TEMPO Interaktif
19 Januari 2006
Jakarta: Pemerintah Kota Solo menolak pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Mereka berharap bisa mengawasi tenaga kerja yang dikirim.
Tenaga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Solo Sundjojo, sangat sulit dipantau. "Mereka bekerja di ruangan terbatas dan jarang keluar. Jadi bila mendapat perlakukan tidak pantas sulit melapor," katanya di Solo, Kamis.
Dikatakan Sundjojo, pemerintah wajib selalu memantau dan melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Jangan sampai pemerintah daerah hanya mengirimkan warganya dan menangguk keuntungan devisa tapi kemudian membiarkan saja kondisi mereka di luar negeri.
Dengan adanya penolakan itu, kata Sundjojo, jika ada permintaan pembantu dari luar negeri, pemerintah Solo akan mengalihkan atau menawarkannya kepada daerah lain di sekitar Solo.
Sundjojo menjelaskan, peminat lowongan pekerjaan ke luar negeri dari warga Solo pada 2005 tergolong rendah. Misalnya, untuk lowongan pekerjaan sebagai operator elektronik di Malaysia dari kuota 122 lowongan kerja yang tersedia baru terisi 12. Untuk itu Dinas Tenaga Kerja Solo memperpanjang pendaftaran.
anas syahirul
19 January 2006
Pemerintah Solo Tolak Kirim Pembantu ke Luar Negeri
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Thursday, January 19, 2006
Label: Buruh migran, Kebijakan, Pemda
10 January 2006
200 TKW Panca Mega Bintang Bekasi Ngamuk
TEMPO Interaktif
10 Januari 2006
Bekasi: 200 tenaga kerja wanita (TKW) kabur dari penampungan PT Panca Mega Bintang di Kampung Ciketing Udik, Desa Mustika Jaya, Bantargebang, Bekasi. Insiden ini dipicu oleh petugas yang hendak memeriksa telepon genggam bawaan TKW. Mereka menolak.
Kemarahan ratusan TKW ini dengan melampiaskannya melempari pos Satpam hingga kaca kantor itu berantakan. Mereka meloloskan diri setelah melepas gerendel pintu gerbang. Petugas Polsek Bantargebang yang datang ke lokasi berupaya menenangkan para TKW yang masih berada di dalam.
Beberapa TKW dimintai keterangan termasuk pengurus PT Panca Mega Bintang selaku perusahaan yang memberangkatkan para calon TKW. Kaum hawa yang kabur semalam sudah tak ada di lokasi. "Kami ini baru mengantar tiga bis untuk pulang ke Jawa lewat Cibitung,"kata petugas Polsek Bantargebang, Selasa (10/1).
Menurut N. Wati, TKW yang akan pulang ke Makassar, peristiwa itu terjadi Senin malam saat para TKW yang membawa telepon genggam diperiksa satu persatu dan disuruh naik ke lantai tiga. Saat itu, seorang guru pengajar meminta agar petugas tidak melakukan pemeriksaan karena malam takbiran.
Ucapan sang guru tak diindahkan, akibatnya ratusan TKW berang. Mereka turun dari lantai III menyerbu pintu gerbang membuat para Satpam yang ada di lokasi kebingungan. Wati bersama 20 orang tetangganya ikut menjadi TKW, namun sudah dua bulan di sana belum juga diberangkatkan ke tujuan sehingga ia memilih pulang ke kampung saja.
Menurut Misem, para TKW tak diperkenankan keluar penampungan. "Saya beli makanan saja lewat bolongan pagar. Ada kejadian ini saja kami bisa keluar sebentar,"katanya.
