JAKARTA – Kota Jakarta belum menjadi tempat ideal bagi sebagian warganya untuk menjalani kehidupan. Bayangkan, untuk dapat menafkahi diri dan keluarga, para kaum marginal seperti pedagang kaki lima (PKL) harus mengganggu kenyamanan warga lainnya dan kucing-kucingan dengan aparat Tramtib. Tragisnya, kondisi ini berlangsung sejak dulu. Jumat (1/8) pagi, trotoar Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat tampak sepi dari pedagang kaki lima yang biasa "mangkal" di sana. Gerobak, tenda, dan etalase pedagang kaki lima (PKL) yang biasa meramaikan trotoar jalan sepanjang depan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia digantikan barisan mobil operasional Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). PKL tersebut rupanya baru saja ditertibkan. Saat SH menyambangi tempat yang sama, Jumat siang, suasana tempat tersebut sudah seperti hari-hari biasanya. PKL mulai memenuhi prasarana kota yang dikhususkan bagi pejalan kaki tersebut. Gerobak minuman dan makanan, etalase penjual pulsa telepon seluler tampak meramaikan trotoar itu. Seorang pedagang es cendol durian mengaku mulai menggelar dagangannya di sana sejak pukul sebelas pagi. "Waktu matahari sudah mulai tinggi. Waktu cuaca mulai panas, jadi orang-orang mulai kegerahan terus beli dagangan saya deh," kisahnya. Ekonomi lagi-lagi tampaknya menjadi alasan mutlak bagi mereka yang nasibnya terbengkalai oleh pihak penguasa dan pemilik modal di metropolitan. Pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, ini mengaku tidak memiliki banyak pilihan untuk dapat terus menyambung hidupnya di Jakarta. "Mau bagaimana lagi, saya kan perlu makan juga," ucapnya lirih. Dengan ijazah SMP yang dimilikinya, pria ini mengaku tidak dapat mencari pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya dan keluarganya di kantoran. Modal yang dimilikinya juga belum cukup banyak untuk membuka warung atau toko yang layak dijadikan tempat usaha. Lelaki ini bukannya tidak sadar apa yang dikerjakannya itu telah merebut hak pejalan kaki untuk dapat berjalan nyaman di trotoar tersebut. "Tapi kalau tidak di sini harus jualan di mana?" tuturnya. Lagi pula, lanjutnya, usahanya tersebut memudahkan orang-orang yang beraktivitas dan melintas di sekitar jalan tersebut untuk mendapatkan minuman di tengah kesibukannya. "Kalau haus tinggal datang ke sini, tidak usah susah-susah cari warung atau restoran," lanjutnya. Ketidaknyamanan pejalan kaki akibat aktivitas perdagangan di trotoar juga SH rasakan di depan ruko-ruko Jalan Jatinegara, Jakarta Timur. Pedagang buku bekas, makanan, penukar koin kuno bertebaran menyita ruang publik bagi pejalan kaki ini. Para pejalan kaki tampak kesulitan saat harus melintas di jalan ini. Sesekali pejalan kaki harus membelokkan langkahnya, berjalan di tepi jalan raya karena kesulitan melintas di trotoar jalan.
Demi Hidup Adalah Dadang (34), pedagang sate padang yang menggelar dagangannya di pinggir jalan, di bawah trotoar. Ayah satu anak ini setiap hari menggelar dagangannya mulai pukul empat sore. "Sampai satenya habis," lanjutnya. Dalam sehari ia mengumpulkan rupiah sekitar Rp 400.000 dari usahanya berdagang sate padang. "Dipakai untuk modal jualan besok lagi," imbuhnya.
Untuk dapat mencari nafkah di sana, Dadang harus bermain kucing-kucingan dengan petugas Tramtib. Saat SH mendatangi gerobak dagangannya, mobil Satpol PP masih tampak di jarak 100 meter dari tempatnya melayani pembeli. "Kalau sudah di bawah (sisi timur) sudah aman," katanya.
Ia berkisah penertiban yang dilakukan petugas Satpol PP dilakukan hampir setiap hari. Meski demikian, setiap hari pula ia berjualan di tepi jalan itu. Yang paling ditakutkan Dadang bukanlah penertib-penertib yang turun ke jalan, melainkan komandan penertiban. "Kalau pimpinannya sudah pulang, sudah bisa jualan lagi," tambahnya.
Sama dengan alasan pedagang es cendol durian di Jalan Salemba, Dadang mengaku terpaksa berjualan di trotoar karena tidak ada tempat baginya untuk dapat bekerja demi menyambung hidup. "Kalau memang tidak boleh jualan di sini, seharusnya kita dikasih tempat untuk jualan yang layak," katanya. Dadang tampak tidak terima kalau aktivitasnya di tempat berjalan kaki itu dikatakan mengganggu pejalan kaki.
"Kalau memang mengganggu dipindahkan ke tempat yang layak dong. Lagian mereka (pejalan kaki) malah senang makan di sini kok," imbuhnya.
Ibu Kota sepertinya memang belum menjadi hunian yang menyenangkan bagi banyak orang, terutama mereka yang termarginalkan. (cr-1)
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/05/jab08.html |