-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

21 July 2007

Pemerintah Diharapkan Lebih Bijak Atur CSR

Kompas
Sabtu, 21 Juli 2007

Sebaiknya Diimbangi dengan Insentif Berupa Pengurangan Pajak

Jakarta, Kompas - Baik atau buruknya amanat Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang mewajibkan perseroan menganggarkan dana pelaksanaan tanggung jawab sosial, bergantung pada aturan pelaksanaan yang akan disusun pemerintah. Terkait hal itu, dunia usaha berharap pemerintah lebih bijak menafsirkan aturan ini.

Harapan tersebut dikemukakan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno, dan Ketua Badan Pembina Indonesia Business Link Noke Kiroyan, Jumat (20/7). RUU Perseroan Terbatas disetujui DPR untuk disahkan, Jumat kemarin.

Pasal 74 Ayat 1 UU PT tersebut menyatakan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Inilah yang dimaksud dengan corporate social responsibility (CSR)

Pasal 2 berbunyi, tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.

Pasal 3 menggariskan, perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana pasal 1 dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.

Awal pekan ini Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha membuat pernyataan bersama menolak ketentuan pada RUU PT yang mewajibkan perseroan menyisihkan sebagian laba bersih untuk pelaksanaan CSR. Menyikapi penolakan dunia usaha, Panitia Khusus (Pansus) RUU PT melontarkan perubahan pasal yang dianggap bermasalah itu.

Hidayat menyambut baik kompromi yang dilakukan pansus menjelang pengesahan rancangan aturan itu. "UU yang disahkan ini sudah menunjukkan kompromi. Sebelumnya, diusulkan ada persentase tertentu dari laba bersih yang dianggarkan untuk CSR. Kalau begitu, sama saja pajak tambahan. Sekarang ditetapkan CSR diperhitungkan sebagai biaya perseroan, begitu lebih baik," ujar Hidayat.

Ketua Pansus RUU PT Akil Mochtar menjelaskan, kewajiban perseroan bidang tertentu menganggarkan dana pelaksanaan CSR dalam UU bersifat sukarela karena dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran. Namun, kata Akil, pemerintah memiliki kewenangan menentukan besaran biaya CSR yang harus dianggarkan, misalnya, berdasarkan skala usaha.

Hidayat menegaskan, Kadin akan tetap menolak jika peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan ketentuan tentang CSR ini menetapkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan perseroan untuk membiayai pelaksanaan CSR.

"CSR seharusnya tidak ditetapkan besarannya oleh pemerintah. Jika CSR diatur seperti itu, Indonesia akan menjalankan ketentuan yang tidak lazim dalam praktik bisnis internasional. Ini bisa jadi kerikil dalam iklim investasi kita," ujarnya.

Pandangan senada dikemukakan Benny Soetrisno. Ia mengharapkan PP yang akan mengatur CSR tidak menafsirkan ketentuan dalam UU PT dengan lebih rigid sehingga membatasi ruang gerak pelaku usaha.

"Batasan kepatutan dan kewajaran itu apa? Tidak jelas juga. Kalau PP makin dalam mengatur CSR, bakal jadi makin ruwet. Lebih baik, diperjelas saja konteks kegiatan usaha pada bidang sumber daya alam itu, khususnya sumber daya alam yang tidak terbarukan," ujar Benny.

Noke menambahkan, CSR perlu dipahami sebagai komitmen bisnis melakukan kegiatannya secara beretika serta berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, melalui bekerja sama dengan para pemangku kepentingan.

"Artinya, sebenarnya pengertian CSR itu melampaui apa yang diatur UU. Kalau sebatas tanggung jawab lingkungan, misalnya, itu kan sudah diatur lebih lengkap dalam UU lain," ujarnya.

Tidak lazim

Juru bicara Fraksi Partai Demokrat Azam Azman Natawijana mengungkapkan, di negara-negara maju, CSR memang tidak lazim diatur. Hal itu disebabkan kesadaran sosial dan lingkungan pengusaha di negara-negara tersebut lebih baik daripada pelaku usaha di Indonesia. Regulasi yang mengatur aspek sosial dan lingkungan dari kegiatan bisnis juga berjalan lebih baik.

Terkait itu, Noke mengingatkan, jika kinerja bidang sosial dan lingkungan dipandang belum berjalan baik di Indonesia, mekanisme sistem pada masing-masing bidang lebih baik diperkuat daripada meregulasi CSR.

Jadi insentif

Secara terpisah, Ketua Pansus Pajak DPR Melchias Mekeng mengatakan, kewajiban untuk melakukan CSR dalam UU PT sebaiknya diimbangi insentif berupa pengurangan pajak.

"Tanpa insentif, suatu perusahaan bisa menempuh berbagai cara agar kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Sebaliknya jika ada insentif sebagai imbangan, CSR tersebut tentunya akan dilaksanakan dengan baik dan benar," kata Melchias. (DAY/TAV)