Opini: Edy Santoni
PROF. M.Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas Kairo menyatakan abad ke-20 adalah ‘’The golden age for nutrition (abad emas pergizian dunia). Pendapat ini berdasarkan temuan-temuan mutakhir di bidang gizi yang telah dipublikasikan dan didokumentasikan dalam berbagai media dan jurnal ilmiah. Cerita sukses abad ke-20 ternyata menjadi sisi gelap pada abad ke-21 yang ditandai dengan ‘’Bom Gizi Buruk,’’ ledakan tersebut terjadinya pada saat krisis ekonomi tahun 1999.
Melalui tulisan ini akan diuraikan mengapa kasus gizi buruk menjadi perbincangan dan fokus utama di media massa? Benarkah gizi buruk akan melahirkan ‘’The lost generation’’ atau generasi yang hilang? Apakah masalah ini hanya dibesar-besarkan saja? Mengapa hanya sektor kesehatan yang dipermasalahkan? Dan bagaimana upaya penanggulangan gizi buruk?
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan pertambahan berat badanya setiap bulan. Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut standar WHO NCHS, dia bergizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang dan yang bersifat kronis jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Dunia pers suka pakai istilah ‘’Busung lapar’’ meskipun anak yang gizi buruk belum tentu kelaparan.
Menurut guru besar Ilmu Gizi IPB, Prof. Soekiman, gizi buruk atau dikenal dengan kurang energi dan protein (KEP) berat, semula berasal dari ditemukannya kwashiokor oleh Cicely William di Afrika tahun 1932. Istilah KEP diperkenalkan Jellife tahun 1959 dan di Indonesia penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh Oomen di bagian Anak RSCM tahun 1953.
Tanda-tanda gizi buruk itu antara lain
anak sangat kurus, wajah seperti orang tua atau bulat dan sembab, cengeng dan rewel, tidak beraksi terhadap rangsangan , rambut tipis, jarang, kusam, warna rambut jagung dan bila dicabut tidak sakit, kulit keriput, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput, perut cekung atau buncit, bengkak pada punggung kaki yang berisi cairan (edema) dan bila ditekan lama kembali.
Kasus gizi buruk lebih menarik perhatian media massa dibandingkan dengan kasus gizi kurang karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak; sakit, amat kurus, badan tinggal tulang berbungkus kulit, bengkak, lemah, rewel, mudah mengeluh dan selalu menangis yang akhirnya menjadi beban orangtua. Bila anak balita penderita gizi buruk tidak segera ditangani, amat berisiko mengalami kematian, sehingga dapat meningkat angka kematian.
Meskipun tidak menarik perhatian, akan tetapi kasus gizi kurang kandidat menjadi gizi buruk apabila tidak dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin. Anak balita yang menderita gizi kurang berisiko sebesar 8,1 kali untuk menderita gizi buruk dan balita gizi buruk berisiko 8,4 kali mengalami kematian (Hadi, 2004).
Dalam rangka aksi penanggulangan gizi buruk 2005-2009 (Depkes RI, 2005) memberi batasan yang jelas antara gizi buruk dengan busung lapar, walaupun tanda-tanda klinis dari busung lapar hampir sama dengan kasus gizi buruk. Gizi buruk terjadi pada anak balita yang penyebabnya secara langsung karena asupan zat gizi yang kurang dan penyakit infeksi dan secara tak langsung faktor pengasuhan anak, ketersediaan pangan, sanitasi lingkungan yang kurang sehat.
Sedangkan sebagian akar masalah adalah kemiskinan. Sedangkan busung lapar adalah keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu tertentu dalam suatu wilayah dan terjadi pada semua kelompok umur.
Sejak tahun 1998, angka prevalensi gizi buruk secara nasional mengalami stagnasi, belum ada penurunan prevalensi berarti. Data tahun 2003 menunjukkan prevalensi gizi buruk sebesar 8,55%, tahun 2004 sebesar 7,20%dan tahun 2005 sebesar 6,20%. Berdasarkan data BPS (2003), dari 5 juta anak balita (27,5%) kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). Pada tahun 2007 tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu sebanyak 377 jumlah kasus gizi buruk yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.
