-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

01 April 2011

“PASAR RINTISAN TKI” (Bagian 1) :

Mimpi dan Perjuangan Seorang Mantan TKI


Tentu kita masih ingat pernyataan ketua DPR Marzuki Alie yang menyatakan, rendahnya kemampuan TKI yang bekerja sebagai PRT telah merusak citra Indonesia. Jauh dari stigma “kualitas rendah” yang ditempelkan Marzuki Alie terhadap para TKI, di berbagai pelosok Indonesia kita bisa menjumpai para TKI yang kiprahnya sungguh membuat Indonesia bangga punya warga seperti mereka. Dengan modal awal menjadi TKI, mereka berhasil mengukir prestasi. Mereka juga berhasil membuktikan diri memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari kemampuan ketua dan bahkan ribuan anggota DPR/DPRD di dalam memperjuangkan kesejahteraan warga. Salah satunya ditunjukkan oleh Berti Sarova, mantan TKI asal Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bandar Lampung, yang pernah dua kali bekerja di Taiwan sebagai Pekerja Rumahtangga (PRT). Mengapa Berti Sarova? Apa yang dilakukannya hingga ia pantas menyandang gelar TKI berprestasi?

Berbagai usaha dilakukan Berti di kampung halamannya untuk memperbaiki tingkat kehidupan para mantan TKI dan keluarganya. Salah satunya adalah Pasar Desa “Rintisan TKI” yang berlokasi di Desa Gunung Terang, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bandar Lampung. Pasar desa ini benar-benar dirintis perkembangannya oleh Berti. Prestasi seorang mantan TKI ini diakui setidaknya oleh Kepala Desa Gunung Terang, Bapak Fachrul IB. Atas prestasinya ini, pihak desa memberi nama pasar yang baru dibuka itu sesuai dengan nama yang diusulkan para mantan TKI, yaitu “Pasar Rintisan TKI”. Nama ini diberikan sebagai penghargaan pihak desa kepada para TKI dan keluarganya yang telah berjasa dalam merintis berkembangnya pasar desa. Kepala desa itu sendiri mengakui, sebelum diambil alih oleh para TKI, pasar desa itu mati. Bahkan pihak desa sudah dua kali mencoba membuka pasar desa, namun dua kali pula pasar desa yang baru dibuka itu mati.

Berdirinya Pasar Desa “Rintisan TKI” berawal di tahun 2001, saat pihak Desa Gunung Terang membuka kapling untuk pasar Desa. Setiap kapling seluas 7X7 meter persegi dijual seharga Rp 600.000. Pada saat itu Berti baru kembali dari Taiwan. Ia melihat pasar yang baru dibuka itu masih kosong dan ia pun tergerak untuk membeli kapling di sana. Meski masih banyak kapling kosong, namun Berti tertarik pada kapling yang berada di posisi paling depan. Sayang kapling itu sudah dibeli orang. Sebenarnya kalau membeli langsung ke desa, Berti cukup membayar Rp 600.000. Tapi karena kapling yang ia incar itu lokasinya strategis, Berti berani membayar setengah kapling ukuran 3.5x7 meter seharga Rp 2 juta kepada pemiliknya. Untuk membangun kapling menjadi kios, Berti mengeluarkan modal sedikitnya Rp 6 juta. Di kios itulah ia memulai usaha wartel. Wartel yang ia beri nama “ ALL IN” itu membuatnya banyak dikenal masyarakat dan warga akrab memanggilnya mbak Alin.

Usaha wartel ia pilih karenna prospeknya cukup bagus. Di daerahnya banyak TKI dan sarana komunikasi sudah barang tentu menjadi kebutuhan vital bagi TKI dan keluarganya. Pada saat itu belum ada wartel di daerahnya dan penggunaan telepon seluler belum dikenal. Wartel yang dibuka Berti menjadi satu-satunya pilihan bagi TKI dan keluarganya untuk bisa berkomunikasi. Konsumen pengguna wartel kebanyakan memang keluarga TKI. Pelanggan wartel milik Berti mencakup warga dari tiga wilayah kecamatan.

