-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

17 September 2007

Pengemis Monumen Hidup Kegagalan Negara

Media Indonesia
Senin, 17 September 2007

EDITORIAL: PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta melarang warga menjadi pengemis. Warga juga dilarang memberi uang atau barang kepada pengemis. Warga yang memberi uang kepada pengemis diancam denda mulai dari Rp100 ribu hingga Rp20 juta atau kurungan penjara dua bulan.

Ancaman denda juga diberikan untuk 101 aktivitas lainnya, seperti joki 3 in 1, pengatur lalu lintas ilegal yang lebih dikenal dengan sebutan 'polisi cepek, pengamen, gelandangan, dan pedagang kaki lima.

Larangan dan ancaman denda itu diatur dalam peraturan daerah yang disahkan Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta pada 10 September. Peraturan itu bertajuk ketertiban umum.

Ketertiban umum memang sebuah syarat mutlak peradaban warga dunia. Namun, harus pula disadari, tidak satu pun orang waras yang secara sukarela menjadi pengemis atau memilih profesi yang dicap sebagai sampah masyarakat. Menjadi pengemis bukan sebuah pilihan bebas, melainkan keterpaksaan akibat kemiskinan.

Tugas utama negara adalah memerdekakan warga dari kemiskinan. Karena itulah, para pendiri negara ini merumuskan aturan dasar bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Konstitusi pun secara tegas memerintahkan agar fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara.

Banyaknya pengemis yang masih berkeliaran di jalan raya mestinya dianggap sebagai monumen hidup atas kegagalan negara menjalankan perintah konstitusi. Penguasa yang menjunjung konstitusi harusnya malu karena fakir miskin dan anak telantar tak kunjung diurus.

Peraturan daerah tentang ketertiban umum itu tegas berwatak menyingkirkan orang miskin. Bukan mengurus orang miskin, apalagi memberdayakan orang miskin, terlebih lagi memberantas kemiskinan.

Atas nama ketertiban, pemerintah kota memang biasa melakukan kekerasan terhadap rakyat marginal. Cuma sekarang diberi landasan hukum melalui peraturan daerah.

Mendandani kota tak bisa hanya dengan pupur dan gincu. Kemiskinan tak dapat disingkirkan dengan membuang orang miskin dari kota. Semua itu sia-sia, selama arus urbanisasi tak dapat ditekan.

Khusus buat Jakarta, akan lebih sia-sia lagi. Selama 90% uang beredar di Jakarta, selama itu pula Jakarta tetap menjadi magnet raksasa bagi urbanisasi besar-besaran, dan serentak dengan itu menjadi pelabuhan bagi menumpuk dan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Sebagai gambaran, menurut data Biro Pusat Statistik (Juni 2007), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 10,55 juta orang, sedangkan penduduk miskin sekitar 37,17 juta orang. Kita tidak tahu berapa banyak dari jumlah itu yang tinggal di Jakarta menjadi pengemis, pengamen, joki 3 in 1, atau gelandangan, yang dengan peraturan daerah yang baru itu semuanya harus disingkirkan.

Padahal, sekali lagi, menyediakan lapangan kerja merupakan tugas negara. Mengangkat rakyat dari lembah kegembelan juga tugas pemerintah kota. Akan tetapi, Jakarta memilih jalan paling gampang untuk mengatasinya, yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah untuk mengenyahkan mereka.

Tentu ada latar belakang mengapa peraturan daerah itu dibuat. Di antaranya, kenyataan bahwa di balik berlagak pengemis ada sindikat yang mengaturnya, yang sengaja menciptakan cacat tubuh dan kepapaan sebagai komoditas yang menyentuh rasa iba. Adalah juga kenyataan, ada anak umur empat tahun diculik dan dijadikan pengemis bahkan hingga delapan bulan baru terbongkar. Itulah komersialisasi kegembelan dan kemiskinan, bahkan kriminalisasi kemiskinan, yang memang harus ditebas.

Namun, penyalahgunaan kemiskinan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membuat peraturan daerah yang menggeneralisasikan pengemis dan 101 aktivitas lainnya sebagai kejahatan. Lalu mengira negara bisa lepas tangan dari tanggung jawab konstitusional untuk menanggung fakir miskin.

Dari perspektif itu, jangan heran bila kemudian ada yang menyeret peraturan daerah itu ke Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan karena melanggar konstitusi.