25 Juli 2007
Oleh: Maria Bo Niok
Berita tentang Ceriyati, tenaga kerja wanita (TKW) yang meluncur
dari lantai 15, apartement Tamarind, Sentul, Malaysia menarik untuk
diulas, dicari inti permasalahannya dan diselesaikan secara hukum.
Kita semua tentu miris mendengar kelakuan tidak berperikemanusiaan
dari majikan yang menyiksa dia sampai begitu rupa sehingga Ceriyati
warga dusun Poncol, desa Kedung Bokor, Brebes, Jawa Tengah nekad
kabur dari penjara majikan dengan mengambil jalan yang berbahaya
bagi keselamatannya.
Saya yang pernah menjadi PRT (baca: pekerja rumah tangga) di negara javascript:void(0)
Publish Post
Hongkong dan negara Taiwan sangat-sangat merasakan penderitaan
Ceriyati. Sungguh majikan yang berulah seperti itu patut dihukum
sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Malaysia, bisa dikenakan
hukuman cambuk atau hukuman seumur hidup karena penderitaan tidak
dapat diganti dengan biaya ganti rugi sebesar apapun.
Dibalik Kepulangan
Saya bangga melihat aksi nekat Ceriyati. Keberanian itu perlu
dicontoh oleh teman-teman seprofesi yang bekerja di luar negeri.
Betapa dengan keberanian luar biasa dia menyambung pakaian untuk
dijadikan tali luncur selama satu bulan merajut tali itu.
Meskipun awalnya saya menganggap sikapnya itu bodoh tapi dengan
jujur saya akui itu sikap yang cerdik dan dia masih sehat secara
akal untuk tidak turun hingga lantai dasar.
Entah apa yang akan terjadi bila itu dia lakukan. Saya tidak berani
membayangkan andai tali kain itu terputus atau sobek mendadak.
Syukurlah Ceriyati bertindak cermat dalam situasi yang terdesak. Dia
sungguh-sungguh luar biasa.
Secara tidak sadar, langkahnya yang mempertaruhkan nyawa sendiri
itu, justru telah menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa tenaga
kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW) yang
bekerja di sektor informal (PRT) di luar negeri.
Tindakan tersebut adalah tindakan heroik dan dia pantas disebut
sebagai pejuang devisa sekaligus pahlawan devisa bagi para TKI
dimanapun berada. Bahkan yang sudah mantan tenaga kerja pun berani
mengakui kalau tindakannya sangat gagah berani.
Andai Ceriyati terjatuh dan meninggal saat itu, tentu tindakan tidak
berperikemanusiaan dari majikannya akan terkubur bersama jasadnya
bahkan bisa jadi kasusnya bisa langsung dipetieskan seperti kasus-
kasus serupa yang sering menimpa tenaga kerja Indonesia..
Kenapa? Karena pengadilan tidak mempunyai saksi hidup yang bisa
ditanyai tentang tindak kriminal majikan. Bagi para majikan tersebut
(baca: pemakai tenaga kerja Indonesia), satu PRT mati tidak masalah
karena mereka masih dapat mencari PRT lain yang bisa diperbabu dan
diperbudak.
Kembalikan ke negara asal, ganti rugi lalu kasus selesai secara
hukum `rimba'. Si majikan-majikan itu akan berusaha untuk menutupi
segala kelakuan yang menyebabkan sang PRT itu bunuh diri, loncat
dari jendela atau meluncur dari ketinggian seperti yang dilakukan
Ceriyati.
Saya salut dengan kecekatan Migrant Care yang langsung turun tangan
membantu keluarga korban dan berusaha mempertemukan keluarga
Ceriyati dengan Ceriyati di Malaysia. Itu langkah bagus dan tepat!
Meskipun langkah itu berusaha dijegal dengan berbagai dalih dari
pihak-pihak yang merasa terusik. Kita semua berharap banyak dengan
langkah Migrant Care agar persoalan itu diurus hingga tuntas dan
mencabut akar. Yang salah disalahkan dan yang benar dilindungi.
Betapa kita patut berterima kasih pada Ceriyati dengan kenekatannya
itu. Saya yakin masih banyak majikan-majikan yang tidak
berperikemanusiaan seperti majikan Ceriyati saat ini.
Namun dengan keberanian Ceriyati ini, majikan yang lain akan
berpikir ulang untuk mengunci PRT di rumahnya lagi tanpa pengawasan
yang super ketat.
