22 Juni 2007
Bagi banyak orang, penghargaan adalah pencapaian. Namun, Wahyu Susilo (40) malah mempertanyakan mengapa ia diberi penghargaan. Menurut dia, pembelaan terhadap buruh migran seharusnya merupakan kewajiban setiap warga negara.
Kabar bahwa dirinya diakui sebagai "a hero" oleh Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri AS, ia terima dengan perasaan risi. Ia merasa tak bekerja sendiri dalam isu migrasi lintas batas di Indonesia.
"Saya malah sangat kritis terhadap isu migrasi sebagai agenda antiterorisme AS karena definisi sepihak AS soal terorisme," katanya.
Namun, Wahyu melihat sisi baik dari penghargaan yang katanya akan diserahkan pada 28 Juni di Jakarta itu. "Agar isu trafficking lebih serius ditangani," ujarnya melanjutkan.
Undang-undang tentang penghapusan perdagangan manusia, baru terwujud setelah tekanan internasional terhadap posisi terbawah Indonesia dalam isu trafficking. Meski sekarang posisi Indonesia sudah "naik", Wahyu belum melihat kemajuan signifikan dalam penanganan isu ini.
Masalah perdagangan manusia tidak mudah diurai karena anggota keluarga juga bisa terlibat. Jaringan bisnisnya rumit dan tak jarang melibatkan aparat yang korup, dengan transaksi miliaran dollar AS per tahun di seluruh dunia.
Wahyu Susilo bukan nama asing dalam dunia pergerakan. Sejak pertengahan tahun 1990-an, ia selalu berada di depan dalam isu buruh migran.
Bersama organisasinya, Migrant Care, ia secara aktif melobi Pemerintah Indonesia untuk menemukan buruh migran yang hilang di negeri orang. Organisasi itu juga melakukan dokumentasi ribuan kasus pelanggaran, termasuk kekerasan dan kematian buruh migran.
Titik temu
Migrasi buruh migran, menurut Wahyu, rentan dikategorikan sebagai perdagangan manusia kalau prosesnya tidak aman. Karena itu, negara harus bertanggung jawab penuh terhadap seluruh proses, mulai dari perekrutan awal dalam mobilisasi buruh migran.
"Jangan hanya mau mengirim sebanyak-banyaknya, " kata Wahyu seraya menjelaskan standpoint-nya dengan memilih istilah "buruh migran" ketimbang tenaga kerja Indonesia (TKI).
Ia mengatakan, hak normatif buruh migran tak bisa dipenuhi dengan kebijakan menaikkan standar gaji secara sepihak. "Kebijakan itu lebih untuk menaikkan devisa. Sampai tahun 2009 diharapkan masuk Rp 169 triliun dari sektor ini."
Saat ini sekitar 2,5 juta warga Indonesia dari daerah-daerah kantong kemiskinan mencari penghidupan untuk keluarga dengan menjadi buruh migran. Lebih dari 70 persennya perempuan, bekerja di sektor informal. "Dimensi jender dalam migrasi sangat jelas," ungkap ayah satu anak perempuan ini.
Migrasi merupakan titik temu kultur patriarki dalam seluruh prosesnya, mulai dari dalam rumah sampai di tingkat negara dan ke sistem internasional. "Spektrum penindasannya luas dan dalam," ucapnya.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, menurut Wahyu, masalah krusial dalam isu ini, yaitu koordinasi antarlembaga pemerintah, masih sangat lemah.
Pemerintah seharusnya mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam setiap perundingan bilateral menyangkut buruh migran. "Jangan mengesankan negosiasi dagang, kan, yang dibahas adalah nasib manusia," ujar Wahyu, seraya menunjuk nota kesepakatan dengan Pemerintah Malaysia tahun lalu yang belum berpihak kepada buruh migran.
