik uang itu untuk menciptakan industri kerakyatan sehingga penduduk sekitarnya mendapat pekerjaan," katanya.
Keberatan anggota Dewan agaknya tidak menyurutkan Nuwa Wea untuk terus menggelar program transmigrasi. Alasannya, program ini menciptakan lapangan pekerjaan baru. Bahkan dia menolak tudingan bahwa program transmigrasi gagal. Menurut Nuwa Wea, sangat tidak mungkin mengandalkan penanggulangan pengangguran dengan menunggu datangannya investor yang membuka industri di negeri ini.
Sebab, dengan kondisi perekonomian seperti sekarang investor baru justru tidak datang. Bahkan ironisnya banyak perusahaan nasional tutup karena direlokasi ke negara lain yang dinilai lebih aman dan kondusif untuk berinvestasi. "Akibatnya pengangguran makin parah karena kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak kenal kata berhenti," ujarnya.
SOAL penanggulangan pengangguran juga dibawa dalam Pertemuan Senior Labour Officials Meeting (SLOM) dan ASEAN Labour Ministers Meeting (ALMM) ke-17 di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), awal Mei lalu. Sebagai tuan rumah, Mennakertrans berkesempatan bicara bilateral menyangkut berbagai soal tentang ketenagakerjaan, kesempatan kerja serta penempatan tenaga kerja Indonesia untuk kawasan ASEAN.
Keputusan dalam perhelatan besar yang menghabiskan anggaran Rp 6 miliar itu, termasuk menyangkut upaya mengentaskan pengangguran di dalam negeri, masih sangat jauh dari harapan. Semuanya masih di angan-angan. Hasilnya cuma berupa pernyataan bersama dan kesepakatan yang masih memerlukan pembahasan lebih lanjut dalam forum khusus.
Kesepakatan SLOM dan ALMM ke-17 antara lain ASEAN sepakat tukar menukar informasi mengenai perlindungan jaminan sosial dengan Cina. Selanjutnya, ASEAN sepakat meningkatkan kerja sama di bidang hubungan industrial yang difasilitasi Jepang, ASEAN sepakat mengembangkan kesempatan kerja dan globalisasi yang difasilitasi Korea Selatan dan ASEAN, dan Asia Timur harus lebih banyak bekerja sama mewujudkan kebijakan yang pantas.
Hasil kesepakatan ini menjadi jelas, pertemuan SLOM dan ALMM itu pada intinya belum memutuskan sesuatu hal yang menguntungkan bagi Indonesia, yang saat ini telah dihadapkan pada angka pengangguran sebesar 40 juta orang. Pengangguran sudah di depan mata, tetapi solusinya yang dituangkan hitam di atas putih untuk hal-hal yang mendesak seperti ini masih juga nihil.
Memang Cina bersedia membantu perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja, tetapi formatnya belum jelas. Alasannya, standar sertifikasi bagi tenaga kerja belum bisa diterapkan untuk kawasan ASEAN. Kendala ini juga menyangkut bantuan dana dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) sehingga perlu pertemuan khusus lagi untuk merealisasikannya.
Sejumlah pejabat Depnakertrans mengaku, hasil pertemuan setingkat ASEAN ini sulit diimplementasikan dalam waktu dekat. Alasannya, setiap negara memiliki peraturan sendiri-sendiri sehingga untuk menyamakan persepsi memerlukan pertemuan lebih mendalam. Jadi, masih sekadar wacana belaka. Kendati demikian, setidaknya ada satu hal positif yang bisa dipetik Indonesia dari pertemuan ini, yakni Pemerintah Indonesia bisa mengambil pengalaman negara ASEAN lain yang bisa segera diimplementasikan di negara ini.
Perlindungan TKI, misalnya, Pemerintah Indonesia perlu belajar banyak dari Filipina. Mengenai penyelenggaraan jaminan sosial, berguru ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hasil pertemuan pejabat tinggi di ASEAN itu bukan berarti tidak bermanfaat sama sekali. Tetap ada manfaatnya, tetapi dari hasil pertemuan itu ada beberapa hal yang sebenarnya memerlukan pertemuan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu hal yang besar bagi kepentingan masyarakat di kawasan ini.
Para delegasi menyimpulkan, liberalisasi pasar tenaga kerja di kawasan ASEAN masih butuh waktu dan pembahasan lebih mendalam untuk dilaksanakan. Alasannya, masih ada kendala di negara masing-masing anggota ASEAN. Bahkan menurut Mennaker Filipina Patricia A Sto Thomas, butuh waktu lama, atau setidaknya perlu lima sampai tujuh tahun lagi untuk bisa menerapkan standar kompetensi bersama di bidang ketenagakerjaan.
Lebih ekstrem lagi, Patricia menilai bahwa pemberlakuan standar kompetensi masih merupakan mimpi saat ini karena tidak mudah menyamakan persepsi berbagai kebijakan di masing-masing negara anggota ASEAN. Meskipun demikian, mulai saat ini ASEAN sudah harus memikirkan dan terus membahas masalah standar kompetensi, sebelum mencapai liberalisasi pasar tenaga kerja ASEAN. Baru setelah semuanya bisa mencapai tingkat yang diinginkan, maka kompetensi tersebut mulai diberlakukan secara bertahap.
Namun, apa pun kondisinya, upaya menuju ke arah sana harus diupayakan demi kepentingan tenaga kerja itu sendiri. Jadi, standar kompetensi itu mendesak direalisisasikan karena akan memudahkan pergerakan tenaga kerja di negara-negara intra ASEAN. Jika ini berlaku, masing-masing negara di ASEAN tidak perlu meragukan kualitas tenaga kerja yang telah mendapatkan sertifikasi berstandar ASEAN.
