[JAKARTA] Sejumlah anggota asosiasi perusahaan penempatan tenaga kerja
menentang kebijakan Kepala Badan Nasional Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI), yang mengharuskan pengelola pusat kesehatan
(medical center/MC) memungut biaya pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
Indonesia (TKI) melebihi batas kebutuhan. Tarifnya ditetapkan oleh
BPN2TKI, yang mengontrolnya secara langsung melalui sistem komputer
tenaga kerja luar negeri (Sitkom-TKLN).
"Langkah itu tidak berguna, karena tidak berpengaruh meningkatkan
kualitas pelayanan uji kesehatan para calon TKI," kata Ketua Himpunan
Pengusaha Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki), Yunus, di Jakarta, Jumat
(22/2).
Menurut ketentuan ini, Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS) wajib membayar tarif pemeriksaan calon TKI minimal Rp
300.000/TKI. Biaya itu ditransfer ke satu rekening tertentu, sesuai
dengan yang ditetapkan oleh asosiasi MC.
"Namun, hanya Rp 175.000 yang diberikan kepada MC yang menangani uji
kesehatan calon TKI, sementara Rp 75.000 diserahkan ke MC setelah enam
bulan mengendap di rekening asosiasi. Anehnya, Rp 50.000 sisanya,
tidak jelas penggunaannya," katanya.
Asosiasi MC yang mengumpulkan biaya uji kesehatan itu, ternyata tidak
bisa menjelaskan rencana penggunaan dana Rp 50.000 itu. "Tidak jelas
mau disetor kepada siapa,'' ujarnya.
Lebih lanjut, Yunus mengemukakan, sebenarnya lima sampai delapan MC
menolak kebijakan Kepala BNP2TKI. Namun, bagi yang menolak, dikenai
sanksi administratif. "Calon TKI yang diperiksa kesehatannya, tidak
boleh diberangkatkan bekerja di luar negeri. Ini sangat merugikan
PPTKIS dan Calon TKI,'' katanya.
Sebelumnya, Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat mengemukakan, berdasarkan
surat dari Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan, Nomor PL.04/V/1153/07 tentang Tindak Lanjut Standar
Pemeriksaan, Standar Pembiayaan Pemeriksaan Kesehatan Calon TKI dan
Sarana Kesehatan, ditetapkan pola tarif terendah dan tertinggi. Untuk
penempatan calon TKI ke negara-negara di Timur Tengah, ditetapkan 13
item pemeriksaan dengan biaya terendah Rp 300.000 dan tertinggi Rp
600.000. [L-7]
Last modified: 23/2/08