Dari kasus tersebut, upaya yang telah dilakukan adalah pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan yang diberikan selama 120 hari dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan status gizinya. Selain diberikan PMT pemulihan kepada balita gizi buruk juga diberikan paket pengobatan dan pemberian multivitamin serta dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis anak (DSA).
Para pakar kesehatan mengatakan kasus gizi buruk berpengaruh sangat besar terhadap kualitas sumber daya generasi mendatang karena dapat menyebabkan berat otak, jumlah sel, ukuran besar sel dan zat-zat biokimia lebih rendah dari anak yang normal. Perkembangan otak terhambat, bersifat permanen tak terpulihkan.
Gani (2000) mengemukakan jika kasus gizi buruk tidak ditangani secara serius, pada dekade mendatang kita akan kehilangan sejumlah besar generasi muda yang berkualitas (lost generation) sebagai asset pembangunan.
Berbagai fakta ilmiah menunjukkan mengapa gizi buruk harus dicegah. Seperti hasil temuan dari beberapa penelitian nasional dan internasional diantaranya; temuan Prof. Barker, bahwa ada hubungan antara bayi berat lahir rendah (BBLR) dan gizi kurang pada masa bayi dengan risiko terkena penyakit infeksi pada usia dewasa. Penelitian Arnelia (1998) di Klinik Gizi Bogor, menunjukkan anak yang sewaktu balita menderita gizi buruk setelah SD pertumbuhan dan perkembangan motorik lebih rendah. Bahkan banyak yang putus sekolah dan sering tidak naik kelas karena IQ pointnya 13,7 kali lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak menderita gizi buruk di usia balita. Rendahnya IQ identik dengan rendahnya tingkat kecerdasan seseorang.
Masalah gizi buruk memiliki dimensi luas. Tidak hanya merupakan masalah kesehatan, tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan akar masalah ini dapat berbeda antar kelompok usia balita. Oleh karena dampak akhirnya pada masalah kesehatan, sehingga yang kena getahnya Departemen Kesehatan dan jajarannya.
Padahal pencetus awal bukan semata-mata faktor kesehatan. Sebagai contoh, banyaknya kasus gizi buruk yang dilaporkan dari berbagai kabupaten, sekali lagi yang dianggap bertanggung jawab adalah sektor kesehatan. Hal ini disebabkan kurang dipahaminya kompleksitas faktor penyebab terjadinya masalah gizi. Di lain pihak masalah gizi baru dianggap penting apabila keadaannya sudah memburuk dari segi jumlah maupun tingkat keparahan.
Oleh sebab itu, masalah gizi buruk pada anak balita bukan hanya tanggung jawab Departemen Kesehatan semata, tetapi juga tanggung jawab banyak Departemen, bahkan tanggung jawab kita semua.
Upaya Antisipasi di Bengkulu
Masalah gizi buruk merupakan masalah yang kompleks karena penyebabnya multi faktor dan multi dimensi. Penanganannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Meliputi penyembuhan dan pemulihan anak-anak yang sudah menjadi gizi buruk dan pencegahan serta peningkatan untuk mempertahankan anak yang sehat tetap sehat.
Penanganan kasus gizi buruk yang dilakukan berupa intervensi gizi dan kesehatan sebagai penyelamatan dalam keadaan darurat. Kegiatan ini ditujukan untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan status gizi penderita dengan memberikan perawatan di rumah sakit dan penangan di rumah tangga pascaperawatan. Penanganan gizi buruk dilakukan secara komprehensif dengan pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT pemulihan) selama 120 hari (4 bulan).
Upaya antisipasi dan pencegahan gizi buruk di Provinsi Bengkulu dilakukan dalam bentuk pelayanan masyarakat, yaitu promosi kesehatan (promotif) dan pencegahan (preventif) timbulnya gizi buruk di masyarakat.
Sedangkan pelayanan perorangan dalam rangka penyembuhan dan pemulihan anak balita dan gizi buruk menjadi gizi baik upaya tersebut dilakukan melalui upaya promosi dan pencegahan dilakukan dalam rangka pencegahan dini agar bayi dan anak balita terhindar dari gizi kurang dan gizi buruk melalui promosi keluarga sadar gizi, revitalisasi posyandu.