Dari hasil usaha wartel Berti bisa membeli kapling-kapling lain di pasar desa itu dan kemudian ia buat kapling-kapling itu menjadi kios-kios. Karena kios yang ia punya sudah terlalu banyak, muncullah ide untuk mengajak keluarga-keluarga TKI membuka usaha di sana. Akhirnya satu persatu kios di pasar desa itu beralih ke tangan TKI, mantan TKI dan keluarganya. Terciptalah kemudian sebuah pasar desa yang hampir semua pedagangnya adalah para mantan dan keluarga TKI.

Dari hasil usaha wartel Berti bisa membeli kapling-kapling lain di pasar desa itu dan kemudian ia buat kapling-kapling itu menjadi kios-kios. Karena kios yang ia punya sudah terlalu banyak, muncullah ide untuk mengajak keluarga-keluarga TKI membuka usaha di sana. Akhirnya satu persatu kios di pasar desa itu beralih ke tangan TKI, mantan TKI dan keluarganya. Terciptalah kemudian sebuah pasar desa yang semua pedagangnya adalah para mantan dan keluarga TKI.

Meski kios-kios pasar sudah dikuasai para mantan TKI dan keluarga TKI, namun pasar desa yang baru dibuka itu tidak langsung begitu saja berubah menjadi pasar yang ramai pembeli. Masih perlu usaha dan kerja keras untuk menjadikannya pasar yang hidup. Dengan dibantu pihak desa, para pemilik kios – yang adalah para mantan dan keluarga TKI – melakukan promosi ke masyarakat. Promosi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah pameran pasar murah. Untuk menarik semakin banyak pembeli, khususnya yang berasal dari desa-desa lain, mereka juga mengadakan pasar malam.

Kerja keras para mantan TKI dan keluarganya itu terbukti membuahkan hasil. Pasar yang dulunya sepi pembeli, kini berkembang menjadi pasar yang ramai. Bukan hanya pasarnya, usaha para mantan TKI itu juga berkembang. Dulu belum banyak barang yang dijual di pasar desa. Kini Pasar Rintisan TKI telah berkembang menjadi pasar umum, yang menjual hampir semua barang kebutuhan masyarakat desa. Berawal dari pasar kecil dengan usaha sederhana, kini pasar telah berkembang menjadi pasar besar dengan beragam barang, termasuk sayur dan ikan. Di pasar ini terdapat sedikitnya 90 kios, 24 lapak sayur dan 4 (empat) lapak ikan. Kios, lapak sayur dan lapak ikan ini dimiliki oleh 120 TKI, mantan TKI dan keluarganya. Setiap hari mereka dikenai biaya retribusi untuk kebersihan sebesar Rp 1.000. Untuk keamanan, mereka membayar retribusi sebesar Rp 10.000 – 100.000 per bulan tergantung besarnya kios dan jenis barang yang dijual.

Dari Pasar ke Koperasi

Perjuangan Berti tidak berhenti sampai pada pengembangan pasar desa. Setelah pasar yang mereka rintis itu berkembang, para mantan TKI dan keluarganya yang dikoordinir oleh Berti itu kemudian memikirkan bagaimana mereka bisa membantu para TKI yang mengalami masalah atau para keluarga TKI yang belum memiliki modal usaha. Muncullah gagasan untuk mendirikan koperasi simpan pinjam. Masing-masing anggota kemudian menyetor modal pokok sebesar Rp 100.000 per orang, dengan iuran wajib bulanan Rp 10.000 per orang. Pinjaman ke koperasi dikenai bunga rendah, hanya sebesar Rp 1,5 persen per bulan. Dalam satu tahun koperasi berhasil mengumpulkan modal sedikitnya Rp 80 juta dengan anggota sebanyak 350 orang. Karena koperasi ini dirintis oleh para mantan TKI, anggotanya pun masih sebatas para TKI, mantan TKI dan keluarganya. Koperasi ini mereka beri nama Koperasi TKI Bina Usaha Mandiri. Pendirian koperasi ini sungguh mereka perjuangkan karena mereka menyaksikan banyak kerabat dan teman-teman mereka yang terjerat utang pada rentenir. Harapan mereka, dengan adanya koperasi ini para TKI dan keluarganya bisa membantu teman-teman lain yang selama ini punya masalah akibat ulah rentenir.

