Makassar (ANTARA News) - "Mati di lumbung pangan," itulah pepatah yang secara tidak langsung ditujukan pada orang-orang yang berkecukupan di sekitar keluarga Basse (35), ibu dengan masa kehamilan tujuh bulan dan anak ketiganya, Bahir (5) harus berakhir hidupnya, karena kelaparan yang kemudian memicu terjadinya penyakit diare akut.
Di gubuk rumah panggung dari kayu berukuran sekitar 3x5 meter yang berlokasi di Jalan Dg tata I gang Blok D itu, Basse merintih menahan sakit perut disertai rasa sesak semalaman, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Jumat (29/2) sekitar 13.00 Wita.
Hanya dalam hitungan menit, Bahir (5), anak ketiga dari pasangan Basse dan Basri (40) pun mengikuti jejak ibunya dengan meninggalkan dunia fana ini.
Ketika itu barulah para tetangga berdatangan, sekedar untuk menonton dan berbelasungkawa melihat peristiwa tragis yang mengiris-iris rasa kemanusiaan orang yang melihat kondisi rumah dan keluarga asal Kabupaten Bantaeng yang baru sekitar lima bulan berdomisili di Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.
Basri yang melihat isteri dan anaknya sudah menjadi jazad, hanya terpekur di sudut kamar di dekat dapur yang berukuran 1x2 meter. Wajah linglung dan ketidakberdayaan tampak jelas terbaca oleh orang yang ada di sekitarnya. Bahkan, sesekali ia bertanya ke seorang Ustadz yang sempat membacakan surah Yasin sebelum isterinya meninggal, "Pak Ustadz, benarkah isteri dan anak saya sudah meninggal?," tanyanya seakan tak percaya.
Bersamaan dengan peristiwa meninggalnya isteri dan anaknya, Aco, si bungsu dalam kondisi kritis. Untunglah para tetangga segera melarikan balita berusia empat tahun itu ke Rumah Sakit Haji untuk mendapatkan perawatan intensif.
"Ketika Aco datang ke rumah sakit ini, kondisinya sudah dehidrasi berat, bahkan kelopak matanya pun sudah sangat dalam," kata dr Bahtiar, salah seorang dokter yang menangani balita malang yang berberat badan hanya 9 kilogram, padahal berat badan ideal untuk balita seusainya adalah 15 - 20 kilogram.
Kendati demikian, Dr Naisyah Tun Asikin, Kepala Dinas Kesehatan Makassar mengatakan, kematian Basse dan anaknya itu belum bisa dipastikan karena kelaparan, namun kemungkinan karena diare akut yang tidak sempat mendapatkan pertolongan dini.
"Dari hasil pantauan kami, kesimpulan sementara penyebab meninggalnya ibu dan anak itu, karena kekurangan cairan," katanya sembari menambahkan, diare itu dapat dipicu oleh kelaparan dan makanan ataupun minuman yang dikonsumsi tidak higienis.
Asumsi itu dapat dibenarkan jika melihat kondisi rumah Basri yang sehari-harinya hanya memberi Rp5.000 - Rp10.000 kepada isterinya untuk kebutuhan makan anak-anaknya.
Ruangan memanjang dengan dinding kayu tanpa cat itu, terdapat beberapa piring plastik yang berisi bubur, sisa makanan kemarin. Sementara di dapurnya ada sebuah kompor yang di atasnya terdapat sebuah panci berisi bubur encer.
"Ini sisa bubur Basse dan anak-anaknya kemarin," ungkap Mina (42), salah seorang tetangganya yang sehari-harinya sebagai buruh cuci pakaian.
Mendiang Basse, bagi Mina adalah sosok yang sangat sabar dan bersahaja. Bahkan tetap sabar mendapat uang belanja yang sangat minim dari suaminya yang dikenal oleh tetangganya suka minum-minuman keras.
