-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 October 2009

Lumbung Beras Kantong Kemiskinan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/28/11124586/lumbung.beras.kantong.kemiskinan.

Lumbung Beras Kantong Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah Belum Memihak Petani

Rabu, 28 Oktober 2009 | 11:12 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Sejumlah daerah di Jawa Barat yang selama ini dikenal sebagai lumbung beras dan pusat pertumbuhan sektor pertanian ternyata menyumbang jumlah kemiskinan terbesar bagi provinsi berpenduduk 42 juta jiwa ini. Hal itu sekaligus menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jabar yang 65 persen di antaranya menggantungkan hidup dari pertanian.

Kondisi itu tergambarkan dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jabar tahun 2008 yang menyebutkan, indeks pembangunan manusia (IPM) Jabar menduduki peringkat ke-15 di tingkat nasional dengan nilai 71,12. Angka IPM itu didasarkan pada empat kriteria, yakni angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita.

Lima daerah yang meraih angka IPM terendah ialah Kabupaten Indramayu (66,78), Kabupaten Cirebon (67,70), Kabupaten Cianjur (68,17), Kabupaten Karawang (69,06), dan Kabupaten Majalengka (69,40). Kelimanya selama ini dikenal sebagai daerah penghasil beras di Jabar.

Pakar ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Kodrat Wibowo, berpendapat, banyaknya kantong kemiskinan di daerah lumbung beras menunjukkan buruknya perencanaan pemerintah daerah di bidang pertanian.

"Persoalan pertanian selama ini hanya difokuskan pada target-target produksi. Namun, peningkatan kesejahteraan petani dan pemasaran hasil pertanian mereka belum tersentuh," katanya, Selasa (27/10) di Bandung.

Pemerintah daerah semestinya membuat program terobosan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya ialah dengan memutus rantai distribusi hasil pertanian. Rantai distribusi yang panjang memicu tingginya harga produk pertanian.

"Harga produk yang tinggi menyebabkan rendahnya margin keuntungan petani, bahkan mereka cenderung merugi. Bila kondisi semacam itu berlanjut, sektor pertanian di Jabar yang menopang pendapatan sebagian besar masyarakat terancam lumpuh," katanya.

Belum optimal

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengakui, pengembangan sektor pertanian belum optimal. Hal itu juga disebabkan tiadanya keberpihakan kebijakan di sektor ini. "Sektor pertanian tanaman pangan di berbagai negara memang cenderung merugi, tetapi bisa ditutupi dengan subsidi negara yang besar mengingat sektor tersebut harus tetap hidup untuk suplai makanan," katanya.

Subsidi semacam itu tidak ditemui di Indonesia. Nilai subsidi untuk pertanian di Indonesia Rp 15 triliun masih lebih kecil dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp 150 triliun.

Untuk menyiasati hal itu, lanjut Heryawan, pihaknya akan menggalakkan pertanian multikultur pada 2010. Hal itu diharapkan bisa meminimalisasi kerugian petani. "Selain menanam padi, petani juga didorong agar beternak dan menjalankan budidaya perikanan," ujarnya.

Dana penanganan kemiskinan di Jabar yang besarnya lebih dari Rp 200 miliar pada tahun ini juga belum optimal menekan angka kemiskinan. Sekitar 13 persen dari 42 juta jiwa penduduk Jabar tergolong miskin. Angka itu berupaya ditekan sampai di bawah 10 persen.

Daya beli masyarakat Jabar baru mencapai Rp 623.000 per orang per tahun, sedangkan normalnya Rp 723.000 per orang per tahun. Kenaikan daya beli masyarakat Jabar rata-rata Rp 1.000 per tahun. Artinya, diperlukan waktu 100 tahun untuk mencapai daya beli normal.

"Hal ini diupayakan diatasi dengan sinkronisasi program pemberantasan kemiskinan antara pusat dan daerah," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Deny Juanda. (REK)