7 Mei 2007
Mudjito (48) tidak dapat banyak berkata. Matanya menerawang dan basah ketika menuturkan keberangkatan anak pertamanya dari dua bersaudara, Yuni Astuti, ke Taiwan adalah karena ingin menyenangkan ibunya.
"Ibunya ada tumor di rahimnya, baru dioperasi. Sekarang di rumah. Saya beri tahu ibunya baru sehari sebelum jenazah Yuni sampai di rumah," tutur Mudjito tentang istrinya yang menunggu di Desa Kembang Arum, Kecamatan Sutojayan, Blitar, Jawa Timur. Jenazah Yuni sampai di desanya pada 14 April lalu.
Mudjito mendapat kabar dari PT DWTK, PJTKI yang memberangkatkan Yuni ke Taiwan, pada 3 Maret bahwa putrinya, Yuni (25), meninggal di Taiwan pada 1 Maret. Informasi yang dia terima, Yuni tersengat listrik.
"Kaki kanannya ada bekas hitam. Tetapi, saya tidak mengerti kenapa dia bisa tersengat listrik. Dia itu kerja apa?" lanjut Mudjito. Menurut Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei, Taiwan, Yuni meninggal di Banchiao City dan statusnya tenaga kerja yang kabur dari tempat kerja. "Saya masih ngganjel tentang cara meninggalnya itu."
Pada Hari Buruh 1 Mei lalu, Mudjito dengan ditemani Sudarmianto (36), pacar Yuni, berada di Jakarta untuk mengurus asuransi kematian Yuni. Dengan dampingan lembaga nonpemerintah, Migrant Care, Mudjito berhasil mendapat hak asuransi kematian Yuni sebesar Rp 40 juta ditambah Rp 5 juta biaya pemakaman.
"Kalau tidak ada pendampingan, biasanya asuransi tidak keluar. Yang sering terjadi, keluarga diberi tahu biaya pengiriman pulang jenazah disebut asuransi. Padahal, biaya itu disediakan terpisah oleh PJTKI," kata Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care.
Data diri diubah
Jumlah pekerja migran setiap dekade terus bertambah. Berdasarkan data dari Depnakertrans yang dikutip Komnas Perempuan memperlihatkan, pada dekade 1970-an jumlah buruh migran per tahun tak lebih dari 1.000 orang. Setelah itu, angkanya melonjak drastis, dekade 1980-an berangkat 50.000-an orang per tahun, tahun 1990-an 200.000-an orang, dan tahun ini pemerintah menargetkan 750.000 orang.
Keberangkatan mereka berarti devisa dan sudah terbukti kiriman pekerja migran itu menghidupkan ekonomi desa. Tahun 2005 buruh migran mengirim uang hampir Rp 25 triliun ke kampung mereka. Tahun 2006 pemerintah menargetkan penerimaan devisa Rp 30 triliun, dan pada tahun 2009 Rp 186 triliun dari penempatan 4 juta buruh migran.
Dari angka di atas, bisnis buruh migran memang menggiurkan sehingga terkesan penempatan mendapat prioritas daripada perlindungan untuk mereka. Kematian 45 buruh migran di tempat kerja selama 4 bulan pertama tahun ini tidak menarik perhatian, seolah-olah jumlah itu tidak ada artinya dibandingkan dengan target pemberangkatan 750.000 pekerja tahun ini.
Ketika berangkat, semua data diri Yuni, menurut Mudjito dan Sudarmianto, diubah. Nama desa asal diganti, namanya di paspor menjadi Eka Yuniati, dan umur pun 27 tahun. "Padahal, dia berangkat pakai PT (PJTKI) yang sama, enggak mungkin PT-nya enggak kenal. Waktu ditanya kok surat-suratnya beda, PT bilang itu maunya Yuni. Enggak masuk akal," kata Sudarmianto.