Dari Soal Ekonomi ke Gerakan Sosial

Koperasi yang didirikan para mantan TKI itu pada kenyataannya bukan hanya bicara soal modal atau uang dan kesejahteraan para mantan TKI dan keluarganya saja. Koperasi itu juga bicara soal organisasi TKI. Selain untuk pengembangan ekonomi, usaha koperasi itu mereka arahkan juga untuk memperkuat basis organisasi TKI, yaitu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Mengapa? Karena para TKI, mantan TKI dan keluarganya yang tergabung dalam koperasi itu adalah juga anggota SBMI.

Sebelum ada koperasi, Berti sebagai pengurus SBMI punya masalah dalam mengumpulkan anggota. Adanya koperasi telah mempermudahnya dalam mengumpulkan para anggota, terutama untuk sosialisasi masalah organisasi dan juga ketika ada TKI yang mengalami masalah. Koperasi TKI ini ternyata juga menjadi media efektif dalam mewujudkan pembelajaran bagi para keluarga TKI terkait bekerja di luar negeri. Dulu para calon TKI banyak tertipu oleh para calo yang sukanya memberi janji-janji muluk tapi palsu. Kini para calon TKI dan keluarganya menjadikan organisasi SBMI sebagai media untuk konsultasi, baik konsultasi terkait masalah yang dihadapi TKI maupun konsultasi bagi para calon TKI yang hendak berangkat ke luar negeri. Pada akhirnya SBMI di daerah ini menjadi tempat pengaduan bagi calon TKI dan keluarga TKI yang menghadapi masalah.

Dengan menjalankan peran sebagai media konsultasi, SBMI yang dikoordinir Berti pada akhirnya juga menjadi basis perjuangan bagi perlindungan hak TKI. Bukan hanya berjuang untuk menyelesaikan masalah di tingkat daerah, mereka juga berjuang membawa masalah TKI ke tingkat nasional. Dalam satu setengah tahun terakhir ini mereka setidaknya telah menerima lebih dari 100 kasus TKI. Dalam menyelesaikan kasus-kasus ini, mereka tidak bekerja sendirian. Mereka bawa kasus-kasus tersebut ke SBMI nasional atau langsung ke BNP2TKI. Sebagai wujud solidaritas terhadap para TKI yang mengalami masalah, para anggota koperasi bersepakat untuk menyisihkan 5 persen dana sisa hasil usaha koperasi untuk membantu membiayai penanganan kasus TKI. Untuk membantu menangani kasus TKI yang mengalami masalah, mereka selama ini merogoh kantong sendiri.

Dari Kesejahteraan TKI ke Kesejahteraan Warga

Sebelum ada pasar dan koperasi, para TKI, mantan TKI dan keluarganya hidup dalam kondisi serba miskin. Jangankan mimpi punya kios atau ruko, untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sulit. Apalagi masih ditambah dengan biaya sekolah anak. Kemiskinan itulah yang mendorong mereka memilih berangkat ke luar negeri menjadi TKI.

Pasar dan koperasi yang dirintis Berti terbukti berhasil meningkatkan kualitas hidup para TKI. Begitu banyak perubahan terjadi pada kehidupan TKI, mantan TKI dan keluarganya setelah mereka memiliki kios dan menjadi anggota koperasi. Dengan adanya pasar dan koperasi TKI, mereka memiliki sumberdaya ekonomi yang bisa meningkatkan kualitas hidup mereka. Kini, mereka tidak hanya berhasil memiliki rumah dan ruko yang cukup mentereng, tetapi juga punya mobil sendiri, punya sawah dan kebun yang luas, dan juga bisa naik haji. Cita-cita untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak juga terpenuhi. Kini, anak-anak mereka rata-rata bersekolah di sekolah unggulan, yang sebelumnya tak mampu mereka jangkau.