Selain itu, juga akan berpikir ulang untuk menyiksa PRT. Tentu
mereka akan sedikit kuatir kalau-kalau kelakuannya akan diketahui
umum, seperti kasus Ceriyati. Ibaratnya Ceriyati telah mendonorkan
darahnya buat teman-teman seprofesi dan menyelamatkan nyawa mereka
dengan mengiris urat jantung sendiri.
Diskriminasi dan Intimidasi
Saya juga menyesalkan tanggapan orang-orang Malaysia yang pernah
dimuat media terkemuka di Negara Malaysia. Beberapa orang yang
menghina dan menyepelekan kasus ini bukanlah orang sembarangan
karena salah satunya adalah seorang tokoh di Malaysia.
Betapa seorang Presiden Persatuan Agency Pekerja Asing (PAPA), Datuk
Raja Zulkepley Dahalan mengatakan bahwa PRT dari Indonesia
berkualitas rendah dan dikategorikan sebagai kelas E.
Kalau orang-orang tersebut sudah tahu tenaga kerja Indonesia
berkualitas rendah, mengapa mereka masih saja mau menerima TKI
(khususnya PRT) dari Indonesia?
Setidaknya pemerintah Malaysia harus memberi penyadaran terhadap
pejabat-pejabat penting yang mengurus masalah ketenagakerjaan di
Malaysia. Jangan hanya menyalahkan bahkan menghina para pekerja dari
Indonesia seolah Negara Indonesia memasok sampah ke Negara Malaysia.
Penghinaan dari Datuk Raja Zulkepley adalah salah satu bentuk
penghinaan yang menyakitkan hati bangsa Indonesia, khususnya
perempuan-perempuan Indonesia. Selama ini Indonesia mengirim tenaga
kerjanya sudah sesuai ketentuan dan ketetapan hukum yang berlaku
antar kedua negara.
Selain itu perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi tenaga kerja
di luar negeri khususnya yang bekerja di Malaysia sungguh-sungguh
bekerja untuk memperoleh gaji yang layak bukan untuk 'jual diri'.
Semua masyarakat Indonesia juga tahu bahwa perhatian pemerintah
Malaysia terhadap TKI sangat kurang bahkan terkesan
menganaktirikan. Apalagi bila yang kena masalah adalah tenaga kerja
yang masuk secara ilegal. Dengan gagah dan lantang para RELA atas
nama pemerintah Malaysia langsung memburu dan menghakimi TKI dengan
hukum `rimba'.
Penyelesaian Bilateral
Alangkah baiknya bila Indonesia dan Malaysia membuat perjanjian
bilateral yang mengikat kedua negara dan mencantumkan ketentuan jam
kerja, libur, waktu istirahat, gaji, sanksi bagi majikan yang tidak
memenuhi hak pekerja dan hukuman bagi agency yang tidak
bertanggungjawab atas keselamatan pekerja di tempat majikan. Yakni,
dengan memorandum of understanding(MOU).
Kita semua berharap dengan adanya MOU tersebut tidak akan ada lagi
kasus-kasus serupa Ceriyati. Dan pejabat-pejabat Malaysia yang
berhubungan langsung dengan dunia ketenagakerjaan tidak lagi
sembarangan menghina tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Selain itu, kasus-kasus yang pernah menimpa tenaga kerja Indonesia
di Malaysia segera diselesaikan. Sebaiknya pihak pemerintah (dalam
hal ini KBRI di Malaysia) gencar dan proaktif menyelesaikan kasus-
kasus yang menimpa PRT.
Kasus yang menimpa Lilis, PRT asal Bandung, harus segera
diselesaikan. Termasuk kasus yang menimpa Nirmala Bonat, PRT asal
Kupang, Nusa Tenggara Timur (3 tahun lalu).
Jangan membodohi Nirmala Bonat, Sani, dan teman-teman PRT lainnya
dengan dalih tinggal di Malaysia untuk menyelesaikan kasus mereka
secara hukum, tapi justeru mempekerjakan mereka di KBRI Kuala
Lumpur sebagai pembantu, tukang masak atau cuci piring.
Lalu bagaimana dengan Ceriyati? Ceriyati telah dipulangkan ke
Indonesia tetapi kasusnya belum selesai secara hukum. (37)
-- Maria Bo Niok,
Penulis Novel "Ranting Sakura", pemerhati buruh migran,
dan bekas PRT di Hongkong dan Taiwan.