-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 December 2008

Deplu Dukung Pemutihan 75.000 TKI Syiria

Suara Merdeka CyberNews, 27/12/2008

Jakarta, CyberNews. Departemen Luar Negeri (Deplu) menyangkal jika pihaknya dinilai tidak mendukung pemberian izin upaya pemutihan dan peningkatan perlindungan terhadap sedikitnya 75.000 TKI ilegal di Syria.

"Bagi pemerintah aspek perlindungan bagi TKI sangat penting. Namun dalam kasus TKI di Syria, pemerintah tidak gegabah melakukan pemutihan tanpa melalui proses pendataan yang akurat," papar Juru Bicara Deplu Teuku Faizasyah, Sabtu (27/12/2008).

Menurutnya, apabila TKI ilegal tersebut begitu saja diputihkan sedangkan keberadaannya tidak diketahui secara pasti maka perlindungan hukum kepada yang bersangkutan tidak tuntas.

Sebenarnya, kata Teuku Faizasyah, Deplu sudah mengirimkan tim pada 2007 untuk melakukan pendataan TKI ilegal tersebut bersama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan pihak terkait lainnya. "Dari catatan Deplu baru mencapai 5.000-an yang didata dan hingga ini masih berlangsung," katanya.

Dia mengungkapkan persoalannya bukan hanya pemutihannya, tetapi ada sejumlah kendala. Syiria baru dinyatakan sebagai wilayah penempatan TKI oleh Departemen Tenaga Kerja tahun 2007.

Artinya ribuan WNI yang bekerja di negara itu adalah TKI ilegal. Dalam kenyataannya sudah mengarah pada aktivitas perdagangan manusia oleh agensi yang menjual mereka ke negara itu. "Jadi kalau begitu saja diputihkan sama artinya melegalkan praktik perdagangan manusia. Oleh karenanya pendataan harus dilakukan secara cermat," tandas Teuku Faizasyah.

Dia menambahkan pendataan yang dilaksanakan Deplu tidak akan membebani TKI. Memang ada biaya misalnya untuk pembuatan dokumen paspor, namun jumlahnya sesuai aturan, tidak memberatkan dan menjadi pemasukan bukan pajak.

Pasalnya, pendataan TKI ilegal di Syria ini melibatkan agensi atau pihak ketiga dimana muncul biaya tambahan, diluar yang ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, Deplu tidak menyetujui adanya biaya tambahan itu. "Masalah ini sudah dibicarakan antara Deplu, Depnaker, BNP2TKI dan pihak terkait lainnya. Namun belum ada titik temunya," ungkapnya.

Di samping itu, dari perangkat hukum pemerintah Indonesia dan Syria belum memiliki perjanjian kerja sama perburuhan, karena masih dalam proses."Perangkat hukumnya belum ada sehingga aspek perlindungannya tidak terpenuhi," kata Teuku Faizasyah.

(OKZ /CN08)