-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

07 May 2007

Bukan "Ekspor" TKI demi Devisa Negara

Kompas
7 Mei 2007

Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy

Tragedi ini menyelinap dalam kebisuan di dalam tumpukan tragedi yang terus berlangsung. Peringatan Hari Buruh 2007 menjadi peringatan bagi tewasnya 45 buruh migran Indonesia di luar negeri antara bulan Januari dan April 2007, dan 60 lainnya yang ditahan di penjara di negeri orang, di samping 100.000 yang dideportasi.

Sebanyak 37 buruh migran yang meninggal (sekitar 81 persen) adalah perempuan, sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Penyebab kematian beragam.


Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) menyebutkan, di Singapura penyebab kematian jatuh dari bangunan tinggi. Penelitian Sri Palupi dari Institute for Ecosoc Rights menyebutkan, kondisi psikologis merupakan faktor penting, terkait dengan kasus kematian karena kecelakaan.

Di Arab Saudi, mereka meninggal karena sakit dan kekerasan oleh majikan. Di Malaysia, disebabkan macam-macam, termasuk mati oleh milisi sipil bersenjata. "Dua orang sudah tewas di tangan mereka," ujar Anis dari Migrant Care.

Milisi itu, menurut Anis, mendapat iming-iming 80 ringgit Malaysia untuk menangkap satu buruh migran tak berdokumen. Target pada tahun 2007, penangkapan 800.000 buruh migran tak berdokumen, sebagian besar berasal dari Indonesia.

"Buruh migran kita di Malaysia resminya 800.000, tetapi jumlah seluruhnya sekitar 1,8 juta," ujar Anis. Di Malaysia terdapat sekitar 150.000 anak TKI tak bisa sekolah karena bukan warga negara. "Banyak warga Indonesia yang sudah tiga generasi di sana tanpa kewarganegaraan," sambung Anis. Itu sebabnya dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu Anis dan teman-temannya memprotes Pemerintah Malaysia melalui kedutaan besarnya di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta.

Tak banyak berubah

Situasi itu menegaskan, keadaan pekerja migran Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Setiap tahun sejak pertengahan tahun 1990-an, tambah Anis, setidaknya 100-153 buruh migran Indonesia tewas di tempat kerja.

Angka kerap kali mereduksi penderitaan di baliknya. Bagaimana situasi korban sebelum tewas? Penderitaan seperti apa yang ia rasakan? Semua menjadi misteri yang terkubur bersama jasadnya.

"Katanya kesetrum, tetapi bagaimana ia kesetrum, tidak ada penjelasan," ujar Sudarmianto (36), pacar Yuni Astuti, yang namanya di paspor dan dokumen lainnya berubah menjadi Eka Yuanita ketika berangkat ke Taiwan 15 September 2006.

Yuni yang diberangkatkan ke Taiwan untuk kedua kalinya oleh PT DWTK untuk bekerja sebagai PRT melalui jalur "kawin kontrak", tewas pada 1 Maret 2007. Ia hanya salah satu dari 44 buruh migran yang tewas di Malaysia (29 persen), Timur Tengah (31 persen), Singapura (20 persen), Hongkong (7 persen), Taiwan (11 persen), dan Jepang (2 persen).

Jumlah korban itu masih ditanggapi seperti suatu kebanalan, karena asumsinya risiko yang seharusnya dipertimbangkan buruh migran, bukan asumsi jaminan perlindungan negara terhadap warganya yang memberi sumbangan devisa sekitar 5 miliar dollar AS per tahun itu.

Korban dipandang sebagai sosok tak berwajah, tak bersuara, sehingga seluruh aksi serempak pada tanggal 1 Mei 2007 dapat dilihat sebagai upaya perebutan ruang untuk bersuara dan mengembalikan wajah kemanusiaan kepada korban.

Upaya perlindungan akan terus tergilas laju penempatan tenaga kerja. Buruh migran masih terus dipandang sebagai komoditas atau hasil produksi bila pendekatannya target pengiriman, meskipun dibalut pernyataan akan komitmen membantu yang tertipu, tereksploitasi, dan terabaikan haknya.

"Visi kami dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) adalah penempatan TKI yang berkualitas, bermartabat, dan kompetitif," ujar Direktur Penempatan BNP2TKI, Ade Adam Noch.

Sementara Bernard D’sami, perwakilan CARAM Asia—jaringan terdiri dari organisasi nonpemerintah dan organisasi berbasis komunitas dengan 23 anggota di 15 negara Asia— mengingatkan, pihaknya mendorong pemerintah menciptakan kesempatan bekerja bagi penduduknya dan tidak "mengekspor" warga negara untuk meningkatkan devisa negara. Program re-integrasi harus dilakukan bagi buruh migran yang pulang ke negara mereka, untuk dapat mengakhiri siklus migrasi yang tidak berperikemanusiaan itu.

Perlindungan buruh

Ade yang ditemui dalam kampanye perlindungan buruh migran PRT yang diselenggarakan CARAM Asia, Komnas Perempuan, dan Solidaritas Perempuan di Jakarta dalam rangka peringatan Hari Buruh Internasional, mengatakan, pemerintah menargetkan pengiriman 750.000 buruh migran tahun ini, naik dari 680.000 tahun lalu.

Menurut Anis, pemerintah juga memperluas tujuan kerja TKI dengan tambahan enam negara, termasuk wilayah yang tidak aman, Suriah. Meski bukan merupakan negara tujuan penempatan, tahun 2004 ditemukan sekitar 60.000 TKI berada di negara Timur Tengah nontujuan, sekitar 45.000 di Suriah, 10.000 di Lebanon, dan 5.000 di Irak. "Tahun lalu, Siti Maimunah meninggal di Lebanon karena terjebak perang," ujar Anis.

Bekerja di luar negeri seperti menjadi katup pengaman karena angka pengangguran yang tinggi, sekitar 10,9 juta orang, yang 49,26 persen di antaranya adalah perempuan dan 67,6 persennya berpendidikan sekolah dasar.

Kondisi ini memberi penegasan kepada laporan Situasi Dunia Kependudukan Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Kependudukan (UNFPA) tahun 2006 mengenai feminisasi buruh migran, karena 49,6 persen atau 95 juta buruh migran di dunia adalah perempuan. Sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga.

Implementasi kebijakan migrasi harus menjadi perhatian serius karena dalam praktiknya, modus perdagangan orang dengan mudah menyelip di "tikungan". Dengarlah penuturan Rohida (26) dari Karawang, "Saya bekerja 22 bulan di Suriah, pindah tiga majikan, hampir diperkosa, mengalami kekerasan, dan pulang tanpa upah sesen pun…."