Saat ini, misalnya, banyak tenaga kerja formal Filipina yang bekerja di luar negeri. Para pekerja Filipina ini banyak yang bekerja di Indonesia sebagai pekerja formal di bidang akuntansi. Guna melindungi pekerjaannya di luar negeri, pemerintah negara itu menempatkan 100 atase ketenagakerjaan di negara tujuan penempatan. Filipina juga telah membuat puluhan produk hukum yang menjamin perlindungan bagi pekerjanya di luar negeri.
Sementara itu, Menteri SDM Malaysia Abdul Latiff Ahmad berpendapat bahwa tidak mudah bagi ASEAN untuk menerapkan liberalisasi pasar kerja, seperti yang dilakukan di Uni Eropa. Alasannya, terjadi perbedaan yang tajam tentang pendidikan dan kemampuan tenaga kerja setiap negara.
"Malaysia setuju liberalisasi pasar kerja asal mengacu dan memiliki standar keterampilan yang diakui semua negara anggota ASEAN," katanya.
PENGANGGURAN bukan cuma terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Seperti yang terjadi di Singapura. Pasar kerja di negara itu pun ikut terpukul karena memburuknya situasi ekonomi dunia beberapa bulan terakhir ini. Maraknya wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS), adanya perang Irak, dan resesi ekonomi global yang belum membaik. Pendek kata, pasar kerja Singapura berada dalam kondisi yang berat untuk menampung masuknya calon pekerja baru. Singapura pun harus merasakan suramnya ekonomi dunia dan ancaman peningkatan jumlah para penganggur di Negeri Singa tersebut.
Menurut Kementerian Tenaga Kerja Singapura (MOM) dalam laporan triwulannya, tingkat pengangguran di negerinya naik menjadi 5,5 persen, sebelumnya pada periode yang sama tahun lalu hanya mencapai 4,5 persen. Jika itu terjadi, akan menjadi tingkat pengangguran tertinggi sejak pertengahan tahun 1980-an di Singapura ketika pengangguran mencapai enam persen.
Tingkat pengangguran di Singapura menunjukkan tanda-tanda menurun akhir tahun lalu ketika pabrik banyak yang meningkatkan produksinya sesuai bertambahnya permintaan global. Namun, invasi AS ke Irak, diikuti dengan wabah penyakit SARS, menghambat sinyal awal pemulihan itu, kata laporan tersebut. Virus SARS juga menghantam industri jasa sehingga pemerintah memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 0,5 hingga 2,5 persen dari tingkat proyeksi sebelumnya antara 2,0-5,0 persen.
Situasi itu bertolak belakang dengan keadaan di Filipina. Saat ini, di negara itu angka pengangguran justru turun menjadi 12,2 persen pada bulan April karena tahun 2002 pada bulan yang sama angka pengangguran mencapai 13,9 persen. Namun, angka pengangguran pada bulan April 2003 lebih tinggi 10,6 persen dibandingkan dengan bulan Januari 2003.
Populasi tenaga kerja menurun pada bulan April, yakni 1,2 persen dari jumlahnya menjadi 34,635 juta orang dari 35,052 juta pada bulan yang sama tahun 2002. Pekerja pada sektor pertanian naik 1,2 persen menjadi 11,2 juta pada April 2003 dari 11 juta setahun yang lalu, sedangkan di sektor industri pekerja naik 40.000 orang atau 0,8 persen, dan di bidang jasa naik 64.000 atau 0,4 persen.
Jadi, pengangguran itu bisa ditanggulangi kalau program jelas, data akurat, seperti yang dilakukan Filipina. Mengatasi pengangguran tak cukup mengeluhkan anggaran cekak, seperti yang diteriakkan oleh kalangan pejabat di Depnakertrans sehingga tak bisa berbuat. Akhirnya, semua persoalan tenaga kerja yang muncul di permukaan dilemparkan sebagai kesalahan departemen lain.
Alasan para pejabat di lingkup Depnakertrans, persoalan itu muncul karena departemen lain tidak mau membantu. Padahal, masalah itu adalah masalah interdepartemen. Masalah ketenagakerjaan pun menjadi tak pernah tuntas dan menyenangkan hati para pekerja.
JADI yang paling mengatasi masalah pekerja bukan berteriak-teriak tak mampu karena dana yang terbatas. Namun, yang penting justru apakah departemen itu telah memiliki program yang jelas dan ke mana kebijakan ketenagakerjaan itu akan diarahkan. Hal yang paling penting adalah apakah Depnakertrans punya atau tidak data tentang sektor yang butuh pekerja sehingga program pun bisa jelas. Bukan menjadi pekerjaan sia-sia seperti menggarami laut.
Pelatihan untuk meningkatkan kualitas memang perlu. Cuma, kalau dilatih tanpa ada sasaran selanjutnya, maka tetap akan menganggur. Padahal, ratusan miliar rupiah dana setiap tahun dikeluarkan untuk pelatihan dengan tameng meningkatkan mutu. Namun, karena tidak jelas, pelatihan itu pun cuma jadi pengalaman, tanpa bisa memperoleh lapangan pekerjaan. Semua itu terjadi karena program pelatihan itu tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasar.
Kalau sudah begini sulit rasanya mengentaskan pengangguran di negeri ini. Atau barang kali sengaja dipelihara sebagai komoditas politik untuk modal kampanye. (AGNES SWETTA PANDIA)