Liputan6.com, Jakarta: Masih terekam kuat dalam ingatan peristiwa penggusuran di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, 10 Februari silam. Ketika itu petugas Satuan Polisi Pamong Praja berhadapan dengan warga dan juga pemilik kios keramik di kawasan tersebut. Situasi emosional itu bahkan membuat petugas Satpol PP baku hantam dengan polisi. Peristiwa ini berakhir tragis. Kios-kios keramik itu ludes dimusnahkan api, justru saat para pedagang berupaya mempertahankan kios mereka [baca: Rawasari Membara].
Penggusuran tak membuat para pedagang keramik patah arang. Mereka pindah ke kolong jembatan layang di Jalan Ahmad Yani, Pulogadung, Jakarta Timur. Tempat ini memang tak jauh dari lokasi semula. Namun lagi-lagi mereka terganjal aparat Satpol PP. Bahkan, kemarahan para pedagang keramik itu tak digubris aparat. Inilah yang makin membakar emosi pedagang keramik. Kekesalan itu pun ditumpahkan, tapi petugas ketertiban tak terpancing emosinya. Maka, pada hari itu kekerasan tak terjadi.
Hanya berselang sehari, para pedagang nekat kembali berjualan di sekitar lokasi yang digusur dan juga di bawah jembatan layang di kawasan Rawasari. Puluhan petugas bersiaga. Transaksi antara pembeli dan pedagang keramik dilakukan di bawah tatapan puluhan aparat. Dan kesabaran anggota Satpol PP mulai habis. Mereka pun membongkar paksa lapak darurat pedagang. Keributan pun tak terhindarkan.
Upaya mencari jalan tengah atas perselisihan antara anggota Satpol PP dan para pedagang keramik rupanya tak terwujud dengan mudah. Entah siapa yang memulai, namun suasana kembali memanas. Dan dua kelompok warga tiba-tiba terlibat tawuran meskipun sudah berupaya dilerai. Tak jelas akar persoalannya, tapi perselisihan ini kembali berlanjut. Pedagang menduga ada provokator yang memicu bentrokan ini.
Sungguh ironis, memang. Hanya sembilan hari sejak digusur dari tempat semula di Rawasari, para pedagang keramik kembali harus menelan pil pahit. Karena upaya mereka berjualan kembali di sekitar lokasi penggusuran harus menanggung risiko melawan aparat Dinas Ketenteraman dan Ketertiban alias trantib.
Kepala Dinas Pertamanan DKI Sarwo Handayani mengatakan, kawasan yang ditempati para pedagang keramik memang sedianya akan ditanami pohon. Ini berkaitan dengan kurangnya ruang hijau di Jakarta. Sementara pihak Kecamatan Pulogadung juga tidak menghendaki keberadaan para pedagang keramik yang berjualan di wilayah mereka tanpa memiliki legalitas. Adapun Pemerintah Kota Jakarta Timur mengakui penertiban tersebut adalah dampak dari digusurnya para pedagang keramik dari kawasan Rawasari.
Mengenai solusi dan ganti rugi yang akan diberikan, pihak Kecamatan Pulogadung maupun Kecamatan Cempaka Putih mempunyai jawaban sendiri. Kendati demikian, para pedagang keramik memang akhirnya mencari solusi sendiri untuk melanjutkan hidup mereka. Hanya s.aja, terusir untuk kesekian kali membuat emosi pada pedagang masih tersisa. Mereka belum dapat menerima kenyataan bahwa tempat mereka berjualan dulu akan dijadikan lahan hijau oleh pemerintah.
Kini para pedagang keramik tersebut menempati kawasan Jalan Pemuda, masih di Kecamatan Pulogadung, Jaktim. Namun entah sampai kapan mereka akan menumpang di tempat itu. Mereka pun menunggu relokasi yang sempat dijanjikan oleh pemerintah meski tak kunjung terlaksana.
Bekas lokasi penggusuran saat ini telah rata. Pohon-pohon pun mulai ditanam di sana. Demi keindahan kota, demi hijaunya Jakarta, sebagian warganya justru harus terusir dan terkatung-katung. Boleh jadi, banyak orang hanya tinggal menunggu. Apakah air mata warga yang sempat menetes di sini akan terbayar?(ANS/Indah Dian Novita dan Theopilus Sandy)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.