JAKARTA- Rencana Pemerintah Malaysia memulangkan 200 ribu pekerja asing, termasuk tenaga kerja Indonesia (TKI), bukan hal yang mengejutkan. Pernyataan itu lebih mirip gertak sambal. Karena itu, Pemerintah RI dan para pengusaha jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) tidak perlu menyikapi berlebihan.
''Mereka sering mengatakan itu, tapi tidak realistis karena kenyataannya masih butuh, bahkan menggantungkan kepada jasa pekerja asing, termasuk dari TKI,'' kata Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan TKI (Himsataki), Muh Junus Yamani, kepada Suara Merdeka, di Jakarta, Senin.
Dia menanggapi pernyataan Pejabat Kementerian Dalam Negeri Malaysia Raja Azahar Raja Abdul Manap yang menegaskan pemerintahnya segera memulangkan 200 ribu pekerja asing. Saat ini negeri jiran itu mempekerjakan 2,3 juta pekerja asing. Rencananya akan disisakan 1,8 juta - 1,5 juta orang saja.
Tak Terpengaruh
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng melihat kebijakan Malaysia yang akan mengurangi jumlah pekerja asing, tidak akan berimbas pada TKI asal Jateng. Pasalnya, dominasi TKI Jateng yang bekerja di Malaysia lebih pada sektor perkebunan dan konstruksi bangunan.
''Meski ada sebagian yang kerja sebagai operator produksi, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan yang bekerja di perkebunan maupun konstruksi bangunan,'' kata Wakil Kepala Disnakertrans, Surobiyanto.
Meski tidak bisa menyebutkan jumlah TKI yang bekerja pada sektor operator produksi, namun sesuai laporan yang diterima dari 13.856 TKI asal Jateng bisa dipastikan 80% bekerja di sektor nonformal. Rata-rata seperti di sektor migas, perikanan, tenaga kesehatan, konstruksi bangunan dan perkebunan.
''Kami tidak merinci TKI kerja di sektor mana. Tapi yang jelas, kami mengirimkan TKI itu atas dasar permintaan, yang ternyata lebih banyak pada sektor-sektor di nonformal. Kalaupun ada sebagai operator, jumlahnya tidak sebanding dengan yang kerja di nonformal,'' tandas dia.
Dari 13.856 TKI yang ke Malaysia, Disnakertrans Jateng hanya merinci sesuai jenis kelamin. Jumlah TKI laki-laki sebanyak 2.815 orang dan perempuan 11.041 orang. Terkait adanya pemulangan, pemerintah akan berkoordinasi dengan agen-agen PJTKI yang telah memberangkatkan mereka. Prinsip upaya pemulangan itu menjadi tanggung jawab PJTKI. ''Mereka yang menyalurkan, jadi yang tahu ke mana TKI itu disalurkan. Pemerintah hanya memantau perkembangan yang ada,'' katanya.
TKI Ilegal
Junus Yamani menambahkan, Indonesia dan Malaysia juga sama-sama aneh. Selama ini Malaysia menerima TKI ilegal. Sementara Indonesia secara menutup mata sering membiarkan ''turis'' Indonesia ke Malaysia untuk bekerja. ''Mestinya petugas imigrasi tahu mana turis dan mana orang cari kerja,'' ujarnya.
Dia menilai aneh dengan sikap pejabat Malaysia, sebab saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Kuala Lumpur pada 11 Januari tidak ada masalah berarti. Bahkan kedua pemimpin negara sepakat meningkatkan kerja sama. SBY saat itu memesankan agar TKI taat hukum dan minta Malaysia juga bertindak berdasarkan hukum.
Menurut Junus, persoalan TKI tidak akan pernah selesai. Bukan hanya mereka yang bekerja di Asia Pasifik, tetapi juga di Timur Tengah dan negara lain. Kunci utamanya karena tidak ada kekompakan di intansi pemerintah dan stakholder (PJTKI).
Dikatakan, saat ini kebijakan pemerintah (Depnakertrans) dilaksanakan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Namun lembaga baru ini tidak memiliki konsep jelas selain meneruskan apa yang dilakukan Depnakertrans. Padahal semestinya memiliki wewenang lebih dan bisa mandiri. Sementara Deplu yang selama ini menjadi pelindung TKI di luar negeri belum maksimal.
BNP2TKI, lanjutnya, juga seperti kebingungan. Badan itu yang semestinya menjadi wasit namun ikut menjadi pemain karena juga mengirimkan TKI ke Korea. ''Jadi lembaga itu seperti badan-badan pemerintah yang dibentuk sebelumnya. Hanya ideal di kertas, kenyataannya masih sama saja. Perlindungan TKI masih lemah.''
Tidak Terdaftar
Kepala BNP2TKI, Muh Jumhur Hidayat, pernah mengungkapkan jumlah tenaga kerja yang tersangkut perkara di Malaysia mencapai 1,1 juta orang, dan perkara yang tidak terdaftar 800.000 orang.
Angka ini perkiraan karena sebagian orang mengatakan bahwa angka perkara TKI jauh lebih besar lagi seperti kasus gaji tidak dibayar, PHK sepihak, atau TKI yang melarikan diri.
''Kasus gaji tidak dibayar, PHK sepihak atau TKI kabur angkanya besar,'' ujarnya.
Namun, menurutnya, kasus kekerasan atau penyiksaan mencapai 30-40 kasus, dan itu pun baru penyiksaan dan kekerasan tahap awal atau ada indikasi kekerasan. ''Kasus yang sudah pada tahap kekerasan tingkat tinggi seperti yang dialami Nirmala Bonat sangat sedikit,'' kata Jumhur.
Indonesia juga meminta Malaysia serius memberlakukan Mandatory Consuler Notification (MCN) terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia untuk menghindari kasus kekerasan terhadap pekerja.
''Pemberlakuan MCN diharapkan dapat menekan angka kasus kekerasan, sekaligus dapat dengan cepat memberi perlindungan hukum bagi TKI bermasalah,'' katanya.
Dengan MCN, lanjutnya, pihak aparat Malaysia secepatnya memberi informasi kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konjen RI jika ada TKI yang ditangkap atau terkena hukuman.
Junus mengatakan, hasil evaluasi Himsataki program penempatan TKI 2007 mengalami kemunduran. Indikasinya terlihat pada penurunan jumlah penempatan TKI yang hanya 644.190 TKI, atau dibawah target yang dicanangkan oemerintah sendiri, yakni sebanyak 750.000 TKI.
Himsataki mencatat kegagalan tersebut di antaranya karena UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, mulai diberlakukan 2006, yang bertentangan dengan undang-undang yang lain seperti UU WNI/BHI dan undang-undang asuransi.
Berdasarkan kondisi tersebut, Junus menilai, pada tahun 2008 ini perlu dilakukan sejumlah pembenahan. Dia berharap ada perubahan UU 39 tahun 2004 agar tidak bertentangan dengan UU lainnya. ''Hak inisiatif harus muncul dari pemerintah dalam hal ini Depnakertrans dengan mengikutsertakan asosiasi PPTKIS agar tidak menjadi kontroversi.'' (wa,H37, H7-60,49)