-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

25 August 2007

Impor Tenaga Kerja, Tak Semudah Itu...

Kompas
Sabtu, 25 Agustus 2007

Salah satu poin penting Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) Jepang-Indonesia adalah dibukanya akses pasar kerja Jepang bagi tenaga-tenaga kerja Indonesia yang semiterampil dan berketerampilan rendah (unskilled).

Benarkah ditandatanganinya EPA membuka peluang terjadinya migrasi tenaga kerja Indonesia yang sulit mendapatkan pekerjaan di sini untuk mengisi peluang kerja di Jepang, dalam jumlah besar?

Tampaknya tidak segampang itu. Untuk bisa masuk ke pasar Jepang—meskipun sudah ada kesepakatan EPA—tenaga kerja Indonesia dan negara lain (seperti diungkapkan beberapa pejabat Jepang dalam berbagai kesempatan) tetap harus memenuhi akreditasi dan sertifikasi yang berlaku Jepang, tak cukup dengan sertifikasi negara asal. Dan yang jelas, mereka juga harus bisa berbahasa Jepang.

Selama ini, Jepang hanya membuka pintu untuk tenaga profesional dan berketerampilan tinggi. Baru kali ini Jepang lebih terbuka menyangkut impor tenaga kerja kurang terampil dan semiterampil—atas desakan Kadin Jepang atau Keidanren—kendati di dalam negeri sendiri masih terjadi kontroversi.

Jumlah pekerja asing yang dibutuhkan Jepang selama kurun 1995-2050 untuk mengatasi krisis tenaga kerja—akibat terus menurunnya tingkat kelahiran dan terus meningkatnya proporsi penduduk usia lanjut dalam 40 tahun terakhir—diperkirakan mencapai 33,5 juta orang.

Jepang juga mengalami kelangkaan tenaga kerja di sektor atau jenis pekerjaan tertentu, terutama pekerjaan kasar, kotor, dan berbahaya, karena generasi muda Jepang cenderung menghindari pekerjaan seperti ini.

Dirjen Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans I Gusti Made Arka mengatakan, EPA Jepang-Indonesia merupakan tantangan sekaligus peluang untuk penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Jepang.

Jepang bersedia menerima TKI meski dibatasi sektor yang bisa diisi saja, menurut dia, sudah sangat luar biasa. Pasalnya, usaha untuk meyakinkan Jepang agar bersedia menerima TKI sangat berliku. Sebelum ada kesepakatan, beberapa kali pihak Jepang telah meninjau sejumlah balai pelatihan tenaga kerja luar negeri, termasuk penampungan dan semua fasilitas pendukung dalam proses penempatan.

Jepang juga mengisyaratkan standar pelatihan dan keterampilan yang cukup ketat dan semua elemen terkait penempatan. "Semua aspek diminta sesuai standar Jepang seperti keterampilan dan pelatihan. Syarat ini cukup berat tetapi Indonesia saya yakin bisa," kata Arka.

"Ini kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukkan ke negara lain bahwa TKI mampu bersaing di luar negeri. Kendatipun kita belum tahu berapa kuota bagi TKI untuk bisa bekerja di negeri tersebut," tambahnya.

Intinya, kata Arka, semua elemen terkait dalam proses penempatan harus menunjukkan komitmen. Tidak bisa lagi jalan sendiri-sendiri. Apalagi perlu waktu dua tahun untuk meyakinkan Jepang, sebelum penandatanganan EPA.

Namun, mengenai program-programnya, dia belum menyebutkan. Kalau Indonesia baru akan berpikir, maka Thailand dan Filipina yang sudah lebih dulu menandatangani EPA dengan Jepang sudah jauh lebih siap meraup peluang tersebut. Dibandingkan Indonesia, mereka sudah lebih banyak memanfaatkan peluang kerja di negara-negara maju untuk perawat dan tenaga perawat orangtua atau bayi.

Thailand, misalnya, bekerja sama dengan universitas-universitas terkemuka negara itu, setiap tahun melatih serta menerbitkan puluhan puluhan sertifikasi bagi tenaga terampil dan semiterampil yang memenuhi standar internasional dan negara maju. Mereka juga membantu tenaga kerjanya memperoleh akreditasi dan sertifikasi di negara tujuan. Ini yang tidak ada di Indonesia.

Sama seperti Indonesia, kedua negara yang menjadi pesaing Indonesia dalam pengiriman tenaga kerja kurang terampil atau semiterampil di berbagai negara ini juga mengincar/menginginkan Jepang membuka lebih luas pintu untuk masuknya pekerja di bidang medis dan perawat.

Pemerintah Thailand juga meminta Jepang menerima pekerja kurang terampil dari negaranya, seperti baby sitters, pembantu rumah tangga, dan pekerja kurang terampil lain, pemijat, pemotong rambut dan penata rambut, serta pekerja lain yang sudah lolos tes keterampilan terkait pekerjaan tersebut di Thailand.

Jepang mengatakan akan mau menerima para tenaga perawat dan caregivers dari kedua negara, tetapi sebelumnya harus lolos sertifikasi Jepang dulu selama periode training (tiga tahun untuk perawat dan empat tahun untuk caregivers). Sekali mereka memenuhi kualifikasi yang ditetapkan, mereka bisa memperpanjang masa tinggal di Jepang.

Meski perawat dan tenaga perawat Indonesia lebih disukai karena telaten, tanpa adanya kuota dan penyiapan secara matang oleh pemerintah, para calon tenaga kerja Indonesia jangan-jangan hanya bisa gigit jari dalam persaingan dengan pekerja Thailand, Filipina, China, atau negara lain dalam memperebutkan pasar kerja Jepang. (eta/tat)