15 Juni 2005
Surabaya - Siapa bilang para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi buruh migran tak punya kemampuan dalam bersastra. Jika Anda berpikir seperti itu jelas salah besar. Coba saja tanyakan kepada Bonari Nabonenar, sastrawan Surabaya yang juga Ketua Umum Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.
"Ternyata para buruh migran itu memiliki potensi sastra yang luar biasa, karenanya kami melakukan pembinaan untuk memberikan semangat kepada mereka," kata Bonari, seperti dikutip dari Antara, di Surabaya, Rabu (15/6).
Soal kualitas karya mereka, kata Bonari, sudah tergolong bagus dan tak kalah dengan karya sastra lainnya. Ia memberi contoh sebuah buku semacam novel yang ditulis oleh Rini Widyawati, asisten dari sastrawan Ratna Indraswari Ibarahim di Malang yang menghasilkan buku Catatan Harian Seorang Pramuwisma.
Banyak TKI yang umumnya menjadi pembantu rumah tangga (pramuwisma), kini mulai membuka wawasannya dengan memiliki jaringan internet. Di dunia maya inilah, mereka saling bertukar pikiran antarsesama mereka yang memiliki minat di bidang sastra.
"Mereka sudah memiliki milis untuk saling bertukar pikiran dalam jarak jauh, meskipun tempat mereka bekerja berbeda negara dan daerah," katanya.
Ia menjelaskan, banyak hal yang telah digarap oleh para pekerja migran itu, antara lain berupa puisi, cerpen maupun novel. Mereka yang memiliki jaringan itu antara lain berada di Hong Kong.
Karena itu, pada akhir bulan Juni ini Bonari akan berangkat ke Hong Kong menjadi pembicara pada kegiatan workshop penulisan kreatif bagi buruh migran. Ia akan berada di Hong Kong sekitar satu minggu.
"Ini kesempatan berharga bagi saya untuk bertemu langsung dengan teman-teman pekerja di sana. Mereka sudah banyak yang menghasilkan karya sastra dan hasilnya layak untuk diterbitkan, seperti novel," ungkapnya.
Namun, untuk menerbitkan karya mereka, Bonari mengaku masih kesulitan mencari donatur. Karenanya, pihaknya akan berusaha mencarikan penerbit yang mau membiayai pembukuan karya mereka. "Mungkin dewan kesenian atau Taman Budaya Jatim bisa membantu penerbitan karya mereka. Karya mereka sangat unik dan khas dengan segala problematika yang mereka hadapi," ujarnya.
Ia memberi contoh, pergolakan batin para pembantu yang umumnya muslimah itu ketika harus memasak masakan untuk majikannya dengan bahan dari daging babi. Daging babi dalam hukum Islam diharamkan untuk dimakan.
"Ini merupakan konflik yang mereka garap atau tuangkan dalam bentuk karya sastra. Dari situ kelihatan bahwa karya mereka sangat tipikal atau khas. Kalau kita gali akan menjadi karya sastra yang berkualitas nantinya," paparnya.
Bonari melanjutkan, selain ajang untuk mengembangan kreativitas, penulisan karya sastra bagi buruh migran itu juga merupakan tempat mencurahkan segala problematika batin yang mereka hadapi selama berada di negeri orang. "Di negeri orang mereka kan mengalami tekanan psikologis karena jauh dari keluarga. Mereka mengekspresikan itu dalam bentuk tulisan, sehingga menjadi produktif," jelasnya.
Ditambahkannya, umumnya para pekerja itu menulis sastra dengan "mencuri" waktu di sela-sela waktu lenggang atau pada saat libur. (Ant/Eh)