-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 January 2008

Peringkat kesiapan anak Indonesia terendah

Kompas, Rabu, 23 januari 2008
Riset dan Kebijakan Pendidikan

Elin Driana

Hasil The Programme for International Student Assessment atau PISA, yang menilai kesiapan siswa berusia lima belas tahun untuk mengaplikasikan pengetahuan dan life skills yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, menempatkan capaian siswa Indonesia di lapisan bawah di semua bidang studi (membaca, matematika, dan sains).

Tidak sekadar memberi peringkat, penyelenggaraan PISA sebenarnya ditujukan untuk memberi informasi berharga bagi para pengambil kebijakan pendidikan di berbagai negara guna menentukan langkah strategis yang tepat bagi pemenuhan hak anak akan pendidikan bermutu.

Faktor sosial ekonomi

Salah satu penelitian penting yang memanfaatkan kekayaan data PISA dilakukan J Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute for Statistics. Selain menggunakan data PISA tahun 2000 dan 2002 dengan memfokuskan pada kemampuan membaca, Willms juga menggunakan data tahun 2001 dari The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang bertujuan menilai kemampuan membaca siswa kelas IV SD. Willms menelaah kontribusi faktor sosial ekonomi—baik kondisi sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara—terhadap kemampuan membaca. Ia menggunakan salah satu metode statistik paling mutakhir saat ini, Hierarchical Linear Modeling (HLM), yang amat tepat digunakan pada data bertingkat (multi-level data).

Dengan HLM, kontribusi kondisi sosial ekonomi sekolah maupun negara terhadap prestasi belajar siswa, di luar kondisi sosial ekonomi siswa, dapat dijelaskan. Kondisi sosial ekonomi siswa, antara lain, meliputi tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, struktur keluarga, dan ketersediaan fasilitas pendidikan di rumah, termasuk buku-buku dan komputer. Kondisi sosial ekonomi sekolah diukur oleh kualitas infrastruktur sekolah, seperti ketersediaan alat-alat penunjang proses pembelajaran, kondisi gedung sekolah, kualifikasi guru, ketersediaan komputer, dan perangkat lunak penunjang proses pembelajaran, rasio guru dan murid, waktu yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca, disiplin, dan rasa aman di sekolah, serta dukungan orangtua terhadap sekolah.

Hasil penelitian itu menegaskan kembali fakta, faktor sosial ekonomi amat dominan dalam menentukan keberhasilan siswa, meski bukan satu-satunya. Secara umum, kemampuan membaca siswa di negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang berpendapatan tinggi lebih baik ketimbang di negara-negara non-OECD, yang mayoritas berpendapatan rendah, kecuali Singapura dan Hongkong. Ditunjukkan pula, kesenjangan prestasi siswa di negara-negara non-OECD lebih lebar ketimbang di negara-negara OECD. Bahkan, prestasi siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah masih tertinggal dibanding siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi yang tinggal di negara-negara makmur.

Kondisi sosial ekonomi sekolah juga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam membaca, di luar kontribusi faktor sosial ekonomi siswa. Secara umum, siswa akan memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi bila sekolah mereka memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik. Sebaliknya, mereka cenderung berprestasi lebih rendah dari yang semestinya, bila sekolah memiliki kondisi sosial ekonomi lebih lemah. Dalam hal ini, kelompok yang paling dirugikan adalah siswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang belajar di sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Orangtua mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi memadai untuk mengompensasi rendahnya mutu pendidikan yang diterima anak-anak mereka di sekolah.

Kebijakan yang tepat

Dengan melihat lebih teliti data PISA dan PIRLS, pendapat berdasar pengetahuan umum (common sense) bahwa status sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara yang bersangkutan merupakan salah satu faktor dominan dalam menentukan prestasi siswa mendapat bukti empiris yang kian kokoh. Kemampuan negara maupun sekolah dalam memberi peluang bagi siswa dari kelompok yang lemah secara sosial ekonomi untuk mendapat akses pendidikan berkualitas, merupakan kunci penting untuk meningkatkan prestasi siswa di suatu negara secara keseluruhan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan.

Dalam konteks ini, kebijakan UN dan menaikkan standar kelulusan semata-mata, tidak efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski sedikit banyak dapat memacu motivasi belajar siswa. Kebijakan itu tidak mengarah pada dua faktor penting yang berhubungan erat dengan kualitas pendidikan, yaitu kualitas sekolah dan kemiskinan.

Untuk peningkatan kualitas sekolah, pemenuhan amanat konstitusi agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, tidak dapat ditawar lagi. Status sosial ekonomi sekolah, seperti ditunjukkan dalam analisis lebih saksama terhadap PISA dan PIRLS, berperanan penting meningkatkan prestasi siswa.

Kualitas hasil pendidikan juga ditentukan kondisi sosial ekonomi siswa. Karena itu, memerangi kemiskinan menjadi faktor penting. Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeras untuk berpatokan pada angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS (16,6 persen) ketimbang angka kemiskinan dari Bank Dunia yang lebih spektakuler (42,6 persen), pemerintah hendaknya berani menilai apakah dengan standar BPS itu sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari di tengah kian tingginya biaya hidup. Bukti-bukti empiris penelitian kualitas pendidikan menegaskan, pemerintah tak dapat berkelit dari tanggung jawab untuk memerangi kemiskinan. Jangan biarkan lemahnya kondisi sosial ekonomi menjadi penghalang anak Indonesia mewujudkan potensi maksimal mereka.

Elin Driana Koordinator Lembaga Konsultasi Pendidikan Lazuardi Global Islamic School, Wakil Koordinator Education Forum