Riski Azis, Satpam setempat menyatakan, para TKW itu cuti dan bukan melakukan unjuk rasa. "Mereka ada yang sebentar dipenampungan ada juga yang lama tergantung permintaan dari pemesan. Para TKW ini akan di kirim ke Hongkong, Taiwan, Malaysia, Singapura sebagai pembantu rumah tangga,"katanya. Jumlah TKW seluruhnya sekitar 1.200
Siswanto
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights See Linked Article di Tuesday, January 10, 2006
Label: Buruh migran, masalah BMI, PJTKI, tanggapan masyarakat
05 January 2006
KJRI Johor Bahru Selamatkan Uang TKI Rp4,555 Miliar
Media Indonesia
5 Januari 2006
JOHOR BAHRU: Gugus tugas, semacam tim buru sergap (buser), bentukan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru selama tahun 2005 berhasil menyelamatkan uang hak para tenaga kerja dari Indonesia sekitar 1,786 juta ringgit Malaysia (rM) atau setara dengan 4,555 miliar rupiah.
"Devisa sebesar itu, di antaranya 125.874 ribu rM diperoleh melalui kegiatan tim buser terhadap 171 kasus majikan nakal yang mengakibatkan tenaga kerja wanita-penatalaksana rumah tangga (TKW-PLRT) melarikan diri dan minta perlindungan konsulat, ujar Kepala Bidang Konsuler-Konsulat Jenderal Republik Indonesia KJRI-Johor Bahru (KJRI-JB), Didik Trimardjono, Kamis.
Selain itu, 1,585 juta RM diselamatkan melalui penyelesaian kasus 319 tenaga kerja Indonesia (TKI) di "GP Batteries Sdn. Bhd", Johor. Salah satu divisi dari perusahaan itu yang mayoritas pekerjanya TKI, harus tutup tahun 2005 sehingga KJRI-JB kemudian mesti pula berkutat memperjuangkan hak-hak TKI berdasarkan "Workmen Compensation Act" 1952.
Para TKI eks pekerja "GP Batteries" akhirnya dapat pulang dengan senyum terkembang, demikian dilukiskan Didik, sebab kegigihan Tim Buser KJRI yang dikawal Konsul Jenderal Drs Maryadi Hadisuwiryo membuahkan hasil sebesar total 1,585 juta rM untuk komponen gaji, kompensasi dan tiket pesawat.
"Suatu nilai yang fantastis bagi para TKI," ungkap Didik yang pernah bertugas di KBRI Bonn, Jerman, sebagai Kasie Protokol dan Konsuler, 1997-1999, dan di KBRI Berlin, 1999-2000 dalam posisi yang sama.
Keberhasilan dari Tim Buser KJRI-JB katanya, tak lepas dari pendekatan dan penciptaan jejaring kerja yang intens dengan para majikan/pengusaha dan persatuan "employers" di Malaysia (Federation of Malaysian Manufactures, dan, Union Plantation Workers Malaysia).
Di tahun 2005 pula, KJRI-JB berhasil menyelamatkan 51.335 ribu RM ketika memperjuangkan hak 480 TKI yang sempat melakukan pemogokan di "Technochase Sdn.Bhd."
Bekerja sama dengan pejabat tenaga kerja, kepolisian dan imigrasi setempat, KJRI berhasil meredam emosi TKI dengan membahas ulang hak dan kewajiban mereka dengan pihak majikan.
Hasilnya, 377 TKI tetap bekerja, sedang 103 lainnya dipulangkan menjelang lebaran dengan mengantongi hak sisa gaji mereka yang totalnya 51.225 ribu RM, kata Didik, diplomat berusia 42 tahun, lulusan Hukum Perdata Internasional Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1989 yang meraih titel Magister Kajian Wilayah Jepang dari Universitas Indonesia tahun 1977.
Proaktif
Tim Buser KJRI Johor Bahru Desember 2005 genap berusia satu tahun. Gugus tugas itu terbentuk ketika Didik memulai tugas di sana sebagai terobosan dalam meningkatkan "Corporate Cultural" Departeman Luar Negeri RI yaitu meningkatkan kepedulian dan keberpihakan kepada seluruh WNI di Johor Bahru. Tim, proaktif "mengejar" majikan yang nakal, tidak membayar gaji, menyiksa, memperkosa dan melecehkan hak-hak TKI/TKW
Sasaran khusus gugus tugas tersebut adalah mendapatkan hak gaji para PLRT dengan mendahulukan pendekatan kekeluargaan dan pemanggilan secara resmi kepada majikan yang bermasalah.
