27 Mei 2007
Bayaran Rp 600 Riyal, Sehari Kerja 21 Jam
Harapan mendulang riyal, pataka didapat. Inilah kisah Dwi Mardiyah, janda asal Karangsemanding Sukorejo Bangsalsari ini. Bukan gemerincing riyal yang dibawanya pulang dari Arab Saudi, tapi duka mendalam, yang tak akan pernah dia laupakan dalam hidupnya.
HARAPAN itu dia semai pada 2003 lalu. Demi memperbaiki ekonomi, Dwi Mardiyah memutuskan berangkat ke Makkah Arab Saudi untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Janda dengan seorang anak ini mengaku tak punya pilihan lain.
Awalnya semua baik-baik saja. Sampai di Arab Saudi dia langsung bekerja pada keluarga Abdurrahman. Majikan bersama istrinya sama-sama bekerja sebagai tenaga pendidikan dan memiliki 7 anak. Keluarga ini merupakan keluarga yang cukup kaya, mereka memiliki rumah yang besar, luas, dua lantai dengan 6 kamar mandi. Dan, Mardiyah adalah satu-satunya pembantu dalam rumah tersebut. Tapi, lama-kelamaan, dia merasakan pekerjaan itu begitu berat.
Dengan bayaran sebesar 600 riyal, setara dengan Rp 1,5 hingga Rp 1,6 juta per bulan, Mardiyah harus bekerja selama 21 jam sehari dan hanya punya waktu tidur maksimal selama 3 jam. Setiap harinya, Mardiyah bekerja sejak pukul 5 dan baru tidur pukul 02.00 hingga 02.30 dini hari. Yang menyebabkan minimnya jam istirahat adalah terlalu banyaknya pekerjaan yang harus dia lakukan. Dari bersih-bersih rumah yang sedemikian besar, mencuci beberapa keranjang pakaian setiap hari dan sekaligus menyeterikanya. Selain itu, dia masih harus memasak untuk 9 orang, membersihkan 6 kamar mandi dan lainnya. "Saya nggak kuat apalagi bayarannya juga terlalu rendah. Apalagi, berdasarkan kontrak dari Abdurrahman dengan PT Baham, jam tidur saya 8 jam," ungkapnya.
Setelah bekerja selama dua tahun, masa kontrak sekaligus visanya habis. Namun, keluarga tersebut meminta Mardiyah tetap bekerja di sana karena dianggap pekerjaannya baik. Mardiyah kemudian meminta kenaikan gaji dengan alasan pekerjaan yang sangat berat. Tapi, Abdurrahman menolak. Mardiyah akhirnya memilih melarikan diri dari majikannya tersebut dan mencari majikan baru yang bisa memberikan gaji lebih baik. "Sejak itu saya berganti nama menjadi Sa’diyah Ahmad dan pergi dari Makkah ke Jeddah. Saya terpaksa ganti nama karena takut ditangkap polisi. Apalagi visa saya sudah mati," jelasnya. Sejak itu, Mardiyah berstatus illegal.
Pelarian Mardiyah dari majikannya pada tahun 2005 lalu menjadi awal malapetaka panjang dalam hidup Mardiyah. Saat itu, dia menerima tawaran bekerja pada Fatma yang beralamat di New Al Ruwais Briman Jeddah yang berani menggajinya sebesar 1.000 real sebulan. Baru bekerja selama 2 hari, majikannya tersebut mengajak berkunjung di rumah Sumayyah yang belakangan dikenal sebagai mucikari. Tengah malam, Mardiyah ditangkap bersama lainnya termasuk Sumayyah. "Saya ini hanya korban ikutan dari Sumayyah. Saya samsekali tidak kenal dengannya. Apalagi di rumah tersebut juga tak ada laki-laki, yang ada hanya anak-anak. Di pengadilan dia dituduh sebagai germo dan membantu perzinahan oleh syekh setempat," jelasnya.
Jadilah vonis 2 tahun penjara plus hukuman cambuk sebanyak 700 kali harus dijalaninya. Setiap 2 minggu, dia harus meringis menahan sakit karena punggung, pinggang hingga pantatnya dihajar batang rotan sebanyak 70 kali. Namun, Mardiyah mengaku masih beruntung. "Yang menghukum saya kebagian yang tidak galak dan sabar. Sehingga kalau memukul tidak terlalu keras. Kalau algojo yang satunya mukulnya sangat keras. Yang di hukum kebanyakan pingsan," jelasnya.
Bilur yang perih membekas di tubuhnya. Untuk mengurangi rasa sakit dan agar tak terasa panas, dia mengolesi luka dengan fixs atau vaselin.
Selama dipenjara, Mardiyah mengaku tak punya aktivitas yang berguna. Dia hanya duduk, makan dan tidur di suatu penjara yang menyerupai aula. Dalam setiap aula, berisi sekitar 400 tahanan. Dia bercampur dengan tahanan dari Indonesia, Pakistan, Nigeria, Somalia, Yaman, Mesir, India, Irak, Sudan, hingga Tunisia. Rata-rata tahanan wanita tersebut masuk penjara dan mendapat hukuman cambuk atau rajam karena tuduhan berzina.
Kini, Mardiyah mengaku kapok. Dia menegaskan jika dirinya sudah tak ingin lagi menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dia juga mengaku tak percaya lagi dengan PT yang menawarkan kerja di Arab Saudi. Dia menyebut mereka sebagai pembohong yang tak bertanggung jawab. Selain itu, kendati bernama pembantu, pekerjaan yang mereka lakukan sangat jauh dari pekerjaan seorang pembantu. "Mereka menyebut kita budak. Itu jauh lebih parah dibandingkan kuli. Lebih baik saya cari kerja disini. Buat Taufiq (anak tunggalnya) sekolah," katanya.
Sementara itu, Muhammad Taufiq, anak tunggalnya, siswa kelas 2 SMPN 1 Bangsalsari mengaku lega dengan kedatangan ibunya. Sejak ada kabar bulan Maret lalu bahwa ibunya dipenjara dan dihukum cambuk, dia selalu bingung dan khawatir. Dia tak mampu belajar secara maksimal. "Saya hanya bisa berdoa semoga ibu saya tidak apa-apa dan bisa segera pulang," jelasnya. (zawawi)