TKW Indonesia diperlakukan seperti budak oleh majikannya
Seorang TKW Indonesia yang disiksa oleh majikannya bukanlah berita yang baru. Kali ini, berita semacam itu datang dari Jerman. Pers Jerman menyebutnya, 'Perbudakan Gaya Modern'.
Berita tentang TKW asal Indonesia yang terlantar di negara lain jarang dieksploitasi oleh media karena dianggap sudah merupakan hal yang lumrah. Tidak ada langkah pasti yang kemudian ditempuh untuk menghindari terulangnya kejadian semacam itu. Haruskah keluarga para pembantu rumah tangga dan TKW terus merasa khawatir, bahwa nasib ibu, anak, atau istri mereka akan berakhir di liang kubur? Kasus ini memang terjadi di Jerman, tetapi sang korban adalah warga Indonesia.
Awal Penderitaan
Sebut saja namanya Dewi Hasniati. Atau singkatnya Hasniati. Perempuan kelahiran Flores ini baru berusia 30 tahun. Ia masih muda. Sulit untuk mempercayai kisah yang kemudian mengalir dari mulutnya. Hasniati menjadi janda dalam usia yang sangat muda setelah suaminya meninggal. Kedua anaknya diambil paksa oleh iparnya ketika mereka tahu bahwa ia akan menjadi TKW ke luar negeri.
Semenjak itu hingga sekarang ia tidak pernah lagi bertemu atau bahkan berbicara melalui telepon dengan anak-anaknya. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu, selain tidak bisa bersama dengan anak-anaknya. Tetapi kepedihan Hasniati tidak berhenti disini. Sebelum diberangkatkan ke Timur Tengah, ia sudah mendengar akan beberapa pengalaman buruk para TKW. Namun, perempuan yang hanya tamatan SD ini merasa ia tidak memiliki begitu banyak pilihan.
"Kita kepingin kerja di luar negeri. Banyak orang yang pergi ke luar negeri dari kampung saya. Makanya kita tertarik. Apalagi janda seperti saya tidak punya mata pencaharian sama sekali. Ya terpaksa saya cari nafkah."
Kerja Tanpa Gaji
Kota Kairo di Mesir menjadi tempat pertama Hasniati bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ia bekerja untuk seorang diplomat asal Yaman dan anak laki-lakinya. Impian memperoleh gaji besar yang bisa ia kirim ke Flores untuk mengurangi beban orang tuanya tidak terwujud. Hasniati tidak sekali pun melihat uang gajinya.
Ia bekerja hampir 24 jam sehari. Waktu tidurnya paling lama adalah 2 jam. Ia tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah. Makanan yang ia masak untuk majikan dan anaknya pun tidak boleh ia nikmati. Untuk sarapan ia hanya memperoleh selembar roti dan secangkir teh. Makan malamnya hanya berupa sepiring nasi dengan tomat dan cabai hijau diparut. Berat badan Hasniati menyusut secara cepat. Tidak jarang ia harus dilarikan ke rumah sakit.
"Baru mulai kerja satu Minggu sudah dipukul saya. Apa yang saya kerjakan tidak ada yang benar. Minta telepon saya juga gak dikasih. Pingin kirim surat juga tidak boleh. Saya juga tidak tahu alamat saya di Kairo."
Pindah ke Jerman
Hasniati mengungkapkan rasa tidak betahnya kepada sang majikan dan minta dipulangkan ke Indonesia. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, Hasniati tidak lagi bekerja di Kairo melainkan di ibukota Jerman, Berlin. Majikannya kini bertugas sebagai Atase Kebudayaan Kedutaan Yaman di Jerman.
Kepindahan dari Kairo ke Berlin tidak membawa perubahan yang berarti bagi Hasniati. Pekerjaan bertambah banyak, karena di Berlin majikannya punya dua apartemen yang harus ia urus. Ia baru boleh makan kalau pekerjaannya selesai. Kadang ia baru bisa makan malam pukul 11 atau 12 malam. Keinginan untuk melarikan diri selalu ada.
"Saya sempat mau nekad pas gak dikasih pulang. Saya mau melarikan diri. Tapi saya pikir-pikir saya takut. Andaikata melarikan diri takut saya ditangkap polisi. Saya gak bisa bahasa Inggris, gak bisa bahasa Jerman juga."
Terungkap Karena Masuk Rumah Sakit
Hingga suatu hari, Hasniati jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit di Berlin. Ia menderita TBC. Kondisinya yang sangat mengkhawatirkan membuat para dokter yang merawatnya menghubungi pihak Kedutaan Indonesia di Berlin untuk meminta bantuan dalam menerjemahkan komunikasi dengan Hasniati.
Saat pihak KBRI bermaksud untuk menangani kasus ini secara langsung, Hasniati sudah tidak berada di rumah sakit. Menurut Kepala Konsuler KBRI Sihar Nadeak, sempat terjadi saling curiga antara KBRI dan diplomat Yaman tersebut. Mereka sempat mengira, bahwa Hasniati disembunyikan oleh salah satu pihak.
Ditampung Ban Ying
Hingga akhirnya, pihak KBRI diberitahu bahwa Ban Ying organisasi yang berurusan dengan perdagangan manusia di Berlin lah yang menampung Hasniati. Nivedita Prasad, perwakilan Ban Ying, mengisahkan pertemuan pertamanya dengan Hasniati.
