TEMPO Interaktif, Jakarta: Biaya pelatihan prakeberangkatan para tenaga kerja Indonesia ke Korea tercatat paling mahal di antara negara-negara Asia Tenggara. Data itu tercatat dalam hasil survey yang dilakukan oleh pemerintah Korea bersama-sama Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Rata-rata setiap pekerja mesti mengeluarkan US$ 510 atau hampir Rp 5 juta untuk mengikuti pelatihan.
Bandingkan dengan biaya pelatihan yang dibayar pekerja asal Vietnam dan Thailand, yang masing-masing US$ 290 dan US$ 228. Sementara pekerja asal Filipina hanya menghabiskan US$ 109 sebelum bekerja di Korea.
Survei dilakukan terhadap 500 pekerja asing di Korea. Mereka berasal dari Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam, dengan jumlah responden masing-masing negara berimbang.
"Responden adalah mereka yang bekerja di Korea melalui program EPS (Employment Permit System)," kata Geoffrey Ducanes, staf perwakilan ILO untuk wilayah Asia di sela lokakarya nasional bertajuk "Peningkatan Kualitas Perekrutan dan Penyiapan Tenaga Kerja Indonesia ke Korea", Sabtu (29/3).
Pengeluaran total pekerja asal Indonesia sebelum bekerja juga tercatat paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tadi. Selain membayar biaya pelatihan, jumlah uang yang dihabiskan untuk membeli tiket pesawat, mengurus paspor dan visa, serta biaya kesehatan, mencapai US$ 1.300. Dalam hasil survei, jumlah itu bahkan bisa membengkak hingga US$ 3.000.
Menurut Ducanes, pembengkakan biaya terjadi, salah satunya, karena tenaga kerja harus membayar fee ke agennya. Sejumlah agen tenaga kerja swasta kerap memungut biaya tinggi untuk jasa yang mereka sediakan.
Agar terhindar dari pungutan yang tinggi oleh calo tenaga kerja, Ducanes menyarankan para calon pekerja sebaiknya menggunakan badan ketenagakerjaan pemerintah. Sebab, pemerintah akan menyalurkan mereka lewat jalur kerja yang berdasarkan kerja sama antarpemerintah semisal EPS.
Tapi, katanya, para pekerja biasanya tetap menggunakan jasa agen karena pemerintah kurang mensosialisasikan program itu. "Calon tenaga kerja kurang mendapat informasi," kata dia.
Di tempat yang sama, Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI, Kustomo Usman, mengakui bila selama ini pengiriman tenaga kerja ke luar negeri lewat jalur pemerintah kurang tersosialisai. "Mereka banyak yang tidak tahu," katanya.
Dalam survei itu, tenaga kerja asal Indonesia tercatat yang paling banyak menggunakan agen tenaga kerja swasta. Sebagian dari mereka yang menggunakan jasa agen beralasan, bahwa aturan pemerintah terlalu rumit dan tidak jelas.
Survei itu juga menyebutkan, dibanding negara lain, pekerja Indonesia harus menunggu waktu lebih lama untuk bekerja setelah penandatangan kontak kerja.
Direktur Jenderal Biro Kerja Sama Internasional Korea Byoeng Gie Choi menduga keterlambatan itu terkait pengurusan administrasi tenaga kerja di Indonesia.
Kebutuhan tenaga asing di Korea, ia melanjutkan, sebenarnya cukup tinggi. Namun, pemerintah Korea tak menyediakan quota tertentu untuk tenaga asing dari masing-masing negara pengirim. Siapa yang lebih dulu datang ke Korea, kata Choi, dialah yang akan memperoleh pekerjaan. "Karena datangnya terlambat, akhirnya lowongan diisi oleh tenaga dari Filipina atau Vietnam," kata dia. Anton Septian