Sumatera Bagian Selatan
06 Juni 2007
Belum Ditangani secara Serius
Palembang, Kompas - Sebanyak 2.061 anak balita di Sumatera Selatan tercatat sebagai penderita gizi buruk dan 20.278 anak balita lainnya menderita kurang gizi dari total 193.782 anak balita. Jumlah itu dikhawatirkan terus meningkat karena penanganan anak balita gizi buruk dan kurang gizi hingga saat ini belum optimal.
Demikian data yang dihimpun Kompas dari Dinas Kesehatan Sumsel periode Januari sampai Mei 2007, Selasa (5/6). Meski demikian, persoalan gizi buruk dan gizi kurang di Sumsel hingga kini belum diimbangi dengan pemantauan dan penanganan yang optimal. Padahal, gangguan gizi dengan ciri berat badan di bawah normal akan bertambah parah jika terlambat ditangani.
Kepala Subdinas Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Sumsel Irmi Taty di Palembang, Selasa, menuturkan, penanganan gizi buruk dan gizi kurang pada 14 kabupaten/kota di Sumsel masih lamban. Penanganan yang lamban itu rawan menimbulkan komplikasi penyakit.
"Komitmen pemerintah kabupaten/kota untuk memantau dan menangani gizi buruk hingga kini masih minim. Padahal, penanganan penderita gizi buruk yang terlambat satu hari saja akan menyebabkan kondisi pasien semakin buruk," kata Irmi Taty.
Anak balita meninggal
Di Palembang, Minggu lalu, seorang anak balita gizi buruk, Hidayat (2), warga Lorong Mataram, Kelurahan Kemas Rindo, Kecamatan Kertapati, meninggal dunia di Rumah Sakit Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang setelah dirawat selama sepekan. Anak balita bertubuh kurus kering dengan bobot tujuh kilogram itu diduga mengalami komplikasi penyakit yang ditandai dengan sesak napas dan penyakit kulit.
Di RSMH, hingga saat ini masih terdapat pasien anak balita gizi buruk yang dirawat, antara lain dari Kabupaten Lahat, Prabumulih, dan Musi Rawas.
Pemerintah melalui dana APBN, kata Irmi Taty, mengalokasikan dana Rp 2,6 juta untuk setiap anak balita penderita gizi buruk. Sementara anak balita yang menderita gizi kurang mendapat bantuan makanan tambahan pendamping ASI berupa makanan pabrikan dalam kemasan, yaitu biskuit untuk anak balita 1-2 tahun dan bubur untuk usia 6-11 bulan dalam kurun tiga bulan.
Akan tetapi, sejak era otonomi daerah, pihaknya kesulitan membangkitkan komitmen pemerintah kabupaten/kota sampai puskesmas untuk memberikan perhatian dalam penanganan gizi buruk. Kendalanya adalah masih rendahnya kesadaran orangtua untuk memeriksakan anak balita mereka ke posyandu.
"Penanganan gizi buruk dan gizi kurang seharusnya dimulai sejak awal sehingga mencegah kondisi anak balita bertambah buruk," tutur Irmi Taty.
Pantauan Kompas, beberapa waktu lalu, beberapa puskesmas di Palembang mengaku kritisnya stok makanan pendamping ASI menyebabkan anak balita menjadi kurang gizi. (lkt)