-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

04 May 2007

Bekerja di Malaysia Semakin Sulit

Kompas
4 Mei 2007

Ini sebenarnya persoalan lama soal perlakuan tak adil yang diterima TKI di Malaysia. Mereka memang ada yang datang secara ilegal, tetapi banyak juga yang legal toh akhirnya dideportasi. Ketika paspor disimpan di pabrik atau sedang diurus perpanjangannya, misalnya, TKI yang terjaring razia bisa dianggap ilegal juga.

Suasana di penampungan TKI (tenaga kerja Indonesia) Bermasalah di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Selasa (1/5) lalu, terlihat sesak. Ratusan TKI yang sudah sepekan tiba dari Malaysia terlihat masih lelah.

"Siapa yang dicambuk," tanya seorang petugas jaga. Para TKI yang saat di Malaysia mengalami dicambuk petugas di sana dengan cepat berkumpul dan berbaris. Beberapa TKI menunjukkan bekas luka kering bekas dicambuk di bagian pantat. Ada yang kena dua kali, ada juga yang tiga kali.

Dalam perbincangan dengan Kompas, seorang TKI asal Madura, Adi (27), menceritakan pengalaman buruknya. Ia memang mengaku datang ke Malaysia tanpa dilengkapi dokumen resmi. Visa yang dimiliki adalah visa pelancong (turis) yang berlaku hanya satu bulan. Bukan visa kerja yang berlaku tiga tahun sebagaimana disyaratkan.

Bahwa dirinya ditangkap karena sebagai TKI ilegal, ia bisa memakluminya. Namun, perlakuan aparat di negeri jiran kepadanya membuatnya kesal. "Barang-barang saya seperti telepon genggam dan uang disita oknum aparat di Malaysia," katanya.

Persoalan TKI sebenarnya tidak hanya terkait dengan masalah dokumen yang tidak lengkap. Ada juga TKI yang masuk ke Malaysia secara legal dan memiliki dokumen lengkap. Tapi ia tetap harus berurusan dengan aparat di Malaysia karena tertangkap saat paspornya sedang diperpanjang.

Abdul Gafur (36), TKI asal Madura yang menjadi buruh bangunan, misalnya. Suatu hari, Gafur sedang berada di bedeng proyek bangunan. Ketika aparat melakukan razia, ia memang tidak membawa paspor dan visa kerja. Soalnya, dokumen itu sedang diperpanjang di Kedutaan Besar RI di Malaysia. Sebagai pengganti, ia mendapatkan tanda terima (receipt) pengurusan paspor.

"Saya sudah jelaskan kepada oknum aparat itu bahwa paspor saya masih diperpanjang, dan saya hanya dapat receipt, tapi oknum itu tidak mau tahu. Saya tetap ditangkap," kata Gafur.

Ada lagi TKI yang dideportasi justru karena kesalahan pihak pemberi kerja di Malaysia. Ali Mustofa (29), asal Madiun, Jawa Timur, misalnya, datang ke Malaysia secara legal pada tahun 2005.

Ia datang dengan paspor dan visa kerja tiga tahun. Akan tetapi, sebelum genap tiga tahun bekerja, ia keburu ditangkap dan kemudian dideportasi. Anehnya, ia ditangkap karena majikannya tidak ingin membayar uang jaminan sebesar 10.000 ringgit kepada oknum aparat di Malaysia.

Padahal, niatnya ke Malaysia adalah untuk mencari kerja guna memperbaiki taraf hidupnya. Untuk sampai ke Malaysia, ia mengeluarkan Rp 15 juta untuk membuat paspor dan visa kerja plus biaya transpor. Ketika ditangkap, biaya itu belum sepenuhnya tertutup oleh gajinya yang 40 ringgit atau Rp 100.000 per hari.

Kalau dikumpulkan, masih banyak lagi cerita duka para TKI. Sebab, di Tanjungpinang saja setiap pekan ada 500-700 TKI yang dideportasi dari Malaysia karena berbagai sebab.

Belum lagi, banyak juga TKI yang pulang tanpa membawa gaji atau upah secara utuh. Barang dan uang yang ada pun disita oknum aparat jika tertangkap. Harta benda yang dijual sebagai modal ke Malaysia juga belum kembali.

Dikuasai sindikat

Lapangan kerja yang sangat terbatas di Indonesia ditambah jumlah angkatan kerja yang terus bertambah tak bisa dipungkiri sebagai penyebab banyaknya TKI ke Malaysia. Di antara mereka, banyak yang nekat berangkat secara ilegal atau istilahnya go show. Tetapi banyak juga yang karena ketidaktahuannya menjadi korban sindikat kejahatan transnasional.

Jaringan ini terus berkeliaran untuk mencari keuntungan besar dengan mengorbankan nama baik bangsa. Menurut seorang pengurus pengiriman TKI, Ade, biaya yang harus dikeluarkan TKI legal ke Malaysia memang mahal, sekitar 2.500 ringgit.

Biaya itu untuk uang pajak pemerintah Malaysia sebesar 430 ringgit, pemeriksaan kesehatan 300 ringgit, dan uang-uang lain yang dipotong agen penyalur. Untuk bisa melunasi semua biaya itu, seorang TKI legal harus mau bekerja lima bulan tanpa menerima upah.

Menurut Ade, agen-agen penyalur TKI di Malaysia pun lebih senang mendapatkan TKI ilegal. Sebab, mereka tidak harus terikat kontrak dengan satu atau dua majikan. Jika TKI tidak betah bekerja, dengan mudah mereka akan disalurkan ke majikan lain, sementara para TKI itu tidak bisa berbuat apa-apa karena begitu sampai di Malaysia ia tak mempunyai dokumen apa pun.

Tugas pemerintah

Persoalan TKI ilegal—atau sengaja dibuat ilegal—itu sebenarnya sudah lama terungkap. Pemerintah mestinya juga sudah sangat paham, tetapi tindakan nyata untuk melindungi pahlawan devisa itu sepertinya tak pernah serius.

Seorang TKI ilegal, misalnya, bia menjadi ilegal karena berbagai sebab. Pihak pemberi kerja biasanya menyimpan paspor TKI yang dipekerjakannya agar mereka tidak lari.

Bekerja setiap hari di perkebunan sawit tentu saja membuat para TKI sesekali ingin jalan-jalan. Pada saat seperti itulah mereka biasa ditangkap. Jelas saja mereka tak punya dokumen, karena pihak pemberi kerja juga tak memberi selembar pun surat keterangan bahwa orang itu berada di bawah lindungannya.

Untuk itu, mestinya pemerintah RI berani tegas minta kepada pihak Malaysia agar tak terjadi. (Ferry Santoso)