-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

25 May 2007

Pejabat ILO Setuju Rencana Deportasi Buruh Migran dari Arab Saudi

KORAN TEMPO
25 Mei 2007
Gyorgy Sziraczki, Senior Economic Officer ILO Regional Office Asia Pasifik, mendukung kebijakan yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi. "Negara penerima harus memverifikasi dokumen pekerja migran karena arus pekerja migran terus meningkat," kata dia.

Lebih dari 40 ribu buruh migran Indonesia terancam dideportasi dari Arab Saudi.

CIANJUR -- Ribuan calon tenaga kerja Indonesia asal Kabupaten Cianjur terancam gagal diberangkatkan. Ancaman itu muncul setelah pemerintah setempat tidak bisa menerbitkan dokumen berita acara yang menjadi syarat utama untuk pembuatan paspor kerja.

Menurut Ketua Asosiasi Profesi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia Habib Abdullah Alaydrus, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006, pemberkasan dokumen calon tenaga kerja migran diserahkan ke daerah masing-masing. Di Cianjur, pemberkasan dokumen tersebut mengalami hambatan lantaran dinas terkait tidak paham soal penerbitan berita acara.

Kepala Seksi Pengembangan dan Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kabupaten Cianjur Akhmad Ubaidillah mengatakan instansinya belum menerima formulir berita acara dari pusat. Mereka hanya bisa menerbitkan rekomendasi dalam bentuk surat pengantar sementara bagi para calon tenaga kerja yang hendak memproses pembuatan paspor kerja.

Rumitnya pengurusan dokumen yang dialami calon buruh migran ini sebenarnya tak lepas dari aturan perburuhan dan imigrasi di negara tujuan yang semakin diperketat. Pengetatan ini sesuai dengan komitmen yang disepakati dalam pertemuan tingkat menteri tenaga kerja beberapa waktu lalu.

Deputi Perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Mardjono mengatakan saat ini saja diperkirakan ada 40 ribu tenaga kerja Indonesia yang terancam dideportasi oleh pemerintah Arab Saudi. "Pemerintah Arab Saudi mengancam dengan sanksi pidana bagi warganya yang mempekerjakan tenaga asing ilegal," kata Mardjono kemarin.

Pemerintah Arab Saudi sendiri hanya memberi tenggat masa pengampunan sampai 31 Mei. Lewat dari tanggal itu, mereka akan mengerahkan aparat penegak hukum untuk menangkap, memenjarakan, dan mendeportasi pendatang ilegal.

Menanggapi kebijakan Arab Saudi itu, pemerintah Indonesia berupaya melakukan lobi selama dua bulan terakhir, tapi hingga saat ini belum mendapat tanggapan dari pemerintah Arab Saudi. Berdasarkan data resmi dari KBRI Riyadh, sebenarnya hanya ada 580 buruh migran Indonesia yang akan dideportasi dalam waktu dekat. "Angka 40 ribu itu sebetulnya baru perkiraan," kata dia.

Walaupun itu baru perkiraan, Mardjono yakin jumlah yang dideportasi akan lebih dari 40 ribu. Apalagi banyak majikan yang panik dengan adanya kebijakan baru Kerajaan Arab Saudi itu. Mereka takut terhadap ancaman 6 bulan penjara atau denda 50 ribu riyal Arab Saudi jika kedapatan mempekerjakan tenaga asing ilegal.

Gyorgy Sziraczki, Senior Economic Officer ILO Regional Office Asia Pasifik, mendukung kebijakan yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi. "Negara penerima harus memverifikasi dokumen pekerja migran karena arus pekerja migran terus meningkat," kata dia.

Meningkatnya mobilitas tenaga kerja lintas negara seharusnya dapat memberikan keuntungan bagi negara pengirim, penerima, dan pekerja migran sendiri. Namun, keuntungan yang berimbang itu ternyata sering tidak dirasakan buruh migran. Mereka selalu menghadapi masalah, mulai keberangkatan, di tempat kerja, hingga kembali ke tempat asal. Kenyataan ini menunjukkan pengelolaan migrasi tenaga kerja dan upaya perlindungan terhadap mereka menjadi kian mendesak. "Untuk menghapus trafficking," kata Sziraczki.

DEDEN ABDUL AZIZ | Ninin Damayanti