Oleh Ferry Santoso
Saat diperkenalkan dan diumumkan sebagai Ketua Himpunan Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia di Singapura atau HPLRTIS, Sumarni Markasan naik ke panggung dan melambai-lambaikan tangan. Senyumnya seakan memberikan harapan kepada lebih dari 10.000 pembantu rumah tangga atau PRT di Singapura. Sebuah harapan bahwa PRT dapat menjadi orang yang mandiri dan ”berhasil”.
Ribuan PRT itu berkumpul di depan ”panggung gembira” di Kedutaan Besar RI di Singapura, Minggu (24/8), untuk memperingati Hari Kemerdekaan Ke-63 RI.
”Ini merupakan wadah komunikasi antarteman-teman dan teman-teman dengan para pejabat. Semoga dengan wadah ini, kita semakin maju,” kata Sumarni, PRT asal Kendal, Jawa Tengah, yang bekerja di Singapura, mengakhiri sambutannya.
Penunjukan Sumarni sebagai Ketua HPLRTIS tak lepas dari figurnya yang ingin terus maju dan pantang mundur. Ia mulai bekerja di Singapura sebagai PRT pada 1996. Saat mulai bekerja, ia sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, juga tak memiliki keterampilan, seperti mengoperasikan komputer.
Maka, ketika bekerja pada majikan asal Amerika Serikat tahun 1998, ia mengambil kursus bahasa Inggris selama enam bulan. Lewat kursus dan interaksi dengan majikan, kemampuan bahasa Inggris Sumarni semakin baik.
Pengalaman menjadi PRT di Singapura juga mengubah pola pikir Sumarni. Kemajuan teknologi dan penerapannya di hampir semua lini kehidupan warga Singapura semakin membuka pikirannya.
”Saya melihat, segala sesuatu dilakukan dengan komputer,” kata Sumarni. Ia lalu bertekad harus bisa menggunakan komputer.
”Saya mau menguasai komputer. Saya ingin pandai dan mau belajar. Saya mau sekolah,” kata Sumarni. Dia lalu berupaya mencari majikan yang dapat memberi keleluasaan dan waktu baginya untuk belajar.
Belajar komputer
Saat bekerja dengan majikan asal Swiss pada 2000, ia mendapatkan apa yang diharapkan. Ia belajar komputer di Institut Informatika, Singapura, selama sekitar 1,5 tahun. Belajar komputer dia lanjutkan saat berganti majikan baru yang asal Finlandia.
Belajar komputer di Institut Informatika, Singapura, bukan hal mudah. Instruktur memberi bahan dan materi dalam bahasa Inggris. Materi studi komputer, seperti Power Point, Excel, Microsoft Office, tak mudah diserap jika penguasaan bahasa Inggris lemah.
Tantangan lain yang dihadapi Sumarni adalah suasana belajar di lembaga itu. Para siswa berasal dari berbagai kalangan, mulai dari manajer sampai pelajar, dari sejumlah negara seperti China, Malaysia, India, dan Singapura.
Menyadari profesinya sebagai PRT, ia sempat merasa rendah diri. ”Saya merasa minder. Saya tahu siapa saya dan siapa mereka. Tetapi saya juga tidak mau kalah,” kata Sumarni.
Kemampuan mengendalikan perasaan minder itu membuat dia mampu menyelesaikan program studi komputer. Sukses itu juga tak lepas dari peran kedua majikannya yang asal Swiss dan Finlandia. ”Mereka memberikan keleluasaan dan bantuan pembiayaan untuk belajar asal pekerjaan di rumah tertangani,” kata Sumarni.
Meskipun majikan memberinya keleluasaan, Sumarni mampu mengatur waktu. Ia berpegang pada prinsip, belajar harus dilakukan dan pekerjaan jangan terbengkalai. Ia harus pandai mengatur waktu.
Dengan bekal keterampilan komputer dan bahasa Inggris, Sumarni mendapat tawaran untuk bekerja pada perusahaan swasta di Jakarta. Tawaran itu dia tolak. Alasannya, gaji sebagai karyawan baru di perusahaan itu lebih rendah dibandingkan dengan apa yang telah diperoleh di Singapura.
Gaji Sumarni sekitar 800 dollar Singapura atau sekitar Rp 5 juta. ”Itu belum termasuk bonus yang diberikan majikan,” katanya. Bahkan, oleh majikannya yang asal Finlandia, Sumarni diajak berlibur ke Inggris dan Finlandia.
Orang pandai
Sebagai Ketua HPLRTIS, Sumarni ingin menunjukkan, seorang PRT sekalipun bisa maju, berkembang, dan menjadi mandiri. ”Saran saya kepada teman-teman PRT yang lain, walaupun PRT, tunjukkan dedikasi dan kepandaian,” katanya.
Di samping itu, dalam diri seorang PRT harus tertanam tekad dan keinginan kuat untuk mengembangkan diri terus-menerus dengan berbagai keterampilan.
Sumarni memuji KBRI di Singapura yang memberikan berbagai pelayanan kepada PRT, seperti kursus bahasa Inggris, menjahit, komputer, dan membuat usaha. Dia juga mampu mengelola penghasilan yang diperolehnya selama menjadi PRT.
Dari gaji yang dia kumpulkan selama bekerja di Singapura, pada tahun ke-7 Sumarni mampu membeli lahan untuk kebun senilai Rp 70 juta. Lahan yang dikelola orangtuanya itu ditanami pohon buah-buahan.
Sumarni juga menginvestasikan uang yang dia peroleh untuk membeli rumah. ”Harga rumah saya sekitar Rp 100 juta dan sekarang dikontrakkan,” kata Sumarni yang mendapat uang kontrak Rp 7,2 juta per tahun.
Duta Besar RI di Singapura Wardana mengharapkan ketekunan Sumarni dapat memberi semangat kepada PRT lainnya. Kalau saja apa yang dilakukan Sumarni bisa ditiru PRT lain, mereka pun bisa mengembangkan usaha di kampung halaman sendiri.
Cerita sukses Sumarni setidaknya dapat sedikit mengikis gambaran suram nasib PRT atau TKI yang selama ini bekerja di luar negeri. Sukses Sumarni itu juga bisa memberi harapan bagi PRT atau TKI lainnya.