Bila berkali-kali pemanggilan tidak diindahkan, staf KJRI/tim buser, dengan didampingi kepolisian setempat mendatangi alamat majikan. "Biasanya kedatangan tim yang mendadak membuat majikan kaget dan tidak dapat mengelak karena PLRT-nya dibawa serta untuk ikut menagih janji yang belum ditunaikan," katanya.
Menurut Didik, dari 171 kasus pengaduan TKW/PLRT yang ditindaklanjuti, 80 persen majikan nakal bersedia membayar gaji yang totalnya 125.874 rM, sedang yang 20 persen lagi harus diteruskan secara hukum sebab tidak mau menempuh penyelesaian di luar pengadilan.
"Nilai ringgitnya tidak fantastis," ujar Didik, kelahiran Pacitan 10 Agustus 1963, "tetapi yang jauh lebih besar maknanya adalah sebagai terapi kejut kepada majikan nakal."
Upah berbeda
Didik Trimardjono mengemukakan, KJRI-JB sedang terus mengupayakan kenaikan gaji TKI yang bekerja di sektor perkilangan/industri, dan persamaan gaji antara TKI dengan pekerja penduduk tempatan.
Malaysia, katanya, tidak mengenal upah minimum kerja (UMR), karenanya seringkali terjadi majikan atau perusahaan menentukan gaji TKI semaunya sendiri dan sangat merugikan para TKI.
TKI yang bekerja keras memeras habis keringatnya, tidak mendapatkan upah sebagaimana mestinya. "Di tahun 2004, masih banyak TKI yang bekerja dengan upah hanya 13 rM/hari," katanya. Ini sangat tidak seimbang dengan apa yang dikerjakan walaupun terdapat perhitungan upah lembur.
Hal yang tidak mengenakkan adalah pekerja tempatan dengan posisi yang sama mendapatkan gaji lebih tinggi dari TKI. Kesenjangan masalah gaji memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menciptakan larinya TKI dari satu tempat kerja ketempat kerja lainnya.
Padahal, imbuh Didik, keimigrasian Malaysia melarang tegas perpindahan tempat kerja. Mereka yang bekerja di tempat yang tidak sama dengan permit kerja yang tertulis di paspor dianggap ilegal dan bila terkena razia dapat dipastikan akan ditahan di penjara Malaysia.
KJRI-JB sangat prihatin dengan kondisi yang demikian, padahal hukum perburuhan Malaysia (Employment Act 1955) secara tegas mengatakan tidak ada pembedaan perlakuan antara pekerja setempat dengan pekerja asing.
Sementara itu pula, Workmen Compensation Act 1952 juga menjanjikan pemberian perlakuan yang sama terhadap pekerja asing dan setempat dalam memperoleh hak-haknya.
Berdasarkan kedua ketentuan dasar tersebut, KJRI sejak awal 2005 telah berusaha merubah pola pikir "employers" yang akan merekrut TKI untuk menaikkan gaji para TKI tersebut sesuai dengan gaji para pekerja setempat.
KJRI-JB, katanya, menolak secara tegas "employers" yang akan merekrut TKI bila gajinya tidak masuk akal untuk pekerja yang datang jauh-jauh dari Indonesia namun mendapat gaji yang lebih rendah ketimbang di negeri sendiri.
Usaha-usaha dari KJRI-JB, ujarnya, kini mulai membuahkan pemahaman dari "employers" bahwa bila di wilayah kerja KJRI-JB hendak merekrut TKI harus minimal memberikan gaji 18 rM/hari ditambah 2 rM uang hadir, dan 2 rM makan berat/hari, alias 572 rM/bulan sebagai gaji pokok.