"Saya belum pernah melihat seseorang dalam kondisi fisik yang sedemikian buruk. Ia sangat kurus. Usianya baru 30 tahun, tetapi kalau dia bilang umurnya 50 tahun, saya akan mempercayainya. Penyakit yang dideritanya juga membuat keadaannya semakin parah. Kami juga bisa melihat bahwa selama ini ia hidup dalam pengucilan. Selain diplomat dan anak laki-lakinya ia tidak pernah berhubungan dengan orang lain."
Hasniati berpegang teguh pada keputusannya untuk menetap di rumah penampungan bagi perempuan milik Ban Ying. Disana ia diberikan tempat tinggal, pakaian, makanan, konsultasi fisik dan psikis serta kesempatan untuk mempelajari Bahasa Jerman.
"Saya tidak mau kembali sama majikan saya. Andaikata saya balik, tetap saya mati. Soalnya badan saya lemas. Tidak bisa kerja saya. "
Upaya Ganti Rugi
Hasniati berada di rumah penampungan tersebut semenjak Mei tahun lalu. Selama berada disana pula, Ban Ying memperjuangkan hak yang sudah seharusnya menjadi milik Hasniati. Gaji yang tidak pernah diterimanya selama bekerja bagi diplomat Yaman tersebut dituntut oleh Ban Ying melalui jalur resmi.
Masalah terbesar adalah status diplomat tersebut di Jerman yang memiliki kekebalan terhadap hukum. Ia tidak bisa begitu saja dilaporkan ke kepolisian atas perbuatannya. Masalah ini seperti menjadi konflik antar pemerintahan Jerman dan Kedutaan Yaman. Departemen Luar Negeri Jerman kemudian memanggil diplomat tersebut.
Usai pemanggilan tersebut, kedutaan Yaman dengan cepat mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalahnya dan membayarkan gaji Hasniati sebesar 23 ribu Euro atau sekitar 313 juta Rupiah. Jumlah yang terkesan banyak ini, sebenarnya hanyalah gaji Hasniati selama berada di Jerman. Gajinya selama berada di Kairo tidak dibayarkan. Berikut keterangan staf Kedutaan Yaman di Jerman Felicitas El Dick.
"Pihak Kedutaan Yaman bertemu dengan pengacara pihak Hasniati dan kami cukup cepat mencapai kesepakatan yang bagi kami merupakan penyelesaian masalah."
Kemungkinan Pekerjakan Pembantu Lagi
Apakah diplomat yang bersangkutan kemudian akan dipindahkan lokasi dinas kerjanya dari Jerman atau tidak, hingga saat wawancara dengan El Dick berlangsung, belum ada keputusan yang diambil. Departemen Luar Negeri Jerman sendiri berusaha terkesan diplomatis saat ditanyakan mengenai kemungkinan bagi diplomat Yaman tersebut untuk kembali mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga jika ia tetap menetap di Jerman.
Juru bicara mereka mengatakan, setiap diplomat yang ingin memiliki pembantu rumah tangga harus mengajukan permohonan terlebih dahulu ke Departemen Luar Negeri Jerman. Hingga kini belum ada permohonan yang diajukan diplomat tersebut. Namun, kalau ada permohonan darinya yang masuk, mereka akan memeriksanya secara sangat teliti.
Peraturan Memperkerjakan Pembantu
Kasus Hasniati bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Jerman. Menurut Ban Ying, semenjak 2002 sudah ada 20 kasus serupa. Namun, Hasniati memang kasus yang paling parah. Nivedita Prasad dari Ban Ying berharap tidak ada kasus serupa yang akan terjadi lagi. Untuk itu mereka bermaksud untuk memperketat peraturan bagi diplomat asing yang membawa pembantu rumah tangga mereka ke Jerman.
"Di Belgia misalnya, para pembantu rumah tangga harus mengajukan ijin tinggal mereka sendiri ke Departemen Luar Negeri. Setahun sekali mereka juga harus melapor. Menurut saya ini adalah solusi yang baik. Karena jika mereka melihat keadaan Hasniati, maka ia tidak akan dibolehkan kembali bekerja. Tetapi karena peraturan ini tidak ada di Berlin, tidak ada peluang bagi Hasniati."
Akan Tetap Tinggal di Jerman
Hasniati sendiri kini memperoleh ijin tinggal di Jerman dari Komisi Kasus Luar Biasa berdasarkan alasan kemanusiaan. Dengan status ini, Hasniati bisa memulai segalanya dari awal. Ia bisa menata kehidupannya kembali. Bersekolah, bekerja, dan dengan uang yang ia miliki sekarang ia bisa membantu orang tuanya di Flores dan bahkan berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan anak-anaknya.
Hasniati tidak ingin kembali menetap di Indonesia. Baginya, seburuk apa pun pekerjaan yang nantinya ia peroleh di Jerman, gaji yang ia peroleh akan lebih baik dari pada di tanah air. Lagi pula, Hasniati kini tengah rajin-rajinnya mengasah kemampuannya berbahasa Jerman.
"Ich heiße Hasniati. Ich komme aus Indonesien."
Ia sudah bisa tertawa kembali. Dan ini adalah hal yang terpenting untuk saat ini. Satu langkah telah di jejakkan oleh Hasniati untuk memulai lembaran baru yang penuh harapan.