Senin, 07 Mei 2007
Jakarta: Rencana pemerintah untuk menambah kerjasama bilateral penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan sejumlah negara dinilai tidak berpihak pada buruh migran. Kebijakan itu cenderung menganggap buruh migran sebagai komoditi bukan dari sudut pandang hak asasi manusia.
Lotte Kejser, Kepala Proyek ILO (International Labour Organization) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Kerja Paksa dan Perdagangan mengatakan, kebijakan pemerintah tadi akan membuat para buruh migran Indonesia semakin rentan. Apalagi, kebijakan itu tidak diimbangi dengan kebijakan perlindungan dan pengawasan. "Tidak seimbang dan cenderung merugikan buruh migran," kata dia kepada Tempo, Senin (8/5).
Berdasaran Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2006 tentang kebijakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri akan menambah negara penempatan TKI. Jika saat ini jumlah penempatan ada 5 negara, direncanakan Juli 2007 jumlahnya bertambah menjadi
17 negara.
Kelima negara yang menjadi lokasi penempatan itu adalah Malaysia, Korea Selatan, Yordania, Kuwait dan Taiwan. Sedangkan negara yang menjadi target berikutnya adalah Yunani, Turki, Maroko, Spanyol, Aljazair, Tunisia, Abu Dhabi, Kuwait, dan Qatar. Sementara untuk Norwegia, Kanada, Jepang dan Australia juga sedang dijajaki kemungkinannya.
Lotte menilai perspektif yang digunakan pemerintah dalam menempatkan tenaga kerja mengabaikan hak asasi buruh. Ukuran keberhasilan yang digunakan pemerintah adalah membuka kesempatan kerjasama seluasnya yang mengarah pada komoditas buruh migran. Bukan pada peningkatan perlindungan HAM dalam kegiatan migrasi. "Pemerintah hanya ingin mengejar target pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebanyak 700 ribu orang per tahun. Tapi tidak ada perbaikan perlindungan secara nyata dan makin banyak tenaga kerja yang mengalami kekerasan dan ekspolitasi," katanya.
Menurut dia, kerjasama yang sudah ada seperti dengan Malaysia, Korea Selatan, Yordania, Kuwait dan Taiwan juga sudah seharusnya dikaji ulang. Dalam kesepakatan kerjasama antar negara tersebut, menurut dia, Indonesia justru menjadi pihak yang dirugikan. "Kerjasama yang telah ada perlu diperbaiki dengan prioritas perlindungan pada buruh migran yang bekerja pada sektor rumah tangga," katanya.
Selama ini, kata dia, dalam perjanjian kerjasama yang sudah dilakukan oleh pemerintah, tidak ada aturan standar minimal bagi upah, jaminan kesehatan, dan perlindungan hukum. "Perlu ada kerjasama yang berperspektif HAM di negara-negara yang sudah memperkerjakan buruh migran karena posisi kita jauh lebih rentan dan tidak memiliki perlindungan hukum," katanya.
Perspektif pemerintah menganggap buruh migran sebagai barang komoditi juga tampak dari rencana Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan Departemen Perdagangan untuk mengoptimalkan peran atase perdagangan dalam pemasaran TKI. Sejumlah perwakilan RI di San Fransisco, Chicago, Houston dan New York dilibatkan untuk melakukan observasi pasar buruh migran.
Menurut Lotte, lebih baik pemerintah mengontrol jumlah yang akan dikirim ke luar negeri dan meningkatkan kualitasnya dengan pengetahuan dan pendidikan yang memadai. "Jangan sampai ratusan ribu buruh dikirim tanpa pengetahuan dan menjadi bulan-bulanan di negara lain," katanya
Direktur Penempatan BNP2TKI (Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), Ade Adam Noch, dalam sebuah diskusi pekan lalu menyatakan pendekatan kebijakan pemerintah sudah seimbang. "Itu hanya masalah persepsi," katanya. Ia melanjutkan, jaminan perlindungan TKI sudah dilakukan. Salah satunya dengan menambah jumlah asuransi TKI.
Saat ini pemerintah mengacu pada Filipina yang mampu bersaing karena sistem penempatan yang sangat sistematis. Filipina kini memiliki 74 atase tenaga kerja yang tersebar di seluruh dunia yang bertugas mendampingi tenaga kerja di negara penempatan.
Departemen Tenaga Kerja sepanjang tahun 2006 berhasil mengirimkan 680 ribu tenaga kerja ke luar negeri dari target tahunan 700 ribu tenaga kerja. Sebagian besar, sekitar 60 persen, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang kebun, buruh tani, dan pengemudi. Pada tahun yang sama, nilai dari jasa TKI di luar negeri berupa remitansi cukup besar mencapai 6,5 miliar US dollar atau lebih dari Rp 58 triliun.
Ninin Damayanti