Radio Netherlands, 14-02-2008
Berapa persis korban perdagangan manusia sulit diketahui. Secara kasar PBB mencatat 2,5 juta orang diperdagangkan dari 127 negara ke 137 negara. Mereka kebanyakan dipaksa menjadi buruh murah dan pekerja sex. Kemudian dijadikan obyek jual-beli pernikahan, adopsi ilegal, pengemis dan, ini yang paling seram, organ tubuhnya dibisniskan. Nirmala Sinaga merupakan satu dari sejumlah perempuan yang aktif memerangi perdagangan manusia.
Ia tinggal di Pulau Batam, Indonesia, dekat perbatasan negara tetangga Singapura dan Malaysia.
"Jadi penampungan ilegal pasti ada, karena Batam sering dipakai sebagai kota transit sebelum ke luar negeri," kata Nirmala.
Angka akurat jumlah orang yang diselundupkan via pulau itu belum diketahui. Penyebabnya, banyak terdapat pelabuhan-pelabuhan gelap, di mana seseorang bisa berangkat tanpa tercatat.
Buruh migran
Tapi tanpa itu pun Batam sudah populer sebagai daerah singgahan buruh migran. Tidak sulit menemukan pekerja-pekerja perempuan berharap penempatan di luar negeri. Sembari menanti, mereka bekerja apa saja. Orang mudah menemukan pekerjaan karena, kebetulan Batam, pulau industri.
Selain itu, sebagai daerah terbuka bagi pelancong Singapura, wilayah ini membutuhkan pekerja yang mau bekerja di bisnis hiburan. Yang terkenal adalah pekerjaan sebagai penjaja -sekaligus "teman"- minum di restoran-restoran pujasera.
Buruh-buruh migran perempuan tersebut boleh dibilang tersangkut. Kembali ke daerah asal tak mungkin -karena gengsi atau terlanjur berhutang-, sementara tujuan bekerja mereka di luar negeri bermasalah. Terbesar tentu saja bersumber pada perizinan. Namun tidak sedikit mengalami penipuan.
"Yang dijanjikan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, ketika mereka dijanjikan mengurus seorang kakek, tapi ternyata ketika tiba di tujuan, misalnya Singapura atau Malaysia, mereka sering dijadikan pekerja rumah tangga secara penuh. Atau kalau dijanjikan kerja di restoran, tapi yang terjadi justru sebaliknya," ujar Nirmala Sinaga.
Penampungan
Korban-korban inilah yang kemudian didampingi sampai bisa mengambil keputusan, apakah mau pulang atau tetap tinggal di Batam. Kalau ingin tetap tinggal di pulau ini, maka si perempuan bersangkutan diberikan pelatihan-pelatihan untuk mendukung pencarian nafkah. Namun kalau memutuskan untuk pulang, maka Nirmala menghubungi jejaring LSM bidang perdagangan manusia untuk mengatur kepulangan si korban.
"Saya juga pernah menangani kasus pembantu rumah tangga di Singapura, itu langsung telpon meminta petunjuk bagaimana bisa lari, karena tidak kuat dengan perilaku majikan. Kami juga punya jejaring di sana. Mereka yang biasanya menangani. Setelah itu baru dibawa ke PP Nakerwan di Batam atau LSM lain."
Penampungan yang dikelola Nirmala Sinaga bisa ditinggali enam sampai delapan orang. Fasilitas tidak mewah, walau mendapatkan makan tiga kali sehari, mandi dan pelatihan-pelatihan. Tempat itu lebih mirip rumah singgah, jadi si korban diharapkan cuma sementara tinggal di sana. Tapi tak jarang korban tidak ingin keluar karena merasa nyaman tinggal di sana.
"Konsepnya memang tidak boleh mewah, dengan asumsi supaya mereka tidak jadi betah. Tapi terjadi sebaliknya. Justru mereka betah. Saya juga bingung. Saya pernah mendapat korban perdagangan manusia asal Aceh, dia mengalami kekerasan secara fisik, psikologis dan seksual. Dia malah telpon saya lagi ketika sudah keluar. 'Ibu, saya mau ikut ibu,' ujarnya. Pokoknya kalau sama ibu saya mau. Malah betah dengan saya. Jadi bukan karena fasilitasnya saya rasa, tapi bagaimana kita memberi diri untuk mereka," kata Nirmala Sinaga.
Junito Drias