Ia mengungkapkan kekecewaan atas rendahnya respons elite politik terhadap isu buruh migran. "Termasuk elite politik di DPR yang lebih senang membahas interpelasi nuklir Iran, padahal itu tak terkait dengan nasib bangsa ini," ujarnya menegaskan.
Wahyu juga kecewa kepada elite politik yang meributkan perlakuan polisi Australia terhadap Gubernur DKI Sutiyoso, tetapi membisu terhadap nasib 23 TKI dan 130-an warga Aceh yang terancam hukuman mati di luar negeri, serta nasib sekitar 43.000 TKI "ilegal" yang akan dideportasi dari Arab Saudi.
"Saya tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan di Nunukan," ujar Wahyu tentang peristiwa kelam itu.
Enam bulan sebelum deportasi sekitar 350.000 buruh migran tanpa dokumen dari Malaysia yang dimulai akhir Juli 2002, ia bersama teman-temannya di Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) dan organisasi nonpemerintah lainnya sudah memperingatkan Pemerintah RI untuk mengantisipasi deportasi massal itu. "Peringatan itu tak digubris," ujar Wahyu terbata.
Maka, terjadilah eksodus buruh migran dari Malaysia Timur ke Nunukan, kabupaten baru di Kalimantan Timur yang berpenduduk sekitar 70.000 orang. Tindakan tanggap kemanusiaan yang dilakukan saat itu tak mampu menahan ratusan kasus kelaparan dan penyakit yang menewaskan 85 orang.
Thukul, simbol perjuangan
Wahyu dibesarkan di tengah keluarga miskin. Ayahnya tukang becak. Ibunya tak bisa baca-tulis. Karena itu, ia merasa sangat beruntung ketika berhasil menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi.
Sejak Wahyu duduk di bangku SMP, ayahnya selalu menyisihkan uang untuk beli koran. "Itu membuka wawasan saya," tutur anak ketiga dari empat bersaudara itu.
Kegiatan aktivismenya meningkat saat kuliah. Tekadnya bulat untuk berjuang bersama jutaan warga senasib, jalan hidup yang tidak mudah dan penuh risiko.
Di wajah buruh migran dan orang-orang yang terpinggir- kan itu, ia menemukan wajahnya sendiri. Pembelaan terhadap hak-hak mereka adalah pembelaan terhadap hak-hak hidupnya sendiri. Ada seutas tali pengalaman yang pejal, yang menghubungkan dirinya dengan mereka, menciptakan kesalingan dan solidaritas politik yang kuat.
Pembelaan terhadap hak-hak buruh migran juga merupakan bagian perjuangannya untuk Wiji Thukul, kakaknya. "Thukul menghilang sejak Agustus 1996 sebagai buron," ungkap Wahyu tentang penyair rakyat yang paling berani menentang kekejaman rezim Orde Baru.
Ia masih bisa berkomunikasi sampai April 1998. "Setelah itu kami tak dapat berkontak lagi. Saya yakin pada saat itu ia dihilangkan, " ujarnya.
Thukul menjadi simbol perjuangan mencari keadilan. Jadi, "Bukan soal ketemu atau tidaknya Thukul," katanya.
Biodata
Nama: Wahyu Susilo
Lahir: Solo, 3 November 1967
Status: Menikah
Pendidikan formal: Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret Solo (lulus, 1994). Sekarang menempuh pendidikan S-2 Ilmu Politik di Universitas Indonesia
Aktivisme dimulai sejak 1989 di Komite Solidaritas Korban Pembangunan Waduk Kedung Ombo. Aktivismenya membela buruh migran secara resmi dimulai tahun 1996 dengan Solidaritas Perempuan, sebelum ikut mendirikan Kopbumi, kemudian Migrant Care
Sejak tahun 2004, ia bekerja sebagai Project Officer MDGs di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan mengajar mata kuliah Buruh dan Hubungan Industrial di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya Jakarta (sejak 2005). (Maria Hartiningsih dan Hamzirwan)