Para TKI, mantan TKI dan keluarganya itu rupanya tidak hanya mengalami perubahan secara ekonomi. Secara sosial mereka juga berkembang. Mereka berhasil menghapuskan cita-cita untuk menjadi TKI yang selama ini mengisi pikiran kebanyakan keluarga di desa mereka. Cita-cita menjadi TKI kini telah berganti menjadi cita-cita pergi ke luar negeri untuk belajar banyak hal. Dulu di antara TKI atau mantan TKI tidak saling kenal. Kini, dalam kondisi ekonomi mereka yang semakin membaik, solidaritas mereka terhadap para TKI juga semakin meningkat. Menurut Berti, meningkatnya solidaritas itu terjadi karena mereka merasakan betul kehidupan sulit semasa menjadi TKI.

Desa Mandiri untuk Indonesia Mandiri

Adanya pasar dan koperasi TKI pada akhirnya menciptakan komunitas TKI yang menghidupi sistem ekonomi mandiri, tidak bergantung pada pihak luar, meski dalam lingkup yang masih sangat kecil. Dalam sistem ini para TKI dan keluarganya berperan sebagai pedagang sekaligus pembeli atau konsumen. Dengan cari ini uang tidak lagi keluar dari desa mereka. Uang yang mereka putar itu akhirnya dikembalikan lagi ke desa.

Bersama para anggota koperasi, Berti bercita-cita untuk terus mengembangkan koperasi yang dirintisnya. Tidak hanya menjadi koperasi simpan pinjam, tetapi sekaligus juga koperasi produksi. Ia membayangkan, adanya koperasi produksi akan bisa mendukung upaya para TKI dan keluarganya untuk mengembangkan usaha dari hulu sampai hilir. Hal seperti ini ia pikirkan karena daerahnya adalah penghasil kakao, kelapa, singkong, jagung, karet, dan lainnya. Tetapi sayangnya, para petani di daerahnya menjual langsung hasil produksi mereka ke para tengkulak. Tentu saja produk petani itu dibeli dengan harga di bawah harga pasar. Dalam hal ini Berti bertekad bisa membantu para petani agar mereka dapat mengolah hasil pertanian mereka terlebih dahulu sebelum menjualnya ke pasar. Tentu hasilnya akan lebih besar. Apalagi kalau semua barang-barang yang selama ini didatangkan dari kota bisa diproduksi sendiri oleh masyarakat desa. Singkat kata, banyak hal yang ingin Berti kerjakan, salah satunya adalah mewujudkan desa mandiri.

Desa mandiri yang dibayangkan Berti, sangat dekat hubungannya dengan kepentingan TKI. Dengan adanya desa mandiri, tidak perlu lagi warga Indonesia jadi TKI. Ini bisa dimulai dari sekarang dan oleh para TKI. Kalau semua TKI yang berhasil bisa memanfaatkan hasil kerjanya untuk memulai usaha di daerahnya sendiri, maka akan banyak warga desa yang terbantu oleh usaha yang dibangun oleh para TKI ini. Dengan cara ini para TKI itu tidak perlu lagi kembali ke luar negeri dan bahkan tidak akan ada lagi anggota keluarga yang memilih menjadi TKI.

Bukan hanya Berti, para mantan TKI yang tergabung dalam Koperasi Bina Usaha Mandiri punya cita-cita untuk menjadikan TKI sebagai tuan di negeri sendiri melalui pengelolaan hasil kerja secara benar. Mereka prihatin, selama ini tidak ada yg memikirkan masa depan TKI dan keluarganya. Itulah mengapa banyak TKI yang terus menerus kembali keluar negeri karena hasil kerjanya habis dan tidak ada usaha produktif yang bisa menjamin kehidupan mereka ke depan. Kondisi seperti ini yang membuat Berti dan teman-temannya bertekad untuk bangkit, menjadi mandiri dan berusaha keras membangun masa depan anak-anak dengan kehidupan yang lebih baik. Bukan kehidupan seperti yang dialami orang tua mereka yang TKI.

Untuk mewujudkan mimpinya itu, Berti bertekad untuk memperjuangkan agar koperasi bisa menjadi basis gerak Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Ia membayangkan, kalau semua SBMI di daerah memiliki koperasi dan antar daerah bisa saling terhubung dan saling melengkapi, maka kita tidak butuh lagi yang namanya impor barang dari luar. Semua bisa dipenuhi oleh masyarakat sendiri. Tentu saja perjuangan mewujudkan mimpi itu masih panjang, tapi setidaknya ia sudah memulainya dengan pasar dan koperasi TKI.