Oleh Wahyu Susilo
SEJAK 1 Maret 2005 Pemerintah Malaysia secara resmi memulai langkah koersif dalam penegakan Akta Imigresen 1154A Tahun 2002 untuk mengusir ratusan ribu buruh migran tak berdokumen yang masih ada di Malaysia.
Langkah koersif ini diimplementasikan dalam Ops Tegas dengan tahapan operasi pemeriksaan (razia), penangkapan, dan penahanan untuk mereka yang terbukti tidak memiliki kelengkapan dokumen.
Menurut catatan Kedutaan Besar RI (KBRI) Kuala Lumpur, dari sekitar 1,1 juta buruh migran Indonesia tak berdokumen, sekitar 385.000 yang telah pulang memanfaatkan masa amnesti. Artinya, mereka yang kini menjadi "warga buron" sekitar 750.000 orang Indonesia yang menjadi buron RELA (ujung tombak Ops Tegas). Kenyataan ini menunjukkan, masih banyak buruh migran Indonesia bersikap bertahan di Malaysia karena problem upah yang belum dibayarkan. Bahkan, mereka berani "pasang badan" untuk ditangkap RELA dengan tetap berdiam di kongsi-kongsi. Hingga hari ketiga Ops Tegas berlangsung Pemerintah Malaysia mengidentifikasi sekitar 200 point akumulasi buruh migran tak berdokumen, mayoritas area adalah kampung- kampung orang Indonesia.
SEKADAR menengok ke belakang (sebulan lalu) dan membandingkan dengan kenyataan yang terjadi, pendekatan bilateral (Indonesia-Malaysia) untuk penyelesaian buruh migran mendekati titik "antiklimaks". Sebulan lalu ada sedikit optimisme saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan "ada persoalan serius buruh migran Indonesia di Malaysia, yaitu upah yang belum dibayar dan majikan yang tak pernah mendapat sanksi hukum" (Kompas, 6/2).
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris pun mem-follow-up pernyataan itu dengan mengupayakan legal action untuk penyelesaian masalah buruh migran Indonesia di Damansara Damai yang gajinya belum dibayar. Langkah konkretnya adalah menyewa 10 pengacara ternama di Malaysia. Sikap keras Pemerintah Indonesia ini mendapat reaksi keras dari Pemerintah Malaysia.
Publik Indonesia amat berharap adanya solusi nyata saat pertemuan bilateral 14 Februari 2005, di mana dirancang pertemuan tingkat tinggi antara SBY dan Abdullah Badawi. Ternyata tidak ada hasil signifikan, bahkan meluruhkan harapan adanya tekanan politik kepada Pemerintah Malaysia untuk bersikap tegas dan nondiskriminasi dalam penerapan Akta Imigresen 1154/2002, di mana masih didapati sejumlah perusahaan yang leluasa merekrut buruh migran tak berdokumen, bahkan secara sengaja tidak membayarkan gajinya. Sikap SBY yang "menyerahkan sepenuhnya" kepada Pemerintah Malaysia untuk penyelesaian masalah gaji yang belum dibayarkan majikan kepada buruh migran mementahkan upaya yang sebenarnya telah mampu membongkar kebobrokan sejumlah perusahaan Malaysia yang selama ini terbukti mempekerjakan ribuan buruh migran tak berdokumen.
Tak terselesaikannya masalah ini menyebabkan ratusan ribu buruh migran asal Indonesia tetap bertahan dengan risiko ditangkap, dipenjara, dicambuk, dan dilarang masuk kembali ke Malaysia seumur hidup. Dari situasi ini, kita tidak layak jika menyalahkan sepenuhnya pada buruh migran Indonesia tak berdokumen yang kini masih tetap bertahan.
Masalah lain yang menambah ruwet deportasi massal buruh migran Indonesia dari Malaysia adalah rencana pengiriman kembali para buruh yang ikut program amnesti untuk bekerja secara resmi ke Malaysia. Pemerintah Indonesia berencana mengirim kembali buruh migran deportan ke Malaysia dengan menerapkan sistem pelayanan satu atap untuk memproses pengurusan dokumen. Yang berhak mengikuti program ini adalah buruh migran yang pulang kembali ke Malaysia sebelum 1 Maret 2005. Pemerintah Malaysia pun bersedia memberi kuota 300.000 buruh migran. Diharapkan dengan program satu atap sekitar 300.000 buruh migran dapat dikirim lagi ke Malaysia.
