Jakarta–Kalangan buruh sebagai pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan di Mahkamah Konstitusi (MK), sedang mencari ahli untuk menyatakan pendapat seputar guna pengujian sesuai konstitusi. Beberapa pasal undang-undang ini dipandang dapat merugikan hak buruh ketika perusahaan sedang bangkrut atau pailit.
Pencarian ini sesuai permintaan H.A. Mukhtie Fadjar, Ketua majelis hakim konstitusi untuk perkara tersebut, yang sempat mempertanyakan apakah pemohon akan menghadirkan pendapat dari para ahli atau cukup menerima saja pertimbangan dari para hakim konstitusi di MK.
"Kami masih belum bisa menyebutkan siapa yang akan dihadirkan. Karena masih sedang kami bicarakan," ujar Muhammad Hafidz, Sekjen Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia kepada SH, Kamis (6/3).
Ia menyatakan masih mencari pakar dan tim ahli karena belum mendengar kepastian soal kedatangan yang bersangkutan. Hakim akhirnya bersedia menunggu dua minggu untuk keterangan tertulis dari kuasa ahli dari si pemohon.
Saat ditanyakan wartawan beberapa jam seusai sidang, tentang kemungkinan MK dapat membantu hadirnya pakar dan pembiayaan dari MK sehubungan hal tersebut menyangkut kehidupan buruh, Ketua MK Jimly Asshidiqie, mengatakan bahwa meski bertema perburuhan dan kerakyatan bagaimana pun MK harus memegang prinsip keadilan hukum pada tiap kelompok yang ada. Hal tersebut tak bisa dilakukan.
"Kecuali bila MK memang ingin menghadirkan hakim yang obyektif dalam uji materi, itu bisa. Itu bila MK yang menghendaki, dananya dari MK, agar bisa menemukan ahli yang obyektif dalam persidangan. Namun untuk perkara uji materi saat ini, jangan sampai tuman (keterusan, red)," ujar Jimly.
Jimly menambahkan bahwa bisa saja pada kasus lain pemohon-pemohon akan bermunculan untuk meminta pakar atau saksi ahli dicarikan oleh MK. Namun sebagai wacana, khususnya untuk konteks perburuhan atau kerakyatan, Jimly tetap berjanji akan menyampaikan dan membicarakannya dalam diskusi antarhakim.
UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan yang pada beberapa pasal, terutama Pasal 29, dipandang pemohon berpotensi menggugurkan segala tuntutan yang sedang berjalan ketika perusahaan sedang mengalami kepailitan. UU Kepailitan ini berpotensi menghilangkan hak buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena alasan pailit.
Selain Pasal 29 itu, pada Pasal 55, 59 dan 138 UU Kepailitan juga mengatur keberadaan kreditor separatis sebagai pemegang kewenangan mutlak untuk mengeksekusi haknya terhadap perusahaan pailit, sedangkan posisi buruh hanya menjadi kreditor preferen sehingga tak bisa lagi memperjuangkan haknya atas upah dan pesangon.(sihar ramses simatupang)