Revitalisasi posyandu bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja posyandu dalam pemantauan pertumbuhan balita dari waktu ke waktu sehingga bayi dan anak balita terdeteksi secara dini keadaan kesehatan dan status gizi. Revitalisasi dilakukan melalui penyediaan sarana dan prasarana posyandu, peningkatan kemampuan kader, peningkatan dukungan operasional kader dan peningkatan dukungan peran serta masyarakat.
Selain itu melalui pemberdayaan keluarga yang bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga terhadap potensi ekonomi melalui kegiatan padat karya, pemberdayaan bidang pendidikan dengan mengembangkan kurikulum gizi di sekolah dan peningkatan status gizi anak sekolah melalui kegiatan usaha kesehatan sekolah (UKS), pemberdayaan gizi keluarga melalui gerakan sadar pangan dan gizi dengan memanfaatkan pekarangan tanaman bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga, terutama keluarga yang anaknya menderita gizi kurang dari keluarga miskin.
Melalui revitalisasi system kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) yang bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah daerah melakukan pemantauan terus- menerus terhadap situasi pangan dan keadaan gizi masyarakat untuk melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk menghindari kelaparan dan kekurangan gizi, khususnya gizi buruk pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Revitalisasi SKPG dengan melibatkan peran lintas sektor yaitu Bappeda, pertanian, BKKBN, statistik dalam rangka intervensi dini bila terjadi kerawanan pangan pada suatu daerah.
Peningkatan peran lintas sektor.
Meningkatkan komitmen para penentu kebijakan, legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media massa agar peduli dan bertindak nyata dalam penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk anak balita serta meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk.
Sedangkan upaya penyembuhan dan rehabilitasi penderita gizi buruk menjadi gizi baik melalui perawatan dan pengobatan gratis di RSU, RSUD dan puskesmas balita gizi buruk dari keluarga miskin.
Pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT) anak balita gizi buruk dari keluarga miskin dan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi 6-12 bulan dan balita 12-24 bulan gizi kurang dari keluarga miskin. Pemberian suplementasi gizi (Multivitamin, kapsul vitamin A, tablet dan sirup besi).
Atas permasalahan gizi buruk di Provinsi Bengkulu itu, maka perlu peningkatan anggaran perbaikan gizi masyarakat di provinsi, kabupaten/kota khususnya penanganan gizi buruk melalui upaya pencegahan (promotif dan preventif) dan penyembuhan serta pemulihan penderita gizi buruk. Sehingga setiap kasus yang ditemukan mendapatkan perawatan kesehatan dan makanan tambahan pemulihan selama 120 hari.
Perlu peningkatan dukungan sarana dan prasarana, operasional dan pembinaan kader posyandu dalam rangka mengaktifkan kembali peran posyandu sebagai pusat pemantauan pertumbuhan dan kesehatan balita secara dini. Perlu dukungan dan koordinasi lintas sektor dalam penanggulangan gizi buruk karena penyebabnya bersifat multi sektor dengan keterlibatan pemerintah dan nonpemerintah secara berjenjang dari provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Meningkatkan pemantauan kerawanan pangan dan gizi di wilayahnya dan melakukan penjaringan (surveillance) gizi buruk pada tingkat desa dan kecamatan dan kabupaten. Mengaktifkan kembali peran tim pangan dan gizi (SKPG) dalam pemantauan dan peramalan situasi pangan dan gizi dalam rangka antisipasi terjadinya kerawanan pangan suatu daerah.
Melakukan upaya terpadu peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam menyediakan makanan pendamping ASI (MP-ASI) berbahan makanan produk lokal, melalui pola pemberdayaan masyarakat di bidang gizi dan kesehatan reproduksi yang diberikan pada remaja puteri di sekolah pada saat SMP dan SMA sebagai calon ibu. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang merupakan indikator kesejahteraan suatu Negara.
* Penulis adalah Kepala Seksi Kesga dan Gizi Dinkes Provinsi Bengkulu alumni pascasarjana S2 IKM-UGM (KAGAMA)