-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

12 May 2007

Perubahan Sosial: Babak Akhir Proses Pemiskinan di Meruya Selatan

Kompas
12 Mei 2007

Mulyawan Karim

"Dulu di sini sawah semua," kata Buang Nasir (66), warga Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Apa yang dimaksud dengan kata dulu adalah rentang waktu hingga akhir 1960-an. Sebab setelah itu, terjadi banyak perubahan yang mengubah paras Meruya Selatan.

Seperti daerah lain di pinggiran Jakarta, Meruya Selatan kini juga telah berubah menjadi kawasan permukiman warga kelas menengah. Di sana terhampar tak kurang dari 10 kompleks perumahan pegawai pemerintah dan real estat karya pengembang swasta. Di samping berbagai fasilitas lain pendukung budaya dan kehidupan urban, di Meruya Selatan kini juga berdiri kampus Univesitas Mercu Buana, perguruan tinggi swasta milik pengusaha orde baru Probosutejo.

Padahal Meruya Selatan awalnya dulunya adalah daerah pedesaan yang tersisa di pojok barat daya Ibu Kota. Penduduknya hampir semua orang Betawi yang bekerja sebagai petani padi, sayur, dan buah-buahan.

"Kalau nggak punya sawah, penduduk di sini dulu pasti punya kebun sayur atau buah-buahan, yang luasnya bisa sampai satu-dua hektar," papar Buang yang juga Ketua RW 07.

Dia menambahkan, para petani Betawi Meruya Selatan biasa menjual hasil bumi ke berbagai pasar yang mungkin dijangkau, seperti Pasar Palmerah, Kebayoran Lama, Tanah Abang, dan Pasar Pesing.

Diawali PT Intercon

Proses perubahan dahsyat di Meruya Selatan mulai terjadi 1971. Pemicunya, kegiatan pembebasan lahan secara besar-besaran yang dilakukan PT Intercon Enterprise untuk membangun kompleks perumahan mewah Taman Kebon Jeruk.

Saat ini Intercon telah menguasai lahan sekitar 150 hektar, yang sekitar seperempatnya atau kira-kira 35 hektar masuk wilayah Meruya Selatan. Sisanya berada di dua kelurahan tetangga, Meruya Utara dan Joglo.

Pembebasan lahan dalam skala cukup besar, kemudian juga dilakukan pihak lain, termasuk beberpa instansi pemerintah. Depertemen Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, membebaskan lahan belasan hektar untuk membangun kompleks perumahan bagi pegawainya.

Berpindah tangannya lahan pertanian dalam jumlah besar dari warga asli Meruya Selatan kepada pihak lain yang mengalihkan penggunaan untuk berbagai kepentingan lain, menjadi salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya proses pemiskinan.

"Dulu, di sini biasa orang punya tanah berhektar-hektar. Sekarang, kalau kami masih punya tanah sebesar 300 meter persegi saja sudah bagus," kata Muhasim (60), warga Meruya Selatan yang juga Ketua RW 01.

Kecuali karena sudah banyak yang telanjur dijual kepada para pengembang, lahan milik warga Betawi Meruya Selatan juga makin kecil, karena terus bertambahnya populasi mereka. "Tanah warisan makin lama makin sempit. Makanya banyak orang Betawi di sini yang beralih kerja jadi petani tanaman hias, karena tak memerlukan lahan luas. Bertani padi atau sayur-mayur bisa rugi kalau dilakukan di lahan terbatas," tambah Muhasim.

Masih kata Muhasim, dulu warga Meruya Selatan umumnya lebih makmur. Tak ada warg yang sulit mencari makan seperti sekarang. "Paling tidak, beras selalu ada, karena produski dari sawah yang luas selalu cukup untuk semua. mencukupi semua. Mereka yang tak lahan pun selalu bisa membantu bekerja di sawah dan diupah dengan padi yang dihasilkan."

Merah, seorang warga sepuh tetangga Muhasim juga menyatakan hal sama. "Sekarang, mencari kerja jauh lebih susah dan orang berutang beras ke warung sudah jadi hal biasa," katanya.

Kalau masalah dengan PT Potanigra yang kini tengah dihadapi sebagian warga Meruya Selatan tak bisa diselesaikan dengan baik, bukan tak mungkin hal itu akan terus melanjutkan proses pemiskinan warga.

Masalah itu pun menyebabkan pengusaha perumahan terganggu. Direktur PT Binong Nuansa Permai, Leeds Agni Pamungkas, pengembang Meruya Residence, mengatakan, dunia usaha resah dan terganggu karena adanya isu itu. "Perumahan kami tidak bermasalah. Seluruh kavling di perumahan ini telah memiliki sertifikat," ujar Agni.

Perumahan mewah di lahan 4,9 hektar itu dibagi atas 150 kavling, dan memiliki sertifikat hak guna bangunan tahun 1998 yang berlaku 20 tahun. Saat ini, sudah 40 persen kavling terjual dengan harga Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar.