27 Mei 2007
JEMBER - Empat orang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia terancam hukuman mati. Saat ini, mereka masih mendekam di penjara New Al Ruwaiz, Jeddah, Arab Saudi. Salah seorang dari mereka berasal dari Kabupaten Bondowoso.
Hal ini diketahui Dwi Mardiyah, TKI asal Dusun Karangsemanding Desa Sukorejo Kecamatan Bangsalsari, yang sempat dijebloskan selama setahun di penjara tersebut. Mardiyah kemarin malam berhasil pulang dengan selamat ke kampung halamannnya. Mereka masih menunggu proses hukum yang berlarut-larut tanpa didampingi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi.
"Jumlah TKW yang ditahan di sana sekitar seribu orang. Empat orang mau dihukum mati," kata Mardiyah. Empat orang yang terancam hukuman mati itu, menurut Mardiyah, dua orang berasal Banjarmasin, dan sisanya dari Bondowoso dan Madura. Nama TKI asal Bondowoso adalah Nur Fadillah, dan tinggal di Kecamatan Sukosari.
Berikutnya adalah Aminah dan Darma. Keduanya berasal dari Banjarmasin. Dan yang terakhir adalah Sulaemah berasal dari Pulau Madura.
Mardiyah menyatakan, keempat wanita tersebut berusia dalam rentang usia 28 tahun hingga 35 tahun dan semuanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kendati tidak mengetahui secara detil, Mardiyah mengatakan jika keempat wanita tersebut terancam hukuman mati karena dituduh telah membunuh majikan mereka. "Mereka dituduh membunuh majikannya dengan alasan majikannya tersebut melakukan penyiksaan yang berlebihan," jelasnya.
Namun, hingga saat ini, sepanjang yang dia ketahui, proses peradilan terhadap keempatnya masih belum tuntas dan vonis belum dijatuhkan. Karenanya, keempat TKI tersebut masih tinggal di penjara di penjara New Al Ruwaiz Briman, woman section 3, bersama 1000 lebih TKI yang dinyatakan bersalah dengan beragam tuntutan.
Kholili, ketua DPW Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur yang kemarin mendampingi Mardiyah membenarkan keterangan tersebut. Namun, dia mengaku belum bisa menggali lebih dalam karena kondisi mental dan kesehatan Mardiyah yang belum fit. Dia berencana menunggu hingga waktu yang tepat untuk menanyakan lebih detil tentang keempat TKI malang tersebut.
Selain menunggu kondisi Mardiyah, pihaknya juga akan melayangkan surat kepada ketiga daerah asal keempat TKI tersebut. Utamanya yang menjadi prioritas adalah Kabupaten Bondowoso karena masih termauk dalam wilayah SBMI DPW Jawa Timur. "Rencananya pekan depan kami akan melayangkan surat pemberitahuan adanya kabar tentang ancaman hukuman mati terhadap Nurfadillah tersebut ke Pemkab Bondowoso. Kami minta pihak pemkab untuk segera mengkonfirmasi nama tersebut, alamatnya dan langkah yang akan diambil," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga akan menginformasikan adanya empat TKI tersebut ke SBMI pusat di Jakarta untuk juga segera mengklarifikasi data tersebut ke KBRI di Riyadh. Sehingga, bisa segera diupayakan upaya advokasi terhadap nasib penymbang devisa tersebut.
Tentang Aminah dan Darma, pihaknya juga akan menyampaikan ke SBMI setempat untuk segera ditindaklanjuti. "Masalah ini harus ditanggapi secara serius karena penjara yang menghukum TKI tak hanya di Jeddah saja. Di kota-kota lainnya juga ada penjara semacam itu. Dan besar kemungkinan disana juga ada TKI yang diancam hal yang sama," ungkapnya.
Selain itu, Kholili juga menyatakan kekecewaannya yang mendalam terhadap kinerja KBRI di Arab Saudi yang seolah tak memiliki daya apapun dalam mengelola nasib para TKI di sana. Berdasarkan data yang dimiliki SBMI, jarang sekali KBRI segera mengetahui apa yang terjadi pada TKI. Misalnya, kabar kasus ancaman hukuman mati yang sangat terlambat saat diketahui oleh KBRI. Hal tersebut menunjukkan power KBRI di sana yang lemah. "Masak ada TKI yang butuh bantuan karena sudah disewenang-wenangi oleh majikannya malah dimarahi dan hanya disuruh sabar-sabar terus," jelasnya.
Belum lagi, sikap KBRI ataupun pemerintah Indonesia utamanya Departemen Ketenagakerjaan yang membiarkan perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia yang sangat sering melanggar aturan yang ada. Perusahaan-perusahaan tersebut seolah hanya mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Hanya awalnya saja yang bermulut manis. Setelah TKI sampai di Arab Saudi ataupun negara yang lain langsung dibiarkan saja dan bila ada masalah hanya disuruh sabar. "Pemerintah harus mengevaluasi secara total. Karena ini juga masalah harga diri bangsa ini," tukasnya. (zww)
Kamis, 24 Mei 2007
Tiap Pekan TKI Dideportasi
JEMBER - Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi ke tanah air, mengundang keprihatinan Gerakan Buruh Migran Indonesia (BMI) Jember. Ketua Dewan Pengurus BMI Jember Holili kemarin wadul ke Pansus LKPj DPRD Jember agar ada perhatian dari Pemkab Jember.
Holili memaparkan, kasus pendeportasian, trafficking (perdagangan manusia), pemalsuan identitas TKI, kekerasan fisik dan meninggal di luar negeri, pada tahun ini meningkat tajam. Selama 2006 lalu, kasus-kasus yang menimpa TKI itu hanya terjadi sebanyak 18 kasus.
Sedangkan tahun ini, secara kuantitas kasus-kasus tersebut naik tajam. Data Gerakan BMI Jember menyebutkan, selama 2007 ini terdapat 29 orang TKI yang dideportasi ke Jember, 32 orang TKI menjadi korban trafficking, 2 orang TKI tanpa identitas, seorang TKI terancam hukuman rajam dan seorang TKI meninggal dunia di luar negeri.
Menurut dia, ada beragam persoalan yang membelit para TKI. Misalnya, adanya sindikasi ilegal pengerah TKI yang bekerja mulai dari rekrutmen, pembuatan identitas yang kadang dipalsukan, hingga penempatan. "Akibat pemalsuan identitas pula, TKI Wiwik yang meninggal di luar negeri sulit ditemukan alamat aslinya karena identitas sudah dipalsukan," tandasnya.
Selain itu, Gerakan BMI Jember mengungkapkan, tahun ini ada sekitar 17 ribu TKI yang akan dideportasi ke Indonesia. Diperkirakan, ada 1.800 TKI asal Jember yang ikut dideportasi. "Kebanyakan dari mereka adalah TKI undocumented (dulu disebut ilegal, Red). Tak heran tiap Rabu di pelabuhan Tanjung Perak pasti ada TKI Jember yang dipulangkan. Rata-rata ada tiga orang," paparnya.
Dia juga mengungkapkan banyak modus trafficking yang dilakukan oknum berkedok calo TKI yang beroperasi di desa-desa. Sasarannya adalah para gadis lugu di desa yang diiming-imingi pekerjaan enak di luar negeri. Ujung-ujungnya mereka diperdagangkan dan kebanyakan terjerumus ke lembah hitam.
Sebab itu, dia minta kepada Pemkab Jember agar segera membentuk layanan pekerja migran satu atap. Persoalan pemalsuan identitas dan penempatan TKI, salah satunya disebabkan birokrasi yang rumit karena melibatkan banyak pihak. "Selain itu, sudah saatnya Jember punya Perda Pelayanan Buruh Migran. Tiap tahunnya remittance (uang kiriman TKI) mencapai Rp 360 miliar," tandasnya.
Sedang Wakil Ketua Komisi D DPRD Jember Sudjatmiko menyatakan, persoalan perlindungan TKI dan trafficking sudah menjadi salah satu usulan rekomendasi pansus dalam LKPj. Dia juga sepakat dengan usulan Gerakan BMI agar Perda Pelayanan Buruh Migran. (har)