Jumat, 06 Juli 2007
Jakarta, - Penerapan asuransi kesehatan untuk keluarga miskin atau askeskin masih terbentur sejumlah masalah di lapangan. Selain menyelesaikan masalah yang ada, pemerintah perlu melakukan stratifikasi masyarakat miskin serta meningkatkan premi agar bisa mencakup seluruh pelayanan kesehatan.
Demikian benang merah pendapat ahli ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Widodo J Pudjirahardjo, dan ahli ekonomi kesehatan yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, Kamis (5/7). Hal itu menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam rapat kerja Panitia Ad Hoc III dan IV Dewan Perwakilan Daerah, Selasa lalu di Jakarta.
Widodo saat dihubungi Kompas menjelaskan, masalah yang ada antara lain kriteria masyarakat miskin yang berbeda antarinstansi pemerintah, yaitu Departemen Kesehatan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Pusat Statistik, sehingga menyulitkan petugas melakukan verifikasi. Di sisi lain, ada petugas yang tidak tertib sehingga masyarakat yang tidak miskin bisa memiliki kartu keluarga miskin (gakin).
Selain itu, tidak dilakukan penetapan daftar penduduk miskin secara formal oleh pemerintah daerah setelah dilakukan verifikasi. Akibatnya, penerima askeskin bisa berubah tiap saat dan rawan disisipi orang yang tidak berhak mendapat bantuan. Masalah lain, kartu gakin tidak segera dikeluarkan sehingga penduduk miskin harus mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM). Hal ini bisa menjadi permainan di lapangan sehingga orang yang mampu bisa mendapat SKTM. Hal-hal itu perlu segera diatasi.
Beberapa waktu lalu pemerintah menetapkan sejumlah obat, misalnya obat kemoterapi, tidak dibayar lagi oleh askeskin. Hal ini menyusahkan masyarakat miskin karena harga obat itu tidak terjangkau mereka.
Menurut Widodo, besaran premi askeskin Rp 5.000 per orang per bulan untuk pelayanan kesehatan di tingkat rujukan (rumah sakit) tidak cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan secara paripurna. Idealnya, preminya Rp 10.000 per orang per bulan.
Saat ini, semua orang yang digolongkan miskin otomatis mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Seharusnya, lanjut Widodo, pemerintah melakukan stratifikasi penduduk miskin. Pengangguran dan orang usia lanjut yang tak mempunyai pendapatan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Namun, orang yang masih bekerja harus membayar 25-50 persen sesuai dengan pendapatan mereka.
"Dengan demikian, cakupan askeskin bisa lebih besar tanpa harus mengurangi fasilitas yang telah diberikan," kata Widodo.
Sementara itu, Hasbullah mengemukakan, UUD 1945 mengamanatkan, penduduk miskin dipelihara oleh negara. Karena itu, pemerintah harus menyediakan dana yang cukup untuk memelihara kesehatan mereka. Di Thailand, misalnya, untuk penduduk di sektor informal, pemerintah menyediakan 1.988 baht atau setara dengan Rp 500.000 per orang per tahun. Karena itu, seharusnya askeskin lebih dari Rp 60.000 per orang per tahun.
Jika dana kurang bisa diambilkan dari subsidi BBM. Karena dikhawatirkan penurunan subsidi BBM akan meningkatkan harga kebutuhan pokok, subsidi seharusnya dipertajam hanya untuk barang kebutuhan pokok, misalnya beras dan makanan bergizi, agar subsidi tepat sasaran.
Askeskin seharusnya menjadi bagian dari asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk sebagaimana UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk itu, diharapkan keppres tentang Dewan Jaminan Sosial Nasional segera terbit agar UU SJSN bisa diterapkan. (ATK)