Jumat, 22 Juni 2007
P Prasetyohadi
Ekspos publik dari kasus pekerja rumah tangga migran Ceriyati sangat bermanfaat untuk kepentingan pembelaan nasib buruh migran kita. Namun, cara yang sama ini pula mudah digunakan sebagai dalih banyak pihak untuk tidak segera memperbaiki karut-marut pengurusan buruh migran.
Sayang karena sia-sia seluruh perjuangan para pekerja migran di luar negeri. Sayang bahwa banyak buruh migran lain tetap tak terjamin perlindungan nasibnya. Wakil Presiden Jusuf Kalla segera mengimbangi (20/6) dengan satu pernyataan publik: "Cuma satu permintaan (kita), supaya (penganiaya) dituntut secara hukum." Akan tetapi, sesungguhnya masih banyak buruh migran yang hidupnya terancam dan didera oleh nasib tak menentu.
Kesulitan ekonomi membutakan mata sehingga mereka tak menyadari telah berhadapan dengan risiko tinggi dan ancaman global pasar tenaga kerja. Karena itu, perlindungan wajib dilakukan secara kategoris oleh pemerintah sejak awal akar penyebabnya memicu tindakan.
Kemiskinan struktural
Pengurusan bekerja ke luar negeri dewasa ini semakin menjadi persoalan genting. Pertama, karena kegagalan kita mengatasi masalah kemiskinan struktural di kawasan pedesaan. Kedua, karena terbukanya pasar dan perdagangan bebas tingkat internasional, termasuk perdagangan orang, sudah merasuk sampai tingkat desa-desa. Keadaan ini semestinya membuka mata dan hati kita untuk mengurus buruh migran secara lebih baik dan lebih menjamin nasib anak-anak perempuan desa dan negeri kita yang setiap hari terancam hidupnya.
Catatan Bank Indonesia wilayah kerja Jember sebagai salah satu daerah "sentra" asal migrasi kerja memperlihatkan lebih dari 11.600 buruh migran per bulan rata-rata mengirimkan uang hasil kerja (remittance) Rp 4,3 miliar. Ini berarti banyaknya kiriman uang setara dengan 60 persen besarnya pendapatan asli daerah (PAD) setempat. Betapa para buruh migran telah ikut menyelesaikan masalah akut kemiskinan di pedesaan, yang sesungguhnya dipercayakan oleh masyarakat kepada pemerintah agar ditangani.
Namun, kebanyakan pejabat tenaga kerja justru mempersalahkan para buruh migran menggunakan uang hasil kerja secara konsumtif, alih-alih melanjutkan kewajiban pemerintah mencerdaskan mereka dalam program reintegrasi. Anak-anak perempuan desa itu sesungguhnya telah terempas oleh gegar budaya global. Akibatnya, tanpa pengarahan memadai nasib mereka tetap telantar dan kembali jatuh miskin setelah remittance habis dalam hitungan waktu rata-rata hanya enam bulan. Karena itu, tak sedikit di antaranya segera berangkat lagi bekerja ke luar negeri dan kembali menghadapi ancaman hidup yang sama.
Di satu sisi, kemiskinan struktural merupakan motivator utama mengapa banyak perempuan muda dari desa mengadu nasib ke luar negeri. Persoalan struktural penguasaan sepihak atas sumber-sumber daya kehidupan di desa, seperti konflik tanah yang merebak seperti di kabupaten Jember yang disesaki oleh perkebunan besar merupakan persoalan yang tak jua mampu kita selesaikan. Kita belum mampu mengatur sehingga sumber daya itu dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemerataan pendapatan.
Di sisi lain, kebanyakan buruh migran tidak ditingkatkan keterampilan serta rasa percaya dirinya secara memadai terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja. Banyak yang tidak mendapatkan keterampilan penguasaan bahasa. Salah bicara atau lambat memahami sangat memungkinkan terjadi salah komunikasi yang melatarbelakangi tindak kekerasan dalam pola hubungan tak seimbang antara buruh dan majikan dalam rumah tangga.
Pemalsuan dokumen
Sudah saatnya kunci perlindungan buruh migran perlu diubah mulai dari tahap paling awal perekrutan di pelosok-pelosok di dalam negeri sendiri. Idealnya, pendidikan dan pelatihan buruh migran wajib dilakukan di tingkat kabupaten dan jangan disekap di banyak penampungan di Jakarta. Hal ini membuka peluang empuk memalsukan dokumen dan memeras. Karena itu, penegakan mekanisme sanksi dan kontrol masyarakat merupakan kunci sosial keberhasilan pemberantasan percaloan, pemalsuan dokumen, dan perbudakan modern.
Dari sisi usaha badan tenaga kerja, keterampilan buruh migran terbukti meningkatkan pasar job order dari negara penempatan. Padahal, selama ini kita tak mampu memenuhi permintaan pasar karena kita tidak menyiapkan para buruh migran itu secara sistematik, transparan, dan terpadu. Tanpa penataan yang jelas dan tegas, tingginya permintaan pasar tenaga kerja selama ini justru membuka peluang penggelapan dan perbudakan lebih banyak. Pemerintah wajib menyambut secara proaktif dengan persiapan, pengurusan dan perlindungan maksimal, tanpa mengabaikan hak dasar manusia dan kepentingan pembangunan nasional.
Bagi pemerintah daerah sendiri, banyak kegiatan yang terkait dengan pengurusan buruh migran dapat ditransformasikan secara positif menjadi item-item inovatif untuk meningkatkan PAD, seperti kegiatan pelatihan dan pendidikan, pelayanan transportasi, jasa asuransi, dan pelayanan penerbitan dokumen-dokumen keberangkatan. Namun, syarat utama agar dapat memanfaatkan peluang ini adalah mengubah pola etos kerja, membersihkan kinerja pemerintah dari inefisiensi dan korupsi, mengubahkan keseimbangan neraca keuangan dan program kantor-kantor dinas agar tetap lebih banyak yang disumbangkan kepada masyarakat daripada rata-rata 75 persen untuk dana rutin gaji pegawai pemerintah.
P Prasetyohadi Peneliti di Ecosoc Jakarta, Sedang Menggodok Pembaruan Peraturan Daerah untuk Pengurusan Buruh Migran