"Bau minuman selalu tercium setiap Basri pulang ke rumah pada dini hari, setelah itu tidur hingga sore dan malam keluar lagi hingga dini hari," ungkap tetangga lainnya yang enggan disebutkan jati dirinya
Kontrak Gratis
Keluarga Basri yang merupakan pindahan dari Jalan Bonto Duri, Makassar. Mereka hidup dari rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Namun ternyata, kontrakan terakhirnya di Jalan Daeng Tata, memberinya keringanan, yakni hanya sekali membayar kontrakan Rp50 ribu per bulan.
"Kami melihat keluarga itu baik dan bersedia menjaga anakku ketika keluar menjadi buruh cuci, sehingga kami membebaskannya dari sewa kontrakan," kata Mina, isteri Daeng Dudding.
Rumah itu rumah panggung berlantai dua. Lantai pertama dihuni keluarga Dudding yang mengontrak pada pemilik rumah seharga Rp1,6 juta per tahun, kemudian lantai dua diberikan ke keluarga Basri untuk menempatinya.
Luputnya perhatian tetangga terhadap kondisi rumah tangga Basri karena Basri dan Basse sangat tertutup terhadap tetangganya. Sementara meskipun anaknya bergaul dengan anak-anak tetangga, namun tidak pernah mengeluh walau hanya makan bubur setiap hari yang sebenarnya tidak cukup dijadikan pengganjal perut dalam waktu lama.
"Anak-anak Basse tidak seperti anak-anak lainnya, jika melihat temannya jajan, ikut-ikutan mau jajan, atau meminta jajanan temannya," tutur Mina sembari menambahkan, anak-anak Basse mulai yang sulung, Salma (9) menyusul adik-adiknya Baha (7), almarhum Bahir (5), dan Aco (4), dikenal pendiam dan penurut.
Tidak Terdata
Keberadaan keluarga Basri di Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, belum terdata sehingga belum masuk dalam daftar rumah tangga miskin (RTM) yang mendapat bantuan beras untuk masyarakat miskin (Raskin) ataupun bantuan lainnya.
"Saya belum mendapat laporan dari RT/RW setempat akan adanya warga kami yang baru, seharusnya ketika pindah langsung melapor ke RT," kata Firnandar Sabara, Lurah Parang Tambung yang rumah tak jauh dari rumah Basri.
Mengenai hal itu, menurut Dudding teman sekontrakan Basri, ia sudah pernah menyarankan agar keluarga Basri didaftarkan pada RT/RW kemudian dicacat di kelurahan. Namun alasannya, segan karena tidak memiliki uang yang cukup untuk mendaftar.
"Jangan sampai dimintai macam-macam, saya takut. Untuk makan saja susah," ujarnya menirukan ucapan almarhumah Basse.
Akibatnya, hingga lima bulan berdomisili di lokasi itu, keluarga Basri masih dianggap sebagai penduduk `liar`. Kendati demikian, masih ada warga yang mendapat jatah Raskin menyisahkan tiga liter beras pembagiannya untuk diberikan kepada Basse. Namun sayang, beras tersebut belum sempat dimasak dan dimakan, Basse dan putra ketiganya sudah meninggal dunia.
Kini, bantuan demi bantuan dari para dermawan mulai mengalir karena terketuk hatinya, namun semua itu sudah terlambat bagi Basse dan bayinya serta anaknya yang berusia 5 tahun. Bantuan itu, tidak mampu mengembalikan nyawa tiga manusia korban kemiskinan.
Yang diharapkan, bagaimana bantuan itu dapat bermanfaat bagi anak-anak Basse yang masih berjuang hidup di tengah kemiskinan dan tidak menjadi objek untuk meraup keuntungan bagi orang-orang di sekitarnya. Ketiga anak Basse setidaknya masih bisa hidup layak, mendapat makanan, duduk di bangku sekolah dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya. (*)
Oleh Suriani Mappong
COPYRIGHT © 2008