Sepintas program ini menunjukkan "kebaikan hati" Pemerintah Malaysia yang "mau menerima kembali" buruh migran Indonesia. Namun jika dikritisi, program ini menunjukkan ketakutan Pemerintah Malaysia akan kosongnya tenaga kerja upah murah di sektor perkebunan dan konstruksi dalam dua bulan ini. Dikhawatirkan kekosongan akan memengaruhi perekonomian Malaysia.
Dari konstelasi itu, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak serta-merta manut dalam skema pemenuhan kebutuhan tenaga kerja Malaysia. Realitas itu sebenarnya bisa menjadi point crucial untuk political bargain dalam diplomasi ketenagakerjaan. Pemerintah Indonesia mestinya berani mengajukan opsi, pengiriman kembali tenaga kerja ke Malaysia bisa dilakukan jika Malaysia benar memenuhi komitmennya untuk menindak tegas berbagai perusahaan yang selama ini ngemplang gaji dan secara sengaja mempekerjakan buruh migran tak berdokumen.
POIN lain yang juga menyisakan masalah adalah besaran biaya yang harus dikeluarkan buruh migran yang akan ikut program penempatan kembali buruh migran ke Malaysia. Berdasarkan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans RI Nomor 79 Tahun 2005, 7 Februari 2005, biaya yang harus dikeluarkan buruh migran minimal Rp 2.990.000, belum termasuk biaya transportasi dan lain-lain. Jika dicermati, pos terbesar dalam struktur pembiayaan yang ditetapkan adalah untuk jasa perusahaan sebesar Rp 1.500.000. Sisanya untuk pengurusan paspor, medical test, visa kerja, asuransi, dan pos pembiayaan lain yang belum jelas juntrungnya.
Format pembiayaan ini memperlihatkan, yang untung dari program ini adalah perusahaan-perusahaan jasa tenaga kerja yang juga tidak jelas dasar penunjukannya. Menurut para pelaku usaha penempatan tenaga kerja, mereka juga memprotes ketidaktransparan penunjukan PJTKI yang ikut Konsorsium Penempatan Kembali TKI Amnesti (KPA).
Bagi buruh migran, biaya ini juga memberatkan, apalagi mereka yang pulang semasa amnesti adalah buruh migran bermasalah. Sebagian besar di antara mereka juga mengalami masalah gaji yang dikemplang majikan dan perusahaan.
Sebenarnya masih ada peluang untuk memasalahkan buruh migran Indonesia tak berdokumen di Malaysia, terutama untuk memastikan agar dalam Ops Tegas berlangsung tanpa ada pelanggaran HAM.
Beberapa organisasi HAM internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, mengingatkan Pemerintah Malaysia untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses deportasi buruh migran. Kekhawatiran ini didasarkan pada penggunaan milisi RELA sebagai ujung tombak operasi koersif itu. Dalam kerangka ini Pemerintah Indonesia harus menggunakan momentum Sidang Komisi HAM PBB yang akan dimulai pertengahan Maret 2005.
Pemerintah Indonesia dalam forum internasional ini harus berani menggalang kekuatan bersama Filipina, Banglades, Sri Lanka, dan India (sebagai negara-negara asal buruh migran deportan) untuk mengajukan masalah deportasi buruh migran di Malaysia sebagai agenda krusial HAM yang harus diperhatikan Pemerintah Malaysia. Langkah ini akan bersinergi dengan agenda ornop-ornop Indonesia, Asia Pasifik, dan internasional yang juga akan mempersoalkan deportasi buruh migran di Malaysia sebagai aktivitas yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.
Wahyu Susilo Labor Policy Analyst di Migrant CARE (Perhimpunan Indonesia
untuk Buruh Migran Berdaulat)