http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/16/03361072/saat.si.miskin.beperkara BANTUAN HUKUM Saat Si Miskin Beperkara Kamis, 16 Juli 2009 | 03:36 WIB Ari bersama ketiga sahabatnya menundukkan kepala, terdiam di kursi panjang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pertengahan Juni lalu. Mereka baru mendengarkan jaksa menuntut hukuman tiga tahun penjara atas dugaan kepemilikan sabu seberat 0,2804 gram. Majelis hakim memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan pembelaan. Nada keempat orang sahabat itu sama-sama lirih, tetapi masih terdengar penyesalan mereka saat bergantian menyampaikan pembelaan. Mereka tak didampingi pengacara. Pembelaan pun dilakukan sekenanya oleh keempat terdakwa itu. Setelah mendengar pembelaan keempat terdakwa, majelis hakim berdiskusi sebentar dan langsung menjatuhkan putusan dua tahun penjara. Ida, salah seorang terdakwa, menangis saat mendengar putusan itu. Tangisnya tidak berhenti hingga ia masuk lagi ke ruang tahanan yang pengap di bagian belakang Gedung PN Jakarta Pusat. Sidang perkara dengan agenda penuntutan, pembelaan, dan putusan itu sangat singkat, tak lebih dari 30 menit. "Tidak ada uang, Mas," ujar Ari saat ditanya mengapa tidak menggunakan jasa advokat untuk membelanya di persidangan. Ari dan ketiga temannya meminta nama mereka disamarkan. Uang sering kali menjadi masalah utama bagi sebagian warga ketika harus menyewa jasa penasihat hukumnya saat berurusan dengan hukum. Entah siapa yang harus kita mintai pertanggungjawaban mengenai masalah ini karena sesungguhnya ada bantuan hukum cuma-cuma bagi warga yang kurang mampu. Bantuan hukum gratis itu bisa diperoleh dari Pos Bantuan Hukum (Pos Bakum) yang kantornya berlokasi di pengadilan. Pos Bakum pertama kali diprakarsai (hakim agung) Bismar Siregar tahun 1979 ketika menjabat Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Pos Bakum dibentuk untuk membantu masyarakat kecil yang terjerat hukum, tetapi tidak dapat membayar pengacara (Kompas, 16/2/2004). Sekretaris Jenderal Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MPPI) Andri Gunawan Sumiyanto mengatakan, dalam praktiknya, akses masyarakat miskin terhadap bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) tak mudah. "Banyak warga yang tak bisa langsung berhubungan dengan pengacara di Pos Bakum," kata dia. Ruang Pos Bakum yang tak representatif, bahkan tak ada di pengadilan, kian menyulitkan warga bertemu dengan pengacara yang akan mendampinginya. Padahal, warga miskin yang terjerat hukum idealnya bertemu langsung dengan pengacara untuk menjelaskan kasusnya. Gara-gara kendala itu, biasanya hakim menunjuk langsung pengacara bagi terdakwa dari kalangan warga miskin saat persidangan dimulai. Pengacara yang ditunjuk pun baru tahu kasus kliennya ketika itu juga. Andri juga menyoroti makin banyaknya advokat yang lebih mementingkan pendampingan klien yang berasal dari kalangan ekonomi mapan atau pesohor. Atau, mendampingi seseorang yang beperkara untuk meraih popularitas. Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengakui, banyak advokat yang kurang memerhatikan etika profesi. "Sebetulnya tidak etis kalau pengacara hanya mau menangani kasus yang menyita perhatian publik dan berpotensi meningkatkan popularitas atau yang bayarannya besar," katanya. Otto mengatakan, anggota Peradi didorong mengedepankan pembelaan terhadap warga yang tak mampu. "Sedang dicari formulasi yang pas apakah kalau tak mau membela tanpa dibayar akan dicabut izin praktiknya atau cara lain," kata dia lagi. Rotua Monika P Sinaga, advokat yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma di PN Jakarta Pusat, mengatakan, dalam seminggu ada tiga perkara dari warga miskin yang dibelanya, terutama yang potensi tuntutannya di atas lima tahun penjara. |
16 July 2009
BANTUAN HUKUM Saat Si Miskin Beperkara
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Thursday, July 16, 2009