Gaji pokok tersebut akan menjadi patokan dalam perhitungan kerja lembur mereka. Standar baku penghasilan kotor rata-rata TKI akan sekitar 850 rM-1.200 rM/bulan dan diharapkan separuh dari gaji mereka dapat ditabung atau dikirim ke keluarga di Indonesia.
Didik mengatakan, satu butir penting yang terangkum dari beberapa kali dialog KJRI-JB dengan "employers" di Malaysia adalah pengakuan bahwa Indonesia sebenarnya mempunyai daya tawar yang sangat kuat berkaitan dengan TKI terhadap "employers" di Malaysia.
Hal ini karena pihak Malaysia memang lebih memilih pekerja Indonesia yang mempunyai kesamaan bahasa, budaya, adat istiadat dan agama.
Dari sisi "cost of management", para majikan tidak perlu melakukan pelatihan khusus kepada para TKI seperti halnya pekerja asing dari negara lain. "Oleh karena itu, TKI yang datang dan bekerja ke Malaysia ke depan harus mendapatkan gaji yang layak," demikian Didik.
Peluang manipulasi
Menurut Kabid Konsuler KJRI-JB, kebijakan Pemerintah Malaysia yang membenarkan masuknya TKI untuk bekerja di Malaysia dengan menggunakan visa pelancong membuka peluang lebar adanya manipulasi dan sindikasi pengiriman TKI ke Malaysia yang tidak sesuai prosedur.
Kebijakan itu diperuntukkan bagi eks-TKI program amnesti awal 2005 dan dinyatakan tidak berlaku lagi, namun pada kenyataannya sampai sekarang masih berjalan.
Indikasinya jelas dari jumlah TKI. Di Johor saja, menurut data Imigrasi Johor Bahru jumlah pekerja asing hingga November 2005 mencapai 225 ribu dan 80 persen (180 ribu) merupakan TKI. Sementara itu, data di KJRI-JB, TKI yang masuk dan bekerja di wilayah kerja KJRI-JB (Johor, Pahang, Melaka, dan Negeri Sembilan) tahun 2005 hanya mencapai 27 ribu saja.
"Hal itu berarti masih banyak TKI masuk ke Malaysia tanpa prosedur, dan karenanya tidak terdaftar di Perwakilan RI," ujarnya.
Kelonggaran tsb dimanfaatkan olah sementara orang untuk memasukkan TKI sebanyak mungkin ke Malaysia. Akibatnyaa banyak TKI yang tidak diurus permit/izin kerjanya, sehingga akan mengalami over stay (melampaui izin tinggal) dan menjadi ilegal.
KJRI-JB berhasil membongkar sindikat pengiriman TKI ilegal oleh Yap Kim Huat dan Rusli (WN Malaysia) dan Katirun, Ronggo Warsito (WNI di Batam) yang sampai sekarang masih buron.
Sindikat itu memang berhasil dibongkar, 200 lebih TKI berhasil dipulangkan KJRI dengan haknya, bahkan 21 TKI yang sudah masuk penjara di Pekan Nenas selama 1 bulan juga berhasil dikeluarkan KJRI serta mendapatkan hak gajinya yaitu sebesar 12.600 rM, ujar Didik, akan tetapi TKI yang dapat bekerja dengan menggunakan visa pelancong justru lebih besar dari yang sesuai prosedur.
Oleh karena itu, dampak negatif dari kebijakan Malaysia yang longgar perlu diantisipasi secara dini di dalam negeri. Dalam hal itu ia menyarankan Pemerintah RI membuat semacam kebijakan pengimbang, misalnya dengan mewajibkan seluruh TKI yang dikirim ke Malaysia mempunyai kontrak kerja (job order) yang diketahui Perwakilan RI supaya memudahkan pengawasan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Satu langkah lagi, imbuhnya, job order harus dijadikan syarat mutlak pembuatan paspor TKI yang akan ke luar negeri sehingga filter terakhir penempatan TKI, berada di kantor imigrasi keberangkatan. (Ant/OL-1)
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, January 05, 2006
Label: ANTARA News, Buruh migran, Kabarbaik BMI, Malaysia, Media Indonesia