-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 January 2008

Gizi Buruk, Ancaman Hilangnya Satu Generasi

Jumat, 25/1/2008

Naila Putri Mawadah (3 bulan) tergolek di boks kecil di bangsal anak di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, Kamis (24/1). Di kaki kanannya terpasang jarum infus untuk memasukkan cairan makanan ke tubuhnya yang kecil. Kedua kaki dan tangannya terlihat sangat "ramping".

Berat badan Naila memang hanya 3,7 kilogram, naik satu kilogram sejak dibawa ke RSDK 18 hari lalu. Dengan berat badan lahir 2,7 kg, berat badan Naila idealnya 5 kg. Karena berat badannya di bawah rata- rata, ia dikategorikan balita dengan status gizi buruk.
"Sejak lahir badan Naila kecil, minumnya susah. Kalau minum ASI (air susu ibu) atau susu formula sering mutah. Makan juga mutah, bahkan sering mutah lewat hidung. Ketika saya periksakan ke dokter, oleh dokter disarankan dibawa ke Kariadi yang peralatannya lengkap. Katanya anak saya kurang gizi," kata Marfuah (21), ibu Naila.

Warga Kelurahan Candisari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, tersebut hanya bisa berharap anaknya cepat sembuh dan diperbolehkan pulang agar ia dapat ikut membantu suaminya, Juwahir (24), mengerjakan sawah yang mereka sewa. "Sekarang sudah lumayan, oleh dokter Naila sudah boleh disusui," katanya.

Naila hanyalah satu dari ribuan balita dengan status gizi buruk di Jawa Tengah. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, jumlah balita dengan status gizi buruk pada 2007 sebanyak 9.482 balita dari total sekitar 2,6 juta balita di Jateng.

Konsultan gizi anak di RSDK Semarang, dr JC Susanto SpA (K), mengatakan, balita dengan status gizi buruk bisa disebabkan karena faktor makanan, pola asuh, sakit, atau gabungan ketiga faktor itu. "Sakit itu bisa karena akses kesehatan kurang, bisa juga karena faktor lingkungan, sedangkan pola asuh terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat, dalam hal ini orangtua si balita," katanya.
Untuk kasus Naila, ia mengalami gizi buruk karena menderita infeksi paru-paru sehingga tidak dapat optimal menerima makanan yang diberikan kepadanya. Karena asupan gizinya kurang, ia mengalami hambatan pertumbuhan dan berlanjut ke status gizi buruk.

Agar balita tidak sampai mengalami gizi buruk, kata Susanto, pertumbuhannya harus dipantau. Hal ini dilakukan dengan cara ditimbang secara rutin di pos pelayanan terpadu (posyandu) dan diberi asupan gizi yang cukup. Tumbuh kembang anak ini dicatat di kartu menuju sehat (KMS).

"Begitu T atau timbangannya (berat badan) tidak bertambah, harus diperiksa penyebabnya. Jika dua kali T, harus dirujuk ke rumah sakit. Namun, ini tidak jalan. Seharusnya di posyandu terjadi proses DDTKB atau Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita, tetapi yang terjadi Datang Daftar Timbang Kue Bubar," kata Susanto.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar orangtua memerhatikan tumbuh kembang anak sejak anak lahir. Hingga anak usia dua tahun adalah masa emas, di mana perkembangan otak anak terbentuk. Jika masa ini terlewatkan karena anak kekurangan gizi, satu generasi hilang. (yovita arika)