-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

09 November 2008

Buruh Mulai Kampanye

Minggu, 9 November 2008

Jakarta, Kompas - Menilai pemerintah tidak berpihak kepadanya, kalangan buruh mulai mengampanyekan untuk tidak memilih dalam Pemilu 2009. Alasannya, mereka merasa percuma memberikan dukungan politik kepada pemerintah.

”Tidak ada jaminan pada kepastian kerja dan peningkatan kesejahteraan buruh. Sebaliknya, hingga saat ini buruh justru ditelantarkan,” ungkap Khasminah, anggota Tim Riset dan Advokasi Komite Buruh Cisadane, Sabtu (8/11) di Jakarta.

Sebagai catatan, dalam sejumlah produk kebijakan nasional terkait buruh dan investasi, pemerintah dinilai lebih memerhatikan investor. Terakhir, muncul Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Ekonomi Global.

Bagi buruh, keputusan itu memberi celah lebih besar kepada perusahaan untuk merumahkan atau tidak menaikkan upah buruh. ”Tidak ada upaya untuk memperbaiki taraf hidup buruh karena dengan alasan krisis global, perusahaan dapat tidak menaikkan upah buruh dengan alasan tidak mampu,” kata Khasminah.

Kerja sama beberapa organisasi buruh dengan partai politik, tutur Khasminah, juga tidak dapat diandalkan. Partai tidak mampu menjamin penyelesaian persoalan utama buruh, yaitu kepastian kerja dan pengupahan.

”Oleh karena itu, meski pada tingkat organisasi belum semua menyerukan pemboikotan, pada tingkat individu, banyak buruh sudah menyerukan pemboikotan pada pemilu,” kata Khasminah.

Tidak strategis

Dihubungi secara terpisah, calon anggota legislatif PDI-P, Agung Putri, mengatakan bisa memahami sikap buruh tersebut. Namun, ia berpendapat, untuk mengupayakan perbaikan, lebih baik turut serta memiliki lembaga kekuasaan.

Lembaga politik yang ada saat ini belum seutuhnya baik, tetapi ruangnya jauh lebih terbuka. Menurut dia, kuota 30 persen untuk perempuan sebaiknya dimanfaatkan aktivis perburuhan.

”Golput sebagai kekuatan moral dapat diterima karena mencerminkan krisis sosial politik, tetapi tidak memiliki kekuatan politik untuk mereartikulasikan gerakan reformasi,” katanya.

Untuk itu, memperkuat partai dinilainya jauh lebih berpeluang untuk memengaruhi kebijakan dan sirkulasi kekuasaan. ”Karena meski jumlahnya besar, artikulasi politik dari mereka yang golput justru tersingkir dan kekuasaan terus bergulir,” ujar Agung Putri.

Oleh karena itu, ia menyayangkan jika buruh atau pemilih tidak menggunakan hak pilih mereka. Menurut dia, jika pada rezim lama, golput merupakan pilihan yang masuk akal, tetapi tidak untuk saat ini. (JOS)