http://surabaya.detik.com/read/2009/09/02/110033/1194529/475/ramadan-awe-awe-di-jalur-gumitir-membludak Rabu, 02/09/2009 11:00 WIB Ramadan, Awe-awe di Jalur Gumitir Membludak Irul Hamdani - detikSurabaya Awe-awe Banyuwangi/Irul Hamdani Jumlah awe-awe bertambah dua kali lipat saat menjelang bulan Ramadan. Bahkan awe-awe akan semakin membludak seminggu sebelum Hari Raya Idul Fitri. Sekitar 200-an awe-awe akan menghiasi sepanjang jalur Gumitir, dari Banyuwangi-Jember dan sebaliknya. Mereka berasal dari desa sekitar Gumitir masuk wilayah Kabupaten Jember. Sebagian lagi berasal dari Desa Kalibaru, Banyuwangi. Mereka terdiri dari pria, wanita, anak-anak, dewasa dan lansia. Untuk menuju ke tempatnya berkerja, mereka mengaku menumpang kendaraan yang lewat. Demi mendapatkan 'hadiah' dari pengguna jalan, mereka mengemis hingga malam hari. Bahkan mereka mendirikan gubuk di pinggi jalan sebagai tempat melepas lelah. Keberadaan mereka juga tak jarang menjadi tontonan pemudik. Khususnya pengendara yang pertama kali melintas melalui jalur Gumitir. "Saya naik bus ke sini, seminggu sebelum puasa. Biasanya seminggu sekali pulang ke kampung," jelas salah seorang awe-awe lansia, Brudin dengan logat bahasa Madura, yang mengaku berasal dari Kalisat, Jember saat ditemui detiksurabaya.com di kawasan jalur Gumitir, Rabu (2/9/2009). Persaingan Awe-awe Sementara Brudin mengaku datang ke jalur Gumitir bersama istrinya, Mbok Minah (60). Namun agar hasil meminta-minta banyak, Mbok Minah mangkal sekitar 1 Km dari tempat Brudin berada. Istilahnya tebar jaring. Namun menjelang buka puasa, Brudin akan menemani sang istri tercinta untuk bersantap bersama. Strategi itu terpaksa dilakukan lantaran ketatnya persaingan antara awe-awe. Terlebih mendekati Hari Raya Idul Fitri, awe-awe baru akan bermunculan. Saat itulah penghasilan Brudin sedikit merosot. Jika sehari mendapat Rp 30 ribu-Rp 40 ribu, maka saat itu akan menjadi separuhnya saja. "Banyak awe-awe, ya semakin sedikit uang yang didapat," keluh Brudin sambil mengusap keringat di dahinya dan berpesan tak mengambil gambarnya. Lain lagi dengan Somad (45), yang mengaku tinggal di kawasan perkebunan kaki Gunung Gumitir. Untuk menjaring simpati pengendara, dia membantu para sopir menjadi rambu-rambu hidup di tikungan tajam dan menanjak. Bermodalkan peluit, Somad memberi aba-aba bagi tiap kendaraan yang berasal dari arah Jember maupun Banyuwangi. Uniknya, rambu-rambu hidup dilakukan secara shift atau bergantian. Ada tiga orang yang bertugas, salah satunya Somad. Sambil menunggu gilirannya berjaga, Somad mencari rumput di hutan sekitar tempat mangkalnya. Rumput itu akan dibawa pulang Somad sebagai makanan bagi kambing-kambingnya. "Ya gantian mas, saya kadang jaga siang hari kadang sore. Lumayan buat tambahan," kata Somad sambil tersenyum, namun tak menyebutkan berapa uang yang didapat menjadi awe-awe. Tak jauh dari Somad, berdiri seorang gadis kecil. Anak perempuan tersebut tak lain anak pertama Somad yang masih berusia 12 tahun. Dia turut membantu orangtuanya di jalan, seusai pulang sekolah. Sambil bermain dedaunan, gadis kecil itu berteriak lirih ke arah kendaraan yang melaju. Ia berharap si pengendara melemparkan koin keberuntungan baginya. "Hoe..hoe..hoe..hoe..," harapnya dengan menjulurkan tangan kanannya dan dilambai-lambaikan ke tiap pengendara yang melintas.(fat/fat) |
02 September 2009
Ramadan, Awe-awe di Jalur Gumitir Membludak
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Wednesday, September 02, 2009