-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

31 May 2002

Sartono Mukadis: Tinggi, Kasus Bunuh Diri di Batam

Kompas
31 Mei 2002

Batam, Kompas - Psikolog Sartono Mukadis menyatakan, akhir-akhir ini angka kematian dengan cara bunuh diri di Kota Batam semakin meningkat. Sejak enam bulan terakhir (November 2001 sampai April 2002), berdasarkan berita-berita di media lokal, ada sebanyak 16 kasus bunuh diri atau 2-3 kali dalam sebulan. Faktor penyebab tingginya angka bunuh diri ini lebih dominan terkait dengan munculnya permasalahan hubungan antara pria dan wanita yang dilatarbelakangi keretakan hubungan perkawinan dan asmara.

"Ada kecenderungan, pria-pria menganggap Batam sebagai surga karena begitu mudah memperoleh wanita idaman lain. Sebaliknya, wanita-wanitanya menganggap sebagai neraka karena mudahnya terjadi keretakan hubungan suami-istri akibat sering ditinggal suami. Kondisi ini sudah menjadi fenomena di masyarakat Kota Batam," kata Sartono Mukadis, yang sejak Februari 2000 menangani Pusat Layanan Psikologi Pikori Batam, dalam perbincangannya dengan Kompas di Batam, Kamis (30/5).

Menurut Sartono, tingginya angka bunuh diri di pulau berpenduduk 500.000 jiwa lebih ini, tidak lain karena kekeliruan mempersepsikan Batam sebagai sebuah kota modern dan maju. Batam selama ini dipandang sebagai sebuah kota hanya dalam bentuk kemajuan fisik belaka, tanpa ada sentuhan kemanusiaan (human touch). Di sisi lain, kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Batam sering kali dipromosikan secara berlebihan (over seilling) kepada orang luar, seolah-olah semuanya serba "wah".

Padahal, secara kultural, Batam semakin lama semakin kehilangan identitas diri, jiwa dan "roh" kebudayaannya. Bila dilihat dari keragaman etnik dan agama, seharusnya Batam memiliki kekuatan budaya yang luar biasa karena memiliki sumber-sumber identitas diri yang beragam. Apalagi, akar kebudayaan pulau seluas 715 km2 ini berada di Kepulauan Riau yang tersohor dengan kebudayaan khas Melayu-nya.

"Jika sentuhan kemanusiaan dilupakan dalam membangun Batam di masa depan, saya tidak tahu seperti apa nantinya wajah Kota Batam ini," tegas Sartono, yang pernah menjadi staf pengajar di Universitas Indonesia (UI).

Secara terpisah, budayawan Samson Rambah Pasir membenarkan pernyataan Sartono tentang hilangnya "roh" pembangunan di Kota Batam. Ia mengibaratkan, kemajuan Batam tak lebih daripada tubuh manusia yang hidup tanpa "roh". Keseimbangan antara kemajuan fisik tak diimbangi dengan kemajuan nonfisik, dalam arti kekayaan rohani atau jiwa.

Samson mencontohkan, ketika orang hendak mencari pengayaan kebutuhan rohani akan seni dan kebudayaan, rasanya sulit untuk memperolehnya karena hingga sekarang ini, tak satu pun ada tempat atau gedung yang bisa menampung karya-karya seni. Orientasi pembangunan di bidang kerohanian cenderung didominasi urusan-urusan keagamaan. Padahal, membangun sebuah jati diri bukan hanya dari sudut dimensi agama, tapi juga membangun akar kebudayaannya.

Malah ada kecenderungan, ungkap Samson, para pendatang ke Batam hanya sekadar menjadikan Batam sebagai ladang perburuan mengejar material tanpa memperhatikan aspek lingkungan sekitarnya. Dampak ini semua bukan hanya menggerogoti identitas Kota Batam yang berakar pada budaya Melayu, tapi telah terdistorsi dengan kebudayaan tanpa "roh" alias tak berwajah.

Baik Sartono maupun Samson sepakat untuk mengantisipasi hilangnya jati diri atau identitas diri Kota Batam. Kini sudah waktunya Pemerintah Kota Batam bersama Otorita Batam (OB) membangun identitas dirinya dengan menjaga keseimbangan kebutuhan fisik dengan jiwa atau rohani. (SMN)