Ke Taiwan
Menurut Anis, tahun 2003- 2006 Yuni berangkat ke Taiwan melalui PJTKI yang sama memakai jalur "kawin kontrak" dengan warga Taiwan, yang sebenarnya menurut Anis Hidayah praktik perdagangan orang terselubung.
"Pengubahan data itu karena biasanya agen di Taiwan maunya orang yang fresh," kata Anis. "Sedangkan di Timur Tengah, maunya orang yang sudah pernah kerja di sana. Makanya, orang yang baru berangkat sering diberi paspor buruh yang sudah pernah kerja di sana."
Pada awal Januari, Yuni menelepon Sudarmianto, mengabarkan bahwa dia ternyata dipekerjakan di restoran walaupun kontrak menyebutkan pekerja rumah tangga (PRT). Yuni merasa pekerjaannya terlalu berat. Pada 17 Februari, Yuni kembali menelepon Sudarmianto mengatakan sudah pindah kerja di pasar. Lalu, datang berita pada 3 Maret bahwa Yuni meninggal.
"Dia berangkat 15 September 2006. Sisa gaji Yuni yang 1.400 NT (Rp 3,7 juta) diberikan juga ke saya," kata Mudjito. Dia masih sedih dengan status Yuni sebagai tenaga kerja kabur (lari dari majikan).
Persoalan di atas memperlihatkan tidak adanya perlindungan terhadap pekerja sektor informal, yaitu PRT. Padahal, buruh migran perempuan Indonesia—jumlahnya hampir 70 persen dari total—sebagian besar bekerja di sektor domestik.
"PRT tidak mendapat perlindungan sebab negara yang ditempati tidak mengakui PRT sebagai tenaga kerja formal. Pemerintah negara bersangkutan tidak mengontrol, PJTKI tidak mengontrol, pemerintah kita juga tidak mengontrol," kata Anis.
Ditemui saat peluncuran alat kampanye perlindungan pekerja domestik Asia yang diselenggarakan CARAM Asia, Solidaritas Perempuan (SP), dan Komnas Perempuan, Marhamah (22) menceritakan kekerasan yang dia alami.
Perempuan dari Desa Tanggung, Pamekasan, Madura, ini jari manis tangan kanannya terlihat bengkok sebab sebelumnya putus karena dilempar sandal kayu majikan perempuannya di Arab Saudi. "Dua tahun saya disiksa majikan dan tidak dapat gaji. Tidak dikasih kamar tidur, tidur di kamar mandi. Kuping kiri tidak dengar, mata tidak dapat melihat jelas karena dicolok tangan sama majikan," kata Marhamah.
Marhamah kabur ketika membuang sampah ke luar rumah tengah malam. Dia ditolong tetangga dan dibawa ke polisi yang mengirim Marhamah ke rumah sakit. "Dua bulan di rumah sakit di Arab, lalu di Jakarta 20 hari lagi di rumah sakit," tutur dia.
Kini, dia didampingi SP untuk mendapat biaya pengobatan mata dari PJTKI yang mengirim Marhamah. Upaya menjadi berliku sebab PJTKI bersangkutan menolak mengakui memberangkatkan Marhamah.
Sebelumnya, pada 200-2004, dia bekerja di Kuwait City. "Majikan saya baik," kata Marhamah. Uang itu dipakai membeli sepetak sawah. "Saya berangkat lagi tahun 2004 karena mau bantu orangtua, bikin rumah. Sekarang enggak dibolehin orangtua kerja."
Sedangkan Yuni, menurut Mudjito, hanya membawa pulang Rp 10 juta hasil kerja tahun 2003- 2006. "Selama dua tahun kerja, gaji dipotong tiap bulan, yang paling berat delapan bulan pertama," kata Sudarmianto.
Itulah nasib buruh migran di sektor informal. Nasib mereka seperti buah dadu, tidak tahu apakah beruntung mendapat majikan yang akan memenuhi hak mereka secara penuh, atau pulang sebagai jasad. (NMP/MH)(h35 7 Mei 2007)