Minggu, 22 Juli 2007
lelayu
FRANS SARTONO
Seniman Asmuni meninggal dunia dalam usia 75 tahun, Sabtu (21/7) pukul 13.30 di Kampung Jatipasar, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Panggung komedi kehilangan seniman lawak yang tumbuh dari panggung komedi kehidupan rakyat—bukan pelawak dadakan yang terasing dari kehidupan.
Jenazah seniman kelahiran Surabaya, 17 Juni 1932, itu rencananya akan dimakamkan Minggu (22/7) pukul 09.00 di Desa Diwek, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. Asmuni meninggalkan seorang istri, Wirantinah (67); tiga anak, Asminar Wahid, Isnin Ashari, dan Nining Astria; serta sembilan cucu.
Nama Diwek pernah diangkat Asmuni dalam sebuah lawakannya di televisi. Saat itu ia memerankan tokoh ayah, wong ndeso, dari Diwek yang datang ke Jakarta untuk menengok anaknya. Akan tetapi, ia tidak diakui oleh anaknya yang telah kaya raya.
Asmuni memang menyerap realitas kehidupan rakyat dan membawanya ke pentas. Dalam kondisi hidup yang payah pun Asmuni masih mampu "mengomedikan" diri sendiri.
"Waktu sakit, Bapak malah bercanda terus," kenang Nining Astria (28), putri bungsu Asmuni.
"Aku celukno suster sing ayu-ayu ya (Panggilkan suster yang cantik-cantik ya)," tutur Nining menirukan seloroh Asmuni saat dirawat.
Asmuni dalam beberapa tahun terakhir mengalami gangguan kesehatan, termasuk mengidap batu ginjal dan asam urat. Selama beberapa waktu ia menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Rekso Waluyo, Mojokerto.
"Suster yang merawat malah di-godain. Suster-suster juga senang menggoda Bapak. Waktu Bapak enggak doyan makan, suster mencandai, ’Ya sudah, Bapak mau makan apa saja boleh?’ Bapak minta capjae," tutur Nining.
Capjae atau capcai adalah makanan yang termasuk dalam vocabulary panggung Srimulat. Capjae di jagat Srimulat menjadi semacam simbol kelas mewah. Dalam konteks lawak, capcai tidak layak dikonsumsi oleh orang-orang yang bukan dari kelas majikan. Pembantu di jagat lawak tidak layak makan capcai dan tidak boleh duduk di kursi tamu karena gajinya seumur hidup tak bisa untuk membeli kursi itu. Jika tak ada orang, pembantu duduk seenaknya di kursi.
Mungkin baik untuk diingat, Srimulat sering menggunakan adegan pembuka berupa monolog seorang pembantu rumah tangga. Ia melakukan semacam perlawanan diam-diam kepada majikan dengan cara ngrasani — membicarakan tabiat majikan. Perlawanan itu menjadi komedik—tidak sangar—dalam gaya Asmuni.
Ingat Asmuni sebagai pembantu dengan belangkon dan kumis ala Hitler. Ia cukup menyentuhkan lap ke meja dan menganggap seluruh meja sudah bersih. Lawakan model ini tidak akan lahir dari kultur yang tak mengenal hidup susah. Setidaknya dari pelawak yang tak bisa berempati pada kehidupan kaum susah.
Ketika memerankan tokoh orang kaya, Asmuni menggunakan simbol-simbol materi. Ia mengenakan dua arloji tangan di tangan kanan dan kirinya, tetapi mati semua. Dalam kapasitas sebagai tokoh kaya itu, ia pernah berucap, "Orang kaya kok salah ha-ha-ha-ha-ha...!"
Jumlah ha yang lima kali diucapkan runut itu khas milik Asmuni. Banyolan Asmuni era 1980-an itu merupakan kritik telak pada arogansi kekuasaan. Ucapan itu mewakili keresahan rakyat yang tak berkutik melawan arogansi tersebut. Ia tidak menuding langsung atau dengan ungkapan verbal, tetapi membahasakan sindiran dengan banyolan.
"Cingur-e" Asmuni
Dalam pentas kehidupan, Asmuni menata hidupnya secara tertib. Menurut pelawak Tarzan, yang mengenal dekat Asmuni sejak di Srimulat Surabaya, Asmuni telah jauh hari memikirkan kesejahteraan keluarga jika kelak ia tak bisa naik pentas lagi.
"Dulu sebelum kami mengenal bank, kalau dapat duit, Asmuni membeli kalung dan gelang (emas). Saya sama Mas Asmuni gede-gedean kalung. Jadi, kami mejeng sambil nabung," kenang Tarzan.
Ketika Asmuni memamerkan kalung emasnya, kata Tarzan, itu bukan dalam rangka sombong. Akan tetapi, diam-diam Asmuni mengajak rekan-rekan pelawak untuk menabung, tidak foya-foya. Itu cara Asmuni "mendidik" yuniornya.
"Dia itu berwibawa dan bertanggung jawab. Pernah ada pelawak yang mabok waktu mau main, Asmuni tegas melarang, ’Kowe gak usah main’," kenang Tarzan.
Istri Asmuni, Wirantinah, menurut Tarzan, pandai mengelola penghasilan, misalnya dengan membuka warung makan di Slipi, Jakarta, dan di Mojokerto. Sampai akhir hayat keluarga Asmuni menjadikan warung sebagai tumpuan penghasilan keluarga.
"Tabungan Bapak itu ya cuma warung. Ini dibuka sejak saya masih taman kanak-kanak. Kata Bapak, warung itu untuk masa depan," tutur Nining.
Warung itu diberi nama Warung Rujak Cingure Asmuni. Nama itu berbau banyolan. Cingur dalam makanan khas Jawa Timur adalah hidung sapi. Cingur-e Asmuni bisa diartikan hidungnya Asmuni. Menu makanan pun dibuat gaya banyolan, misalnya Sop Buntute Asmuni—sop buntutnya Asmuni.
"Sehari-hari bapak nungguin warung sambil glundang-glundung (tiduran) sama cucu. Dia ikut ngobrol sama tamu. Gus Dur dulu pernah mampir ke sini," kenang Nining.
Ha-ha-ha-ha-ha!
Seniman bernama lengkap Toto Asmuni ini mengenal panggung dari ayahnya, Asfandi, seniman sandiwara keliling seangkatan Tan Tjeng Bok. Asmuni menapak panggung tahun 1947. Semula ia menjadi penyanyi dari kelompok sandiwara Bintang Timoer.
Ia pernah bergabung dengan badan kesenian yang dikelola militer. Ilmu komedi diserap Asmuni saat bergabung dalam kelompok sandiwara Lokaria pimpinan Amang Rahman di Malang sampai tahun 1974. Tahun 1975, Asmuni masuk Srimulat.
Dari panggung ke panggung, dari kehidupan ke kehidupan, Asmuni berolah komedi dan menyodorkannya ke khalayak. Orang terpingkal menertawakan diri sendiri yang sebenarnya disindir Asmuni. "Orang kaya kok salah, ha-ha-ha-ha-ha!"
Kini, kita hanya bisa mengenangnya di tengah kehidupan yang kian pahit.