4 Mei 2007
Benny Subianto
Sejak Orde Baru berakhir, LSM menjelma menjadi industri. Banyak donor internasional mengucurkan dana besar guna mendukung konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tak heran apabila muncul banyak LSM dengan program-program bertajuk good governance, peningkatan pelayanan publik, pemilihan umum yang demokratis, otonomi daerah, atau kebebasan sipil.
Agenda LSM telah bergeser dari perlawanan terhadap negara menjadi komplemen kebijakan demokratisasi negara. Pada masa Orde Baru (Orba), kegiatan advokasi, pelatihan, dan penelitian LSM bertujuan melakukan emansipasi terhadap masyarakat tertindas. Kini kebanyakan LSM yang dananya tergantung donor internasional melakukan penguatan masyarakat sipil yang sejalan dengan kebijakan negara.
Di zaman Orba, LSM dicurigai sebagai kelompok yang mewakili kepentingan asing, kini berbagai kelompok masyarakat mempertanyakan akuntabilitas LSM karena dianggap tidak akuntabel terhadap kelompok yang mendapat manfaat (beneficiaries), selain kritik atas rendahnya kapasitas dan kinerja, serta praktik kolusi antara LSM dan donor.
Antara resistensi dan industri
Berbagai lembaga donor Amerika Serikat dan Eropa Barat antusias mendukung demokratisasi di Indonesia. Karena dorongan pasar, tahun 1998-2001 adalah masa booming sekaligus awal perkembangan LSM sebagai industri. Bersamaan dengan itu, LSM kehilangan isu politik karena kebebasan sipil telah dibuka sejak Mei 1998 dan demokrasi prosedural telah tercipta pada 2004.
Banyak LSM yang semula tak bekerja di bidang demokrasi tiba-tiba beralih menjadi LSM dengan agenda konsolidasi demokrasi dalam berbagai varian dan turunan. LSM baru pun bermunculan, umumnya melakukan kegiatan sekitar pemantapan demokrasi, penguatan masyarakat sipil, dan good governance.
Tak ada yang salah dengan "industri LSM". Masalah muncul apabila ada "ketegangan" antara LSM dan partai politik. Hubungan LSM-partai politik ditandai rasa saling tak percaya. LSM menganggap partai politik tak menjalankan fungsinya, yaitu melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan konstituen. Sebaliknya, partai politik mencurigai LSM melakukan kontrol tanpa pernah akuntabel kepada siapa pun kecuali donor. Kehadiran LSM "dadakan" yang sengaja dibentuk instan oleh kekuatan politik, pejabat publik, atau "preman" untuk tujuan politik maupun bisnis jangka pendek membuat LSM kian terpuruk.
LSM sebagai kartel
Karut-marut dunia LSM merupakan akibat praktik kartel. Sumber dana LSM dikuasai segelintir elite LSM yang punya leverage terhadap donor. Mereka bisa meminggirkan LSM yang bukan kelompoknya meski LSM itu memiliki kapasitas, rekam jejak, maupun kinerja baik. Sebaliknya mereka bisa mengarahkan donor untuk mendanai LSM baru yang tak punya kapasitas maupun kinerja. Akibatnya, banyak LSM dengan program demokratisasi dan good governance tak mampu mewujudkan (deliver) manfaat bagi kelompok beneficiaries. LSM macam ini tak lain adalah lahan mata pencarian para pendiri atau pengurus saja.
Logika kartel jelas tak memungkinkan LSM akuntabel. Selama mekanisme kartel masih berlangsung, dana LSM lebih digunakan untuk kepentingan sendiri ketimbang beneficiaries. Elite LSM yang sarat kepentingan, pihak donor yang naif, dan kadang-kedang kolutif melahirkan oligarki "industri" LSM.
Kekuatan kartel di kalangan komunitas LSM telah menghambat pertumbuhan organisasi rakyat yang melakukan gerakan sosial di tingkat akar rumput. Komunitas LSM penuh bias kelas menengah kota yang elitis, terfragmentasi, serta tak memiliki fokus atau ideologi yang jelas.
Hingga kini belum ada parameter untuk mengukur keberhasilan LSM. Ini menjadi pembenar "industri LSM" yang hampir tak bermanfaat bagi beneficiaries. Demokrasi dan good governance mensyaratkan praktik yang akuntabel. Tanpa akuntabilitas, tak mungkin demokrasi dan good governance ditegakkan.
Benny Subianto Peneliti; Tinggal di Jakarta