-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

05 October 2004

Sandera WNI Bebas

Kompas
Selasa, 05 Oktober 2004

Jakarta, Kompas - Dua warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok bersenjata di Irak, Senin (4/10), akhirnya dibebaskan oleh para penyandera. Mereka diserahkan kepada Kedutaan Besar Uni Emirat Arab di Baghdad, dan oleh Kedubes UEA diteruskan ke Palang Merah Internasional. Identitas kedua warga negara itu pun akhirnya terungkap setelah keluarga masing-masing meyakini bahwa foto para korban yang dimuat di media massa adalah foto anggota keluarga mereka.

Kabar pertama kali tentang pembebasan dua warga negara Indonesia (WNI) tersebut disampaikan oleh stasiun televisi Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) kemarin, yang sekaligus memperlihatkan cuplikan gambar kedua sandera WNI tersebut yang kondisinya tampak sehat.

Dini hari kemarin, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Hassan Wirajuda mengonfirmasikan bahwa kedua sandera sudah diserahkan dan sekarang berada di bawah perlindungan Bulan Sabit Merah UEA di Baghdad. Untuk selanjutnya, Bulan Sabit Merah-lah yang akan mengatur pemulangan kedua sandera ke Indonesia dengan jalan yang paling aman.

Menlu mengaku bahagia dengan berita pembebasan tersebut. "Yah, ini akhir yang membahagiakan. Sebab, biasanya kasus seperti ini banyak yang ujungnya justru malapetaka," ucapnya.

Hassan menegaskan, tidak cukup alasan untuk menyandera dua warga Indonesia yang lugu dan pergi ke Irak hanya untuk mencari pekerjaan. Menurut dia, pembebasan itu dilakukan setelah pihak penyandera mendengar seruan berbagai pihak di Indonesia, seperti Presiden, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Perwakilan RI di Qatar, yang dilakukan melalui jaringan televisi Al-Jazeera, juga dari Jordania dan Lebanon.

Menjawab pertanyaan tentang kemungkinan ada uang tebusan di balik pembebasan itu, Hassan hanya tertawa. "Uang siapa? Ini pembebasan murni," tuturnya.

Dari kasus itu, Hassan menyesalkan kekisruhan proses "identifikasi" di dalam negeri yang seharusnya sejak awal mempermudah pelacakan WNI. "Kekisruhan itu akhirnya membuat kami sulit sekali mengidentifikasikan seseorang," ungkapnya.

Misalnya, nama yang disampaikan dalam Al-Jazeera ternyata berbeda setelah dicocokkan dengan nama dari pihak keluarga. "Ini yang kami sesalkan dan ini pelajaran pertama bagi kita," paparnya.

Ia sekali lagi mengulangi peringatan pemerintah kepada seluruh warga Indonesia untuk tidak bepergian ke Irak dan meminta seluruh warga Indonesia yang telah berada di Irak segera keluar dari sana. "Ini membuktikan bahwa negeri itu tidak aman bagi negara yang dari awal menyokong perang hingga negara seperti Indonesia yang dari awal mengutuk (invasi Amerika Serikat ke Irak). Ini pelajaran kedua bahwa pada akhirnya perang itu sama sekali tidak melihat warga negara," katanya.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa, Selasa dini hari, menambahkan, Pemerintah Indonesia sudah berbicara dengan kedua sandera di Baghdad. Mereka mengaku secara umum dalam keadaan baik dan diperlakukan secara baik, walau pernah dipukul oleh penyandera.

Mereka tiba di Jordania (sebelum penyanderaan) 23 September, lalu ditempatkan di sebuah kantor dan dijemput oleh empat orang, selanjutnya dibawa ke Irak. Dalam perjalanan ke Irak itulah tiba-tiba mereka disergap dan disandera.

Kemanusiaan

Seorang diplomat UEA kepada stasiun televisi Al-Arabiya menyatakan, mereka akan menyerahkan kedua sandera itu kepada pihak Palang Merah di Irak. "Tidak ada Kedutaan Besar Indonesia di Baghdad sehingga kami menerima mereka karena pertimbangan kemanusiaan. Kami sekarang sedang berkoordinasi dengan Palang Merah untuk menyerahkan mereka," kata diplomat itu.

Nama asli kedua WNI yang disandera di Irak itu, setelah diyakini oleh pihak-pihak yang menyatakan keluarganya, ternyata berbeda dengan nama yang selama ini dilansir Departemen Luar Negeri (Deplu) RI dari hasil rekaman video yang diterima stasiun televisi Al-Jazeera.

Kedua WNI tersebut, sebagaimana diperkirakan sebelumnya, memang adalah tenaga kerja Indonesia (TKI). TKI yang dalam rekaman video menyatakan bernama Rosidah binti Anom diyakini bernama asli Istiqomah (32), warga Banyuwangi, Jawa Timur. Sandera Rafikan binti Aming yang diyakini memiliki nama asli Ikma Novitasari (20) adalah warga Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Hentikan pengiriman TKI

Seusai bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Senin, Menlu Hassan menyatakan, buntut dari penyanderaan dua WNI di Irak, pihaknya telah meminta supaya Presiden untuk sementara menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Penghentian pengiriman itu diusulkan dilakukan sampai proses administrasi pengiriman TKI beres dan tidak semrawut. "Hal itu untuk melindungi pekerja," katanya.

Menurut Hassan, pengiriman dua TKI yang semrawut terbukti dari tujuan pengiriman kedua TKI yang dinilai mengelabui ketentuan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. "Karena perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) seharusnya memberangkatkan mereka ke Jordania. Nyatanya dikirim ke Kuwait. Padahal, ada larangan untuk mengirimkan TKI ke sana. Jadi, ada kesemrawutan dan penulisan nama yang tidak benar antara paspor dan nama sebenarnya," ujarnya.

Dalam kesempatan itu Hassan juga meluruskan nama kedua WNI yang disandera berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan oleh pihaknya.

"Ternyata, dari hasil penelusuran Deplu, Rosidah binti Anom itu sebenarnya bernama Istiqomah binti Misnad, yang beralamat di Jalan Kinibalu RT 03 RW 01 Tanglungelo, Banyuwangi. Pengirimnya adalah PT Sabrina pada tanggal 17 September tahun lalu. Yang kedua, Rafikan binti Aming ternyata sebenarnya adalah Novitasari binti Sugito. Alamatnya, Dusun Pukasari RT 23 RW 08 Desa Haryo Kuncaran, Kecamatan Sumberpancing Wetan, Malang Selatan. Novitasari dikirim oleh PT Asami Ananda Mandiri, Jakarta. Novitasari dikenali oleh orangtuanya," katanya.

Baju kotak-kotak

Keyakinan atas identitas Istiqomah disampaikan suaminya, Sugiyanto (32), setelah melihat foto yang terpampang di media massa. "Saya sangat yakin, foto yang dipampang di koran itu adalah foto istri saya. Ini dikenali dari baju kotak-kotak seperti yang dipakai sewaktu hendak berangkat ke penampungan di Jakarta. Selain itu, wajahnya juga sangat dikenali," kata Sugiyanto kepada sejumlah wartawan yang datang berkunjung ke rumahnya di Banyuwangi, kemarin.

Ia mengetahui bahwa foto istrinya itu dipampang di koran dan dinyatakan sebagai sandera di Irak karena diberi tahu oleh sejumlah temannya dan kakak kandungnya, Misgiyono. Hari Minggu lalu Misgiyono datang sambil membawa koran yang memuat foto istrinya dan teman sekerjanya. Setelah diamati dan ternyata benar, Sugiyanto segera mendatangi Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Banyuwangi untuk melaporkan secara lisan.

"Tadi pagi saya datang lagi ke Polsekta Banyuwangi untuk memberi laporan secara tertulis," katanya. Kepada polisi ia memberi tahu bagaimana proses perjalanan istrinya itu bisa sampai ke penampungan PJTKI PT Sabrina di Jalan Kramat Jati, Condet, Jakarta.

Menurut Sugiyanto, istrinya berangkat dari rumah bulan Februari lalu bersama dua orang yang ditugasi untuk mencari TKI oleh PJTKI. Istrinya berangkat dari rumah ibunya di Dusun Sumbersari, Desa Tambong Kejoyo, Kecamatan Kabat, Banyuwangi.

Misgiyono menjelaskan, istrinya sudah tiga kali meminta izin untuk berangkat ke luar negeri sebagai TKI, tetapi dia melarangnya. Terakhir Istiqomah pamit untuk berkunjung ke rumah saudaranya di Dusun Sumbersari. Kemudian tiba-tiba datang seseorang yang memintakan izin ke rumahnya untuk berangkat ke luar negeri. Melihat segala persyaratan administrasi sudah komplet, tinggal persetujuan dari suami, akhirnya Sugiyanto luluh juga. "Surat kawin saya berikan dan menyerahkan baik-buruknya istri saya itu kepada Pak Sam dan Rokayah (dua petugas PJTKI)," katanya.

Belum yakin

Meskipun nenek Ikma, Wis Eli (70), yang berdomisili di Surabaya, Jawa Timur, meyakini bahwa foto salah seorang sandera WNI di Irak itu adalah foto cucunya, pasangan Sugito (39) dan Hosnia (40) belum meyakini bahwa korban adalah anaknya.

"Saya sendiri belum yakin karena informasinya masih belum jelas. Tapi siapa pun dia, harapan saya adalah supaya pemerintah cepat bertindak agar mereka selamat," ujar Sugito, ayah tiri Ikma, saat ditemui di rumahnya di Dusun Mulyosari (Malang).

Secara terpisah, Direktur Utama PT Assami Ananda Mandiri, Saleh Sami Alatas, menjelaskan, PJTKI itu memang menempatkan Novitasari binti Sugito (23) ke Riyadh pada 26 Mei 2002. Sesuai dengan kontrak kerja, pada 26 Mei 2004 Novitasari seharusnya sudah kembali ke Tanah Air.

Dalam paspor TKI yang diduga sebagai korban sandera di Irak itu, alamatnya adalah di Desa Arjokuncaran RT 025 RW 007, Kecamatan Sumbermanjing, Malang, Jawa Timur. (REUTERS/SIR/EGI/HAR/ELY/ OSD/ETA/RIE/OKI)