29 Juni 2007
Para korban perdagangan manusia (human trafficking) pada umumnya masih merasa enggan untuk melapor ke polisi. Hal itu sungguh ironis karena keterlibatan polisi dalam upaya pemberantasan perdagangan manusia sangat dibutuhkan.
"Ketimbang melapor ke polisi, korban perdagangan manusia lebih suka mengadu ke lembaga swadaya masyarakat (LSM)," ujar Robert C Barlow II, Deputy Senior Law Enforcement Advisor di Departemen Kehakiman AS. Hal itu dikatakan Barlow dalam diskusi bertema "Indonesia dalam Laporan Departemen Luar Negeri AS Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia" di Jakarta, Kamis (28/6).
Barlow berpendapat, kerja sama yang erat harus digalang antara aparat kepolisian dengan LSM. "Kerja sama itu akan bermanfaat karena LSM bisa menyampaikan informasi yang bermanfaat bagi polisi. Polisi bisa menuntaskan penyelidikan kejahatan perdagangan manusia yang selama ini menjadi keprihatinan besar masyarakat dan disuarakan oleh kalangan LSM," kata Barlow yang terlibat dalam International Criminal Investigative Training Assistance Program (ICITAP) di Departemen Kehakiman AS.
Mengacu pada kasus perdagangan manusia di Indonesia, Barlow mencermati umumnya para korban merasa lebih nyaman dan aman untuk melaporkan penderitaan yang dialaminya kepada kalangan LSM.
"LSM sering menjadi pihak pertama yang ditemui oleh korban perdagangan manusia. Jadi, wajar jika polisi bekerja sama dengan LSM untuk mendapatkan data dan fakta yang sudah lebih dulu diperoleh LSM dari para korban," tutur Barlow yang juga mantan polisi di Maryland, AS.
Sebaliknya, kata dia, LSM juga harus diberi akses terhadap investigasi polisi sekaligus menggalang kerja sama dengan aparat kepolisian untuk menuntaskan kasus kejahatan tersebut. Kerja sama semacam itu telah diupayakan di Jawa Timur dan Sumatra Utara.
Barlow mengatakan, pengungkapan dan pencegahan kasus perdagangan manusia oleh polisi akan semakin efektif dengan melibatkan lembaga nonpemerintah. Seperti di AS, polisi tidak bisa lagi sembunyi-sembunyi bila ada keterlibatan LSM.
"Ini akan efektif. Sebab polisi akan sulit untuk sembunyi-sembunyi bila ada LSM yang terlibat," kata Barlow yang didampingi Stanley Harsha, Political Officer & Labor Attache di Kedubes AS.
Mengacu pentingnya kerja sama itu, Pemerintah AS memberikan bantuan bagi pengembangan program pelatihan polisi dan LSM oleh ICITAP untuk pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan dilakukan di daerah-daerah di Indonesia yang rawan perdagangan manusia.
Di lingkungan kepolisian, pelatihan dan pendidikan diberikan kepada aparat Reserse Kriminal (Reskrim) dan Ruang Pelayanan Khusus (RPK). "Saat ini kami melakukan pelatihan di Kuching, dekat Entikong, Malaysia," kata Barlow.
Kemitraan
Ia mengatakan, sejak awal polisi sudah ditekankan untuk dapat bekerja dalam satu kemitraan. Apalagi, perdagangan manusia adalah kejahatan transnasional dan bersifat kompleks.
Ironisnya, polisi masih tidak memahami apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia. Kerja sama pun digalang Mabes Polri dengan sejumlah pihak, antara lain IOM (International Organization for Migration), ICEL, dan USAID.
Dalam Laporan Deplu AS tentang Perdagangan Manusia, salah satu kelemahan di Indonesia seperti umumnya di negara lain adalah tidak ada mekanisme pendataan yang akurat tentang perdagangan manusia, baik korban, pelaku, jumlah kasus, dan tahapan penyelidikan.
Untuk itu, ICITAP bekerja sama dengan Pemerintah Australia yang memiliki Criminal Management Information System (CMIS) untuk mengembangkan mekanisme pendataan kriminal yang terpadu.
"Ini manajemen penelusuran kasus yang canggih. Dengan sistem ini, investigasi-investigasi kriminal yang dilakukan di kota-kota lain dapat dipantau secara efektif dan terpadu," ungkap Barlow.
Sementara itu, Stanley Harsha mengatakan, ranking Tier 2 yang diterima oleh Indonesia dalam "US Trafficking in Persons Report 2007" bukan tanpa alasan.
"Banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia tetapi kami juga mencatat ada kemajuan yang telah dicapai dalam mengatasi perdagangan manusia," kata Stanley. [SP/Elly Burhaini Faizal]