27 Mei 2007
BANGSALSARI - Akhirnya Dwi Mardiyah, tenaga kerja wanita (TKW) yang dihukum cambuk karena dituding berzina berhasil pulang ke kampung halamannya di Dusun Karangsemanding RT 01 RW 05 Desa Sukorejo, Kecamatan Bangsalsari. Mardiyah berhasil kembali setelah dideportasi dari Arab Saudi kendati masa hukuman dan hukuman cambuk belum tuntas.
Mardiyah pulang dari airport King Abdul Aziz dan sampai di bandara Soekarno Hatta Jumat pukul 14.30. Dia lantas melanjutkan terbang ke Surabaya pukul 15.00 dan sampai di Juanda pukul 20.00. Dari Juanda, Mardiyah melanjutkan perjalanan dengan bus umum dan sampai di rumah pukul 01.00 dinihari.
Sesampainya di rumah, Mardiyah disambut dengan haru biru. Anak semata wayangnya, Muhammad Taufiq, 14, memeluknya erat-erat. Sanak saudaranya tak mampu menahan tangis. Bahkan, ibunda Mardiyah, Waginah tak bisa menguasai emosi hingga semaput.
Menurut pengakuan wanita yang berangkat sebagai TKW melalui PT Baham Putra Abadi Jakarta ini, dirinya dipulangkan ke Indonesia setelah menjalani hukuman penjara selama 1 tahun 1 bulan dan hukuman cambuk sebanyak 630 kali. Hukuman yang diterima Mardiyah tersebut sebenarnya masih kurang dari hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan di Jeddah, Arab Saudi. Seharusnya, Mardiyah dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan ditambah dengan 700 cambukan. "Di pengadilan saya dituduh telah melakukan perzinahan di rumah Sumayyah, teman majikan saya, Fatma," jelasnya.
Namun Mardiyah menyangkal jika dirinya telah melakukan perzinahan seperti yang dituduhkan dalam persidangan. Dia mengatakan jika dirinya diajak oleh Fatma, majikan barunya yang baru 21 hari dia ikuti. Namun dia tak ingat persis tanggal berapa tepatnya kejadian tersebut. "Kalau tidak salah bulan November setelah hari raya Idul Fitri kejadiannya di rumah Sumayyah," jelasnya.
Sekitar pukul 16.30 waktu setempat, dia bersama pembantu rumah tangga dari Banyuwangi yang juga bernama Fatma diajak majikannya ke rumah Sumayyah. Tak jelas untuk maksud apa Fatma mengajak kedua pembantunya tersebut. Yang jelas, malam itu Mardiyah bersama Fatma tidur di rumah Sumayyah bersama lima orang yang baru berusia sekitar 14 - 15 tahun. Pukul 01.00 dini hari, tiba-tiba datang seorang syekh --tokoh masyarakat setempat-- dengan membawa beberapa polisi. Tanpa meminta penjelasan, mereka langsung membawa Mardiyah, majikannya, Fatma dan Sumayyah.
Merekapun langsung menjalani pemeriksaan dan persidangan. Namun hanya Sumayyah dan dirinya yang menjalani sidang sampai akhir. Sedangkan majikannya dan temannya, Fatma hanya berada 10 hari di penjara, mereka kemudian dibebaskan oleh polisi. Setelah menjalani 7 kali persidangan, Mardiyah yang dituntut karena melakukan perbuatan zina, akhirnya divonis dengan hukuman 2 tahun penjara ditambah 700 hukuman cambuk. Sedangkan Sumayyah divonis 3 tahun penjara ditambah dengan 840 kali hukuman cambuk. "Setiap dua minggu saya mendapat hukuman cambuk sebanyak 70 kali. Dicicil hingga mencapai 700 kali cambukan," jelasnya.
Yang menyedihkan, pengadilan hanya mengajukan saksi syekh yang menangkapnya tanpa bukti papaun dan saksi lainnya. Dia juga tak diberi kesempatan berkomunikasi dengan KBRI, keluarga apalagi meminta pengacara. Bahkan saat akan dideportasi, oleh KBRI dia hanya dimarahi dan diminta bersabar atas peristiwa yang menimpanya.
Sepuluh hari yang lalu, tiba-tiba dia dikeluarkan dari penjara dan dimasukkan tarhil, semacam penampungan menunggu waktu dideportasi. Setelah 10 hari akhirnya dia dipulangkan bersama sama dua bus TKI yang juga sama-sama baru menjalani hukuman serupa. "Saya pulang dengan hanya membawa badan. Saya tak membawa uang sama sekali. Saya bisa naik pesawat ke surabaya dan naik bus karena menggunakan uang ’gaji’ selama di penjara sebesar 60 real (sekitar Rp 125 ribu) per bulan. Itu semua sudah habis sama sekali," keluhnya.
Kholili, ketua DPW Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur mengatakan jika pihaknya menuntut pemerintah dan PT Baham Putra Abadi (PT BPA) untuk bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Mardiyah. Dia menuding PT BPA yang berkedudukan di Jakarta telah melakukan banyak pelanggaran terhadap perjanjian dengan TKI.
Akibatnya, banyak TKI yang berangkat secara resmi beralih menjadi TKI illegal dengan alasan ketidakpuasan dan PJKTI yang melanggar hak-hak pada pekerja, termasuk yang dialami Mardiyah. "Apalagi dalam hal hukuman yang dituduhkan dan dijatuhkan kepada para TKI, serba sewenang-wenang dan tanpa sepengetahuan pihak KBRI ataupun keluarga. Sementara itu KBRI di Arab Saudi juga tak bisa apa-apa dalam menjaga warganya apalagi menyelamatkannya," ketusnya. Sementara itu, kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Drs Moh. Thamrin hingga kemarin sore belum berhasil dikonfirmasi. Dihubungi ponselnya, ada nada aktif namun